Kamis, 25 Agustus 2016

QURBAN 2

 Oleh : Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza

Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
 
Assalamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarookaatuhu.... Bismillah Alhamdulillah wash-shalaatu was-salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihii wa shahbihi ajma'in amma ba'du... Terima kasih sebelumnya Ust Hilman... Mohon izin pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama'ah sekalian untuk melanjutkan pembahasan mengenai QURBAN yang telah dimulai sejak minggu kemarin... 
Terima kasih Pak Haji... Sebelum mulai, mohon perkenannya untuk membaca Ummul Qur'an. Mudah-mudahan dengan membaca surat pembuka Al-Qur'an ini dimudahkan dan dilancarkan di dalam mengkaji dan mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya.... Alfaatihah... 

 Bismillahirrahim... Minggu lalu kita sedikit sudah menyinggung perihal syarat-syarat hewan qurban. Hari ini, sebagaimana yang tercantum dalam At-Tadzhib, h. 243, ada empat kondisi binatang qurban yang tidak dibolehkan untuk dijadikan qurban. Pertama, Al-'Aura'u, yaitu hewan yang matanya rusak sebelah, yang tampak jelas kerusakannya. Kedua, al-'arjau atau hewan yang pincang, yang sangat tampak kepincangannya. Ketiga, Al-'Ajfau, atau hewan yang kurus hingga hilang sumsumnya hingga hilang karena kekurusannya. Keempat, al-mariidhah, yaitu hewan yang jelas sakitnya. Lebih jauh disampaikan bahwa dianggap cukup, artinya boleh qurban dengan hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Sedangkan hewan yang putus telinga dan ekornya, tidak diperbolehkan. Baik putusnya semua telinga/ekor atau hanya sebagiannya, karena mengurangi daging dan hilangnya bagian yang akan dimakan. Adapun dasar dari 4 kondisi yang dilarang untuk dijadikan qurban adalah hadist shahih riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, dari Al-Barra bin Azib, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan kurban: buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.”
Di dalam beberapa rujukan lain, sesuai pertanyaan Pak Yasir minggu lalu, apakah boleh qurban dengan hewan betina? Di sini jenis kelamin tidak menjadi halangan, baik betina maupun jantan, semua dibolehkan. Mungkin dalam kondisi tertentu, hewan betina dihindari karena untuk peranakan atau pengembangan ternak sebagai induk. Berbeda dengan hewan jantan, yang tidak perlu banyak untuk pejantan.

Pertanyaan:
Apakah boleh berqurban dengan uang Zakat, semisal Zakat profesi?
Terkait pernyataan Sheykh Ali Jaber dalam video yang berdurasi 10 menit lebih yang berisi tertang perihal berqurban, apakah boleh berqurban satu ekor kambing tapi diatasnamakan untuk satu keluarga? 
Apakah hukum berqurban itu wajib?
Apakah yang dimaksud dengan Qurban digital dan  Hukumnya?
Apa hukum berqurban ditempat lain semisal dikampung halaman sedangkan sipequrban berada ditempat lain?
Penjelasan;
Pertama, perihal video Syeikh Ali Jaber, ada beberapa hal yang perlu dijernihkan, agar tidak simpang siur. Satu, dikatakan qurban itu wajib?
Dalam beberapa literatur, sehingga kita bisa mengecek bersama-sama bahwa sebagaimana sebelumnya pernah kami sampaikan bahwa hukum qurban ulama madzhab tidak satu suara, ada ikhtilaf. Secara garis besar bisa dibagi tiga. Pertama, hukum qurban adalah wajib. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah. Namun, di dalam madzhab Hanafi sendiri, ulama di belakang Imam Abu Hanifah mayoritas menyatakan hukumnya sunnah muakkad, di antaranya Abu Yusuf (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 3, h. 595)

Dasar Imam Abu Hanifah menyatakan wajib adalah Surat Al-Kautsar ayat 2, "Fashalli lirabbika wanhar." Maka shalatlah kamu dan berkurbanlah. Ada amr atau perintah di terhadap kurban dalam ayat ini. Kedua, hadist Nabi SAW yang menegaskan, "Siapa saja yang memiliki keluasan (kekayaan), tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami."( Hadist Shahih riwayat Hakim).
Adapun dasar dari ulama yang menghukumi sunnah (tidak hanya sebagian ulama Hanafi, tapi juga Syafii, Maliki, dan Hambali), bahwa ayat dan hadist di atas benar menunjukkan perintah akan qurban. Tetapi ada qarinah (istilah dalam Ushul fiqh, yaitu petunjuk yang menentukan hukum sesuatu setelah dikumpulkan berbagai dalil yang ada) dengan dasar dalil yang lain, di mana menunjukkan bahwa qurban tidak sampai derajat wajib. Yaitu, hadist yang beberapa kali telah disebut, yang berkenaan larangan mencukur dan memotong kuku bagi orang yang qurban.  إذا رأيتم هلال ذي الحجة ، وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره . Kata araada ahadukum dalam hadist shahih ini, yang diriwayatkan oleh Muslim dengan beberapa redaksi berbeda (kadang araada, kadang yuridu, tapi maknanya sama) adalah qarinah yang menunjukkan bahwa kata "jika menghendaki/ingin" menunjukkan qarinah ghariu jazm, atau petunjuk tidak tegas akan kewajiban dalam qurban. Artinya derajat perintah qurban setelah dikumpulkan beberapa dalil menunjukkan hukum qurban sampai pada tingkat sunnah muakkad.
Contoh lain, untuk mempermudah, adalah dalil tentang ziarah kubur. Dalam hadist Shahih riwayat muslim dikatakan, نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Kata Nabi, "Dulu aku melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah." Kata ziarahlah adalah amr atau perintah untuk ziarah, di mana prinsip dasar sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Tetapi perintah ini jatuh setelah ada larangan "nahaitukum". Karena itu, jika ada perintah jatuh setelah adanya larangan, oleh ulama dikatakan, menunjukkan hukum sesuatu yang diperintahkan itu sunnah, tidak wajib.
  Atau contoh yang berkaitan dengan qurban ini adalah hadist tentang larangan memotong rambut dan kuku bagi orang yang qurban. Hadist dasar larangan memotong kuku dan rambut adalah إذا رأيتم هلال ذي الحجة ، وأراد أحدكم أن   يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) رواه مسلم             
           
  Artinya, Ketika kalian melihat hilal dzulhijjah, dan salah satu di antara kalian menghendaki untuk berqurban, maka tahanlah (untuk memotong) rambut dan kukunya. Hadist ini jelas menunjukkan larangan "falyumsik". Namun, hal ini harus dikumpulkan dulu seluruh dalil, dan disebutkan hadist lain, yang berbunyi berbeda dengan hadist ini, yaitu hadist riwayat Aisyah, yang berbunyi: قالت : كنت أفتل قلائد هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ، ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله حتى ينحر هديه " رواه البخاري ومسلم 
 yang artinya:  ‘Aisyah RA beliau berkata "Aku mengikatkan tali pada hewan qurban Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW mengikatnya kembali dengan tangan Beliau lalu mengirimnya. Maka sejak itu tidak ada yang diharamkan lagi bagi Rasulullah SAW dari apa-apa yang Allah halalkan hingga hewan qurban disembelih." Karena itulah dai berbagai dalil ini disunnahkan bagi yang qurban untuk tidak mencukur rambut dan kukunya. Sebaliknya, makruh hukumnya melakukan keduanya. (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 626-627)
Karena itulah, kesimpulan dari beberapa contoh ini, menegaskan pendapat jumhur ulama, baik dari Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, bahwa hukum dasar qurban adalah sunnah muakkad, menyelisihi pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan wajib. Meski demikian ulama kemudian merinci kesunnahan ini, sehingga bisa kita petakan menjadi dua pendapat berikutnya. Yaitu hukum qurban adalah sunnah 'ain, (sama seperti fardlu, ada fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Sunnah juga ada sunnah 'ain dan sunnah kifayah). Maksudnya adalah kesunnahan yang ditetapkan kepada setiap musli mukallaf yang mampu. Karena itu, qurban dianjurkan bagi masing individu-individu muslim. Inilah pendapat Abu Yusuf (madzhab Hanafi). Ini juga pendapat Maliki, meskipun dalam penjelasannya Maliki menegaskan qurban dibebankan setiap individu muslim dalam kepemilikan atau pembeliannya. Tetapi jika ketika ia qurban, kemudian diniatkan pahalanya diberikan pula pada keluarganya, maka keluarganya mendapatkan pahal yang sama. Hanya saja Maliki mensyaratkan, tiga hal: orang yang diniatkan itu adalah tinggal bersama orang yang qurban, kerabat atau ada hubungan darah, dan diberi nafkah olehnya. Keluarga yang seperti inilah yang dibolehkan oleh Maliki diniatkan dalam qurban itu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Syafi'i dan Hambali, yaitu bahwa qurban hukumnya adalah sunnah 'ain bagi setiap individu, tetapi sunnah kifayah bagi sebuah keluarga. Maksudnya bagi seseorang yang tidak berkeluarga, maka ia sendiri dikenai hukum sunnah ini, sedangkan bagi sebuah keluarga, maka jika kepala keluarga, misalnya, berqurban, maka anggota keluarga lain gugur dari kesunnahan qurban.
Gugur yang dimaksud di sini adalah bahwa bagi keluarga yang lain tidak lagi dituntut kesunnahan qurban, tetapi tidak mendapat pahala yang sama seperti halnya orang yang qurban. Hanya gugur saja tuntutan kepadanya pada tahun qurban tersebut. (Al-Mausu'ah, juz 5, h. 77-78). Tetapi lebih jauh dijelaskan bahwa kesunnahan qurban ini sekali seumur hidup bagi setiap muslim. Artinya, jika tahun ini, karena anggota keluarganya ada yang qurban, maka gugurlah tuntutan padanya, tetapi pada tahun berikutnya tuntutan itu hadir kembali, tidak gugur selamanya. Dasarnya adalah يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِى كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ, Wahai manusia, atas setiap keluarga diperintahkan setiap tahun untuk berqurban. Hadist Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi nilainya shahih atau hasan.
Karena itulah kemudian, muncul pertanyaan, apakah disunnahkan qurban bagi anak kecil? Maka ulama menegaskan bahwa tetap disunnahkan, meski uang untuk membelinya adalah dari bapaknya.Karena itulah, kesimpulan dari ini. Jika dikatakan qurban itu wajib, sebagaimana disebut Syaikh Ali Jaber, maka itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan jika Syaikh Ali Jaber mengatakan bahwa cukup qurban satu untuk keluarga, itu adalah pendapat sebagian Syafi'i dan Hambali. Meskipun kalau diteliti lebih jauh, misalnya di Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3, h. 354, Imam Rafii (Madzhab Syafii) bahwa kesunnahan qurban berlaku bagi setiap individu dalam keluarga. Artinya, satu keluarga yang berqurban tidak membatalkan kesunnahan bagi yang lain.
Karena itu, jika dikatakan praktek di sini jauh dari ketentuan soal qurban, maka terbantahkan. Sebab yang dipraktekkan adalah ketika hewan qurban akan disembelih, maka disebutkan nama-nama yang qurban. Jika yang qurban tahun ini hanya satu orang dari satu keluarga dengan satu kambing misalnya, maka sah-sah saja. Atau sebaliknya, yang qurban satu sapi, misalnya, dari 7 anggota dari satu keluarga, juga dibolehkan, karena mengikuti pendapat Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi'i bahwa kesunnahan qurban ini berlaku bagi masing-masing individu (sunnah 'ain). Dan ini sejalan yang disampaikan juga oleh Syaikh Ali Jaber, jika mampu keluarga itu, boleh lebih dari satu. Itu dipersilahkan. Karena perlu diingat, bahwa qurban tujuannya adalah qurbah, mendekat kepada Allah, bersyukur atas nikmat Allah, dan berbagi kebahagiaan di hari raya Idul Adha yang disebut sebagai yaumu aklin wa syurbin wa dzikrillah, hari makan, minum (makan daging qurban dll, hingga haram puasa), dan hari dzikir (dengan takbir selama Hari Raya dan Hari Tasyriq).
Mengapa nama-nama itu disebutkan saat menyembelih? Sebab Niat qurban itu dianjurkan saat penyembelihan, meski dibolehkan saat membeli atau menyerahkan qurban tersebut. Lebih dari itu, disunnahkan pula mudhahhi atau orang yang qurban untuk menyembelih sendiri hewan qurbannya, sebagaimana yang Nabi lakukan. Atau kalau toh tidak, artinya mewakilkan dalam penyembelihan, disunnahkan untuk menyaksikan penyembelihan itu. Dasarnya adalah hadist Nabi, "Wahai Fatimah, bangunlah (dan mendekat) pada hewan qurbanmu, serta saksikanlah ia (hadist riwayat Hakim), meski dinilai hadist ini dhaif. Karena itulah, kalau memang tidak bisa menyaksikan, juga tidak apa-apa, tidak menjadi kewajiban. Yang terpenting adalah niat qurban ketika membeli atau menyerahkan hewan qurban itu kepada panitia.
(Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, h. 628, Al-Mausu'ah, juz 5, h. 100). Karena itu, menyambung pertanyaan Ust CW berkaitan dengan qurban digital, maka itu dibolehkan. Yaitu qurban dengan membeli secara digital, dan tidak menyaksikan langsung hewan qurbannya disembelih. Sebab jual beli secara digital dibolehkan, seperti kita jual beli lewat atm atau secara online. Asal masing-masing amanah sesuai spesifikasi barang yang dibeli. 
Terakhir, menyambung dengan pertanyaan Pak Rudi, lebih afdhal mana, qurban di sini atau di tempat lain? Menegaskan kembali bahwa Nabi dalam satu hadist mengatakan tentang Idul Adha, "Hari ini adalah hari makan dan minum.(riwayat Ahmad) " Dalam hadist lain riwayat Muslim, "Hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah." (Tafsir Ibnu Katsir, h. 264). Karena itu qurban adalah ungkapan syukur kepada Allah dengan berbagi, sarana memuliakan tetangga dan  tamu, berbagi dengan orang fakir (Al-Mausu'ah, juz 5, h. 76). Di sini jelas bahwa ada keterangan perihal berbagi makan dengan orang fakir dan tetangga. Itu artinya, bahwa qurban yang paling utama adalah di dekat rumah sehingga bisa berbagi dengan orang fakir sekitar. Namun, jika nun jauh di sana, ada yang lebih fakir dari sekitar kita, maka itu juga mendapat keutamaan pula. Oleh karena itu tinggal dilihat, mana yang lebih dekat dan membutuhkan, dua faktor ini yang jadi penimbang. Kalau di kampung banyak yang miskin apalagi masih keluarga, silahkan qurban di kampung. Tapi kalau di sekitar kita juga banyak, maka dahulukan yang dekat daripada yang jauh.  
WaLlahu a'lam bish-shawaab...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...