Kamis, 13 Mei 2010

Manfaat Wudlu



Oleh : Imran Djau.

Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan sekaligus neurology berkebangsaan Austria, menemukan sesuatu yang menakjubkan terhadap wudlu. Ia mengemukakan bahwa pusat-pusat syaraf yang paling peka yaitu sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Dari sini ia menghubungkan hikmah wudlu yang membasuh pusat-pusat syaraf tersebut. Ia bahkan merekomendasikan agar wudlu bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan.

Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, maka berarti orang akan memelihara kesehatan dan keselarasan pusat sarafnya. Pada akhirnya Leopold memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels.

Ulama Fikih juga menjelaskan hikmah wudlu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani. Daerah yang dibasuh dalam air wudlu, seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing termasuk kotoran. Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh.

Ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudlu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudlu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.

Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari? Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudlu ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.

Organ tubuh yang menjadi anggota wudlu disebutkan dalam QS al-Maidah [5]:6, adalah wajah, tangan sampai siku, dan kaki sampai mata kaki. Dalam hadis riwayat Muslim juga dijelaskan bahwa, air wudlu mampu mengalirkan dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh mata, penciuman, pendengaran, tangan, dan kakinya, sehingga yang bersangkutan bersih dari dosa.

Kalangan ulama melarang mengeringkan air wudlu dengan kain karena dalam redaksi hadis itu dikatakan bahwa proses pembersihan itu sampai tetesan terakhir dari air wudlu itu (ma’a akhir qathr al-ma’).

Wudlu dalam Islam masuk di dalam Bab al-Thaharah (penyucian rohani), seperti halnya tayammum, syarth, dan mandi junub. Tidak disebutkan Bab al-Nadhafah (pembersihan secara fisik). Rasulullah SAW selalu berusaha mempertahankan keabsahan wudlunya.

Yang paling penting dari wudlu ialah kekuatan simboliknya, yakni memberikan rasa percaya diri sebagai orang yang ‘bersih’ dan sewaktu-waktu dapat menjalankan ketaatannya kepada Tuhan, seperti mendirikan shalat, menyentuh atau membaca mushaf Alquran. Wudlu sendiri akan memproteksi diri untuk menghindari apa yang secara spiritual merusak citra wudlu. Dosa dan kemaksiatan berkontradiksi dengan wudlu.

Sedekah Tiap Ruas Tulang



Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah masing-masing kamu bersedekah untuk setiap ruas tulang badanmu pada setiap pagi. Sebab tiap kali bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada yang makruf adalah sedekah, mencegah yang munkar adalah sedekah. Dan sebagai ganti dari semua itu, maka cukuplah mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.” (HR Muslim).

Nabi Muhammad SAW mengingatkan segenap umatnya agar senantiasa bergerak dinamis dalam beramal saleh, berlomba-lomba dalam kebaikan, serta mempersembahkan pengabdian terbaik dari jiwa raganya untuk berbagai aktivitas di jalan Allah SWT. Bahkan, digambarkan agar setiap muslim untuk mensyukuri seluruh 360 ruas tulang yang Allah berikan ke dalam tubuh manusia. Caranya, adalah dengan bersedekah untuk setiap ruas tulang yang kita miliki.

Pertama, dengan memperbanyak frekwensi ucapan kalimat thayyibah setiap pagi hari. Seperti ucapan ‘subhanallah’ (Maha Suci Allah), ‘Alhamdulillah’ (Segala Puji bagi Allah), ‘Lailaha illallah’ (Tidak ada Tuhan selain Allah), dan ‘Allah Akbar’ (Allah Maha Besar).

Kedua, senantiasa memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk (amar makruf nahi munkar). Allah berfirman; “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Ketiga, menegakkan shalat Dluha dua rakaat di pagi hari. Sebab, banyak kemuliaan dan manfaat dari shalat Dluha. Rasulullah SAW bersabda; “Siapa saja yang dapat mengerjakan shalat Dluha dengan langgeng (lapang), maka akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi).

Bersedekah untuk setiap ruas tulang badan merupakan ungkapan rasa syukur atau terima kasih kepada Allah atas segala karunia, baik berupa kesehatan, rezeki, kesempatan, maupun kesempurnaan tubuh. Maka, alangkah kufurnya bagi setiap orang, bila mereka tak pernah mau bersedekah dengan diri mereka atas nikmat sehat yang diberikan Allah pada setiap ruas tulangnya.

Jika seseorang pandai berterima kasih (dan bersyukur) kepada Allah, maka Sang Pencipta pun akan membalasnya dengan kebaikan yang lebih banyak lagi. “Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Apalagi, pada hari pembalasan (kiamat) nanti, seluruh anggota badan seperti tangan dan kaki, yang dihubungkan dengan ruas-ruas tulang, akan menjadi saksi atas apa-apa yang dikatakan dan diperbuat selama hidup di dunia. “Dan pada hari ini Kami tutup mulut-mulut mereka; lalu berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. (QS Yasin [36]: 65). Wa Allahu A’lam.

Seni Mendidik Buah Hati



Dewasa ini, banyak orangtua yang salah kaprah di dalam mendidik anak-anaknya

SECARA umum, seluruh orangtua pasti meminginginkan buah hatinya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Siapa pun dia, sebagai orangtua pasti menharapkan hal tersebut. Seorang pejudi, tentu akan suka ketika ia mengetahui anaknya menjadi penjudi. Seorang pencuri, sangat tidak mungkin memiliki cita-cita, agar anaknya menjadi pelanjut perilaku buruknya, begitu pula terhadap kasus-kasus yang lain.

Islam memandang anak itu sebagai asset masa depan, yang akan penyuplai pahala bagi orangtuanya. Dan itu akan terwujud, apa bila orangtua sukses menghantarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang shaleh dan shalehah, yang senantiasa mentaati Allah dan Rosul-Nya. Rosulullah bersabda, “Ketika anak adam meninggal, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh, yang senantiasa mendoakan orangtuanya," (Al-Hadits).

Untuk melangkah ke sana, maka peran orangtua dalam mendidik anaknya semasa dini sangat berperan penting bagi pertumbuhan karakter mereka. Ingat, orangtua adalah guru pertama setiap bani adam, sebelum mereka menempuh bangku sekolah. Karenanya, pada masa ini sangat penting mengarahkan mereka menjadi sosok yang berkepribadian muslim sejati.

Namun sayangnya, khususnya dewasa ini, yang lebih dikenal dengan gaya hidup yang konsumtif lagi hidonis, banyak orangtua yang salah kaprah di dalam mendidik anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka memperlakukan anak-anak mereka bak raja yang selalu dituruti kemauannya, tanpa mempertimbangkan tanpa mempertimbangkan nilai positif dan negatif.

Ada lagi di antara mereka yang disibukkan dengan urusan bisnis –yang katanya- demi masa depan anak-anak. Baby sitter dijadikan wakil mereka di dalam membangun karakter anak, padahal, belum lah tentu, pengasuh bayi tersebut akan mengarahkan anak-anak sesuai dengan apa yang kita inginkan (berbudi mulia). Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila kemudian hari para orangtua memetik buah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena pola pendidikan yang mereka (orangtua) terapkan sendiri.

Tengoklah di sekitar kita, betapa banyak anak orang kaya, pejabat, yang terjerumus dalam dunia gelap, diskotik, narkotika, dan lain sebagainya, karena mempraktekkan pola pendidikan yang demikian.

Sebagai orangtua, tentulah hatinya akan miris melihat kenyataan demikian. Sebelum hal tersebut terjadi pada keluarga kita, atau untuk menyetop itu semua, maka, sebagai orangtua, mari kembali kita perhatikan pendidikan anak-anak kita lebih intens, dan tentunya sesuai dengan tuntunan yang telah dicontohkan oleh Rosulullah, sebagai suri tauladan kita dalam segala hal.Dan di bawah ini beberapa seni islami, yang yang telah dicontohkan oleh Rosulullah dalam membimbing anak-anak beliau, sahabat-sahabat beliau, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang mulia, yang berakhlakul karimah, sekelas Ali bin Abi Thalib, dan putri beliau sendiri, Fathimah:

1. Memberi Teladan

Memberi teladan yang baik kepada anak, merupakan suatu keharusan bagi orangtua yang ingin anaknya tumbuh sebagai orang yang berperilakuan baik. Sebab, bagaimanapun juga, sebagai anak, tentu mereka akan bercermin kepada tingkah laku orangtuanya di dalam bertindak. Jangan sampai, larangan yang kita berikan secara verbal, justru bertolak belakang dengan perbuatan kita. hal ini lah –terkadang- yang menyebabkan turunnya wibawah orangtua di mata anak. “ayah/ibu sendiri kayak gitu”. Bantahan-bantahan seperti ini menunjukkan akan adanya degradasi martabat orangtua di mata anak. Hal ini akan terjadi ketika orangtua tidak mampu memberikan teladan terhadap apa yang ia ucapkan sendiri.

Ingat ada pepatah yang mengatakan, “kalaamul haali afshahu min kalaamil lisaani”, ucapan dengan tindakan, itu lebih fasih (mengena) dari pada dengan lisan. Rosulullah sendiri, banyak mendidik sahabat-sahabatnya, istri-istri, anak-anaknya, dengan memberi teladan, tanpa harus mengeluarkan kata. Dan itu bisa kita lihat, pada hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan redaksi, raaitu (aku melihat), sami’tu (aku mendengar). Dan salah satu dari hadits tersebut adalah sebagaimana yang ditriwayatkan oleh ‘Adurrahman bin Abi Bakrah, bahwa ia berkata pada ayahnya, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau setiap pagi berdo’a: allahumma ‘aafini fii badanii, allahumma ‘aafinii fii sam’ii, allahumma ‘aafinii fii basharii, walaa ilaaha illan anta (ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah sehatkanlah penglihatanku, ya Allah sehatkanlah badanku. Tiada Tuhan kecuali Engkau). Yang engkau ulang tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari”. Ia (ayahnya) menjawab: “sungguh aku telah mendengar Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wasallama, berdo’a dengan kata-kata ini. oleh karena itu, aku senang mengikuti sunnah-sunnahnya. (H.R. Abu Daud)

2. Bercerita

Sungguh sepertiga dari isi Al-Quran itu adalah berisi tentang kisah-kisah nyata orang terdahulu. Dan tidak lain tujuannya, agar supaya umat manusia mengambil pelajaran dari mereka, baik dari golongan yang mulia, ataupun dari mereka yang dimurkai. Simaklah firman Allah, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi mereka yang memiliki akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat. Akan tetapi, membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya yang menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (Yunus: 111).

Selain memberi tauladan, menceritakan kisah-kisah orang shaleh, sukses, dermawan, dll, merupakan seni mendidik yang sangat baik bagi pertumbuhan karakter mulia pada diri anak-anak. Nasehat yang kita berikan dengan pola demikian, akan lebih mudah bagi mereka untuk mencernanya. Cara mendidik model ini, pun telah dipraktekkan oleh Rosulullah dalam membina ummatnya. Sebab itu, orangtua dituntut untuk memiliki segudang kisah-kisah dan mampu mengemasnya dengan baik. Hadits yang menjelaskan tentang dimasukkannya seorang pelacur ke dalam surga karena menyelamatkan seekor anjing yang kehausan adalah di antara buktinya.

3. Menyertai Bermain

Di tengah kehidupan yang menjadikan harta sebagai setandar kebahagiaan seperti saat ini, tak jarang orangtua lebih memilih untuk meningggalkan anaknya, demi meniti karer, atau bisnisnya. Apapun alasan yang mendasari keputusan mereka tersebut, tentu tidak serta merta dibenarkan. Anak memiliki hak untuk ditemani berjengkrama. Jangan sampai, karena alasan bisnis, orangtuanya membiarkan anaknya tergilas moralnya, karekternya oleh lingkungan sekitar, baik itu teman mainnya, ataupun tontonan yang ia lihat dari layar kaca.

Kasus video yang memperlihatkan seorang bocah asal Malang yang berinisial S.A.S, yang tengah menyeruput kopi dan rokok, serta ‘disempurnakan’ dengan omelan-omelan cabulnya beberapa waktu lalu, setidaknya bisa dijadikan pelajaran, betapa turut-sertanya orangtua dalam setiap kegiatan mereka, sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian yang shaleh/shalehah.

Perhatikan penuturan Abu Sufyan berikut ini mengenai urgensi orangtua dalam menyertai anaknya bermain. Dari Abi Sufyan, ia berkata: Saya datang ke rumah mu’awiyah ketika ia bersandar, sedangkan punggung dan dadanya digelayuti seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Saya berkata: “singkirkanlah anak ini dari dirimu, wahai amirul mukminin!” ia menjawab: “saya mendengar Rosulullah pernah bersabda: ‘barang siapa yang memiliki anak kecil, hendaklah ikut bermain-main dengannya.” (H.R. Ibnu Asakir).

4. Menciptakan Kondisi Untuk Berbuat Baik

Ada pepatah yang mengatakan, “belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu.”. secara tersirat, pribahasa ini memeberi tahu kita, bahwa mengarahkan anak yang masih berusia dini untuk menjadi sosok yang berakhlakul karimah, itu relatif lebih mudah, ketimbang mereka yang sudah ‘kadar luarsa’. Sebab itu, orangtua harus mampu menciptakan kondisi agar anak tertarik untuk berbuat baik.

Sebagai contoh, ketika orangtua tekun beribadah, berakhlakul karimah, membantu yang lemah, maka secara tidak langsung, mereka telah menciptakan suatu kondisi yang positif untuk anak-anak mereka, agar melaksanakan apa-apa yang mereka (orangtua) kerjakan. Hal inilah yang dituntunkan oleh Rosulullah kepada para sahabatnya. Sabda beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah saw bersabda, “bantulah anak-anakmu untuk dapat berbakti (kepada orangtuanya) bagi siapa yang ingin anak-anaknya tidak durhaka ke pada mereka (orangtua) (HR. Thabrani).

5. Menanamkan Kebiasaan Baik

Suatu hari, Abdullah bin Mas’ud sedang berkumpul-kumpul dengan sahabat-sahabat senior, yang pernah bersua dengan Rosulullah. Di tengah-tengah pembicaraan mereka, Abdullah bin Mas’ud bertutur tentang bagaimana memperlakukan anak-anak, “biasakanlah mereka dengan perbuatan baik, karena sesungguhnya kebaikan itu dengan membiasakannya”.

Suatu perbuatan, apa bila itu telah menjadi kebiasaan, maka ia akan berubah menjadi karakter bagi si-pelaku. Karenanya, kita harus membiasakan putra-putri kita untuk berbuat baik sedari dini mungkin, sehingga, kebiasaan-kebiasaan positif yang telah tertanam sejak kecil, benar-benar tertancap pada jiwa mereka, yang kemudian menjelma menjadi karakter pribadian. Akhirnya, jadilah ia sosok yang memiliki jiwa yang luhur, lagi terpuji.

6 Mencontohkan Figur Yang Benar

Seiring dengan derasnya laju perkembangan zaman yang tak terkontrol saat ini, tak jarang membuat anak-anak tertarik untuk mengidolakan sosok yang sebenarnya kurang patut untuk dijadikan idola/figur. Acara-acara di TV, kini juga sedang menggiring mereka untuk memilih para idola yang tolak ukurnya bukan kepada akhlak mereka, namun lebih dipacu kepada mereka yang memiliki ketenaran secara publik, sekalipun akhlak mereka busuk. Hal yang demikian ini, tentu sangat membahayakan bagi kepribadian anak-anak. Kenapa? Sebagai pengidola, tentulah mereka akan melacak segala hal yang berkaitan denga si-idola, bahkan, bukan suatu yang tak mungkin mereka akan meniru apa yang mereka dapatkan, sekalipun hal tersebut sesuatu yang tercela.

Karenanya, sebagai orangtua, sepantasnya memilihkan figur yang baik bagi anak-anak mereka, sehingga tidak salah pilih. Para nabi, sahabat, ulama adalah sosok yang patut diteladani.

Berkaitan dengan hal memilih figur, Syaidina Ali pernah berkata, “Didiklah anak-anak kamu sekalian dengan tiga sifat yang baik, yaitu: cinta kepada Nabimu (Muhammad), cinta kepada anggota keluarganya, dan cinta untuk membaca Al-Quran.” (HR. Thabrani dan Ibnu Najjar)

7. Santun

Tak jarang orangtua karena kesal terhadap perilaku anak-anaknya yang bertentangan dengan apa yang mereka (orangtua) inginkan, bentakanpun akhirnya meluncur pada anak bani adam yang masih polos-polos ini. bahkan, terkadang, tanganpun ikut ‘berbicara’ dengan cara menjewer, mencubit, dan lain sebagainya.

Cukuplah sabda rosulullah di bawah ini, mengajak kita untuk mendidik anak dengan cara santun, sesantun-santun mungkin. Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulaimi, ia berkata: ketika aku shalat bersama Nabi, tiba-tiba ada seorang dari kaum itu bersin, lalu aku berkata: ‘Yarhamukallah!’ (semoga Allah menghormatimu’) orang-orang pun melemparkan pandangannya kepadaku. Akupun berkata: ‘sialan ibu! Mengapa kalian memandangku? Mu’awiyah berkata: ‘lalu mereka memukulkan tangan mereka pada pahanya, yang kami duga mereka menyuruh diam, maka akupun diam. Tatkala Nabi selesai shalat, demi ayah dan ibuku, aku belum pernah melihat seorang guru sebelum dan sesudahnya yang teramat baik pengajarannya, kecuali Nabi saw. Demi Allah, beliau tidak pernah merendahkan aku, dan mencelaku, namun beliau bersabda: “Sesungguhnya shalat itu tidak patut dicampur dengan omongan manusia. Tidak lain sholat itu melainkan bertasbih, bertakbir, dan membaca Al-Quran atau kata yang serupa itu.”(HR. Ahmad, Muslim, Nasa’I, dll.)

8. Memberi Dorongan dan Peringatan.



Cinta seorang muslim terhadap anaknya, bukanlah cita yang buta, akan tetapi, justru kecintaannya tersebut mampu menghantarkan keduanya lebih kenal dan cinta kepada Allah. inilah cinta hakiki seorang ayah/ibu yang taat beragama kepada anaknya. Sebab itu, mereka senantiasa memberi dorongan kepada anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, dan menegurnya ketika lalai, ataupun sebagainya.

Selaras denga hal ini, ada sebuah riwayat yang menyatakan, dari Watsilah bin Asqa’, sesungguhnya Rosulullah saw, menemui Utsman bin Mazh’un yang sedang bersama salah seorang anak kecilnya yang laki-laki dan anak tersebut diciumnya. Nabi saw. Bertanya kepadanya: “Apakah ini anak laki-lakimu?” ia menjawa “ya” kembali Nabi bertanya “Engkau mencintainya wahai Utsman?’ ia berkata “ demi Allah wahai Rosulullah, saya mencintainya” Nabi bersabda “maukah engkau aku tunjukkan agar engkau lebih mencintai dia?” ia berkata” baiklah, ya Rosulullah” Nabi bersabda “barang siapa yang membuat senang hati anak kecil dari keturunannya hingga dia menjadi senang, maka Allah akan menjadikan ia senang pada hari kiamat sampai orangtua itu senang.” (HR. Ibnu Asakir).

Demikianlah di antara seni dalam mendidik anak, agar mereka tumbuh sebgai Qurratul ‘ayun (yang menyejukkan hati) karena menyaksikan ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya. Wallahu ‘alam bia-shawab

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...