Kamis, 25 Agustus 2016

QURBAN 2

 Oleh : Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza

Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
 
Assalamu'alaikum Warohmatullaahi Wabarookaatuhu.... Bismillah Alhamdulillah wash-shalaatu was-salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihii wa shahbihi ajma'in amma ba'du... Terima kasih sebelumnya Ust Hilman... Mohon izin pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama'ah sekalian untuk melanjutkan pembahasan mengenai QURBAN yang telah dimulai sejak minggu kemarin... 
Terima kasih Pak Haji... Sebelum mulai, mohon perkenannya untuk membaca Ummul Qur'an. Mudah-mudahan dengan membaca surat pembuka Al-Qur'an ini dimudahkan dan dilancarkan di dalam mengkaji dan mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya.... Alfaatihah... 

 Bismillahirrahim... Minggu lalu kita sedikit sudah menyinggung perihal syarat-syarat hewan qurban. Hari ini, sebagaimana yang tercantum dalam At-Tadzhib, h. 243, ada empat kondisi binatang qurban yang tidak dibolehkan untuk dijadikan qurban. Pertama, Al-'Aura'u, yaitu hewan yang matanya rusak sebelah, yang tampak jelas kerusakannya. Kedua, al-'arjau atau hewan yang pincang, yang sangat tampak kepincangannya. Ketiga, Al-'Ajfau, atau hewan yang kurus hingga hilang sumsumnya hingga hilang karena kekurusannya. Keempat, al-mariidhah, yaitu hewan yang jelas sakitnya. Lebih jauh disampaikan bahwa dianggap cukup, artinya boleh qurban dengan hewan yang dikebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Sedangkan hewan yang putus telinga dan ekornya, tidak diperbolehkan. Baik putusnya semua telinga/ekor atau hanya sebagiannya, karena mengurangi daging dan hilangnya bagian yang akan dimakan. Adapun dasar dari 4 kondisi yang dilarang untuk dijadikan qurban adalah hadist shahih riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, dari Al-Barra bin Azib, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Ada empat hewan yang tidak boleh dijadikan kurban: buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya ketika jalan, dan hewan yang sangat kurus, seperti tidak memiliki sumsum.”
Di dalam beberapa rujukan lain, sesuai pertanyaan Pak Yasir minggu lalu, apakah boleh qurban dengan hewan betina? Di sini jenis kelamin tidak menjadi halangan, baik betina maupun jantan, semua dibolehkan. Mungkin dalam kondisi tertentu, hewan betina dihindari karena untuk peranakan atau pengembangan ternak sebagai induk. Berbeda dengan hewan jantan, yang tidak perlu banyak untuk pejantan.

Pertanyaan:
Apakah boleh berqurban dengan uang Zakat, semisal Zakat profesi?
Terkait pernyataan Sheykh Ali Jaber dalam video yang berdurasi 10 menit lebih yang berisi tertang perihal berqurban, apakah boleh berqurban satu ekor kambing tapi diatasnamakan untuk satu keluarga? 
Apakah hukum berqurban itu wajib?
Apakah yang dimaksud dengan Qurban digital dan  Hukumnya?
Apa hukum berqurban ditempat lain semisal dikampung halaman sedangkan sipequrban berada ditempat lain?
Penjelasan;
Pertama, perihal video Syeikh Ali Jaber, ada beberapa hal yang perlu dijernihkan, agar tidak simpang siur. Satu, dikatakan qurban itu wajib?
Dalam beberapa literatur, sehingga kita bisa mengecek bersama-sama bahwa sebagaimana sebelumnya pernah kami sampaikan bahwa hukum qurban ulama madzhab tidak satu suara, ada ikhtilaf. Secara garis besar bisa dibagi tiga. Pertama, hukum qurban adalah wajib. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah. Namun, di dalam madzhab Hanafi sendiri, ulama di belakang Imam Abu Hanifah mayoritas menyatakan hukumnya sunnah muakkad, di antaranya Abu Yusuf (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 3, h. 595)

Dasar Imam Abu Hanifah menyatakan wajib adalah Surat Al-Kautsar ayat 2, "Fashalli lirabbika wanhar." Maka shalatlah kamu dan berkurbanlah. Ada amr atau perintah di terhadap kurban dalam ayat ini. Kedua, hadist Nabi SAW yang menegaskan, "Siapa saja yang memiliki keluasan (kekayaan), tetapi dia tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami."( Hadist Shahih riwayat Hakim).
Adapun dasar dari ulama yang menghukumi sunnah (tidak hanya sebagian ulama Hanafi, tapi juga Syafii, Maliki, dan Hambali), bahwa ayat dan hadist di atas benar menunjukkan perintah akan qurban. Tetapi ada qarinah (istilah dalam Ushul fiqh, yaitu petunjuk yang menentukan hukum sesuatu setelah dikumpulkan berbagai dalil yang ada) dengan dasar dalil yang lain, di mana menunjukkan bahwa qurban tidak sampai derajat wajib. Yaitu, hadist yang beberapa kali telah disebut, yang berkenaan larangan mencukur dan memotong kuku bagi orang yang qurban.  إذا رأيتم هلال ذي الحجة ، وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره . Kata araada ahadukum dalam hadist shahih ini, yang diriwayatkan oleh Muslim dengan beberapa redaksi berbeda (kadang araada, kadang yuridu, tapi maknanya sama) adalah qarinah yang menunjukkan bahwa kata "jika menghendaki/ingin" menunjukkan qarinah ghariu jazm, atau petunjuk tidak tegas akan kewajiban dalam qurban. Artinya derajat perintah qurban setelah dikumpulkan beberapa dalil menunjukkan hukum qurban sampai pada tingkat sunnah muakkad.
Contoh lain, untuk mempermudah, adalah dalil tentang ziarah kubur. Dalam hadist Shahih riwayat muslim dikatakan, نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Kata Nabi, "Dulu aku melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah." Kata ziarahlah adalah amr atau perintah untuk ziarah, di mana prinsip dasar sebuah perintah adalah menunjukkan wajib. Tetapi perintah ini jatuh setelah ada larangan "nahaitukum". Karena itu, jika ada perintah jatuh setelah adanya larangan, oleh ulama dikatakan, menunjukkan hukum sesuatu yang diperintahkan itu sunnah, tidak wajib.
  Atau contoh yang berkaitan dengan qurban ini adalah hadist tentang larangan memotong rambut dan kuku bagi orang yang qurban. Hadist dasar larangan memotong kuku dan rambut adalah إذا رأيتم هلال ذي الحجة ، وأراد أحدكم أن   يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره ) رواه مسلم             
           
  Artinya, Ketika kalian melihat hilal dzulhijjah, dan salah satu di antara kalian menghendaki untuk berqurban, maka tahanlah (untuk memotong) rambut dan kukunya. Hadist ini jelas menunjukkan larangan "falyumsik". Namun, hal ini harus dikumpulkan dulu seluruh dalil, dan disebutkan hadist lain, yang berbunyi berbeda dengan hadist ini, yaitu hadist riwayat Aisyah, yang berbunyi: قالت : كنت أفتل قلائد هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ، ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله حتى ينحر هديه " رواه البخاري ومسلم 
 yang artinya:  ‘Aisyah RA beliau berkata "Aku mengikatkan tali pada hewan qurban Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW mengikatnya kembali dengan tangan Beliau lalu mengirimnya. Maka sejak itu tidak ada yang diharamkan lagi bagi Rasulullah SAW dari apa-apa yang Allah halalkan hingga hewan qurban disembelih." Karena itulah dai berbagai dalil ini disunnahkan bagi yang qurban untuk tidak mencukur rambut dan kukunya. Sebaliknya, makruh hukumnya melakukan keduanya. (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 626-627)
Karena itulah, kesimpulan dari beberapa contoh ini, menegaskan pendapat jumhur ulama, baik dari Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, bahwa hukum dasar qurban adalah sunnah muakkad, menyelisihi pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan wajib. Meski demikian ulama kemudian merinci kesunnahan ini, sehingga bisa kita petakan menjadi dua pendapat berikutnya. Yaitu hukum qurban adalah sunnah 'ain, (sama seperti fardlu, ada fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Sunnah juga ada sunnah 'ain dan sunnah kifayah). Maksudnya adalah kesunnahan yang ditetapkan kepada setiap musli mukallaf yang mampu. Karena itu, qurban dianjurkan bagi masing individu-individu muslim. Inilah pendapat Abu Yusuf (madzhab Hanafi). Ini juga pendapat Maliki, meskipun dalam penjelasannya Maliki menegaskan qurban dibebankan setiap individu muslim dalam kepemilikan atau pembeliannya. Tetapi jika ketika ia qurban, kemudian diniatkan pahalanya diberikan pula pada keluarganya, maka keluarganya mendapatkan pahal yang sama. Hanya saja Maliki mensyaratkan, tiga hal: orang yang diniatkan itu adalah tinggal bersama orang yang qurban, kerabat atau ada hubungan darah, dan diberi nafkah olehnya. Keluarga yang seperti inilah yang dibolehkan oleh Maliki diniatkan dalam qurban itu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Syafi'i dan Hambali, yaitu bahwa qurban hukumnya adalah sunnah 'ain bagi setiap individu, tetapi sunnah kifayah bagi sebuah keluarga. Maksudnya bagi seseorang yang tidak berkeluarga, maka ia sendiri dikenai hukum sunnah ini, sedangkan bagi sebuah keluarga, maka jika kepala keluarga, misalnya, berqurban, maka anggota keluarga lain gugur dari kesunnahan qurban.
Gugur yang dimaksud di sini adalah bahwa bagi keluarga yang lain tidak lagi dituntut kesunnahan qurban, tetapi tidak mendapat pahala yang sama seperti halnya orang yang qurban. Hanya gugur saja tuntutan kepadanya pada tahun qurban tersebut. (Al-Mausu'ah, juz 5, h. 77-78). Tetapi lebih jauh dijelaskan bahwa kesunnahan qurban ini sekali seumur hidup bagi setiap muslim. Artinya, jika tahun ini, karena anggota keluarganya ada yang qurban, maka gugurlah tuntutan padanya, tetapi pada tahun berikutnya tuntutan itu hadir kembali, tidak gugur selamanya. Dasarnya adalah يَا أَيُّهَا النَّاسُ! عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِى كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ, Wahai manusia, atas setiap keluarga diperintahkan setiap tahun untuk berqurban. Hadist Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi nilainya shahih atau hasan.
Karena itulah kemudian, muncul pertanyaan, apakah disunnahkan qurban bagi anak kecil? Maka ulama menegaskan bahwa tetap disunnahkan, meski uang untuk membelinya adalah dari bapaknya.Karena itulah, kesimpulan dari ini. Jika dikatakan qurban itu wajib, sebagaimana disebut Syaikh Ali Jaber, maka itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan jika Syaikh Ali Jaber mengatakan bahwa cukup qurban satu untuk keluarga, itu adalah pendapat sebagian Syafi'i dan Hambali. Meskipun kalau diteliti lebih jauh, misalnya di Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, juz 3, h. 354, Imam Rafii (Madzhab Syafii) bahwa kesunnahan qurban berlaku bagi setiap individu dalam keluarga. Artinya, satu keluarga yang berqurban tidak membatalkan kesunnahan bagi yang lain.
Karena itu, jika dikatakan praktek di sini jauh dari ketentuan soal qurban, maka terbantahkan. Sebab yang dipraktekkan adalah ketika hewan qurban akan disembelih, maka disebutkan nama-nama yang qurban. Jika yang qurban tahun ini hanya satu orang dari satu keluarga dengan satu kambing misalnya, maka sah-sah saja. Atau sebaliknya, yang qurban satu sapi, misalnya, dari 7 anggota dari satu keluarga, juga dibolehkan, karena mengikuti pendapat Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi'i bahwa kesunnahan qurban ini berlaku bagi masing-masing individu (sunnah 'ain). Dan ini sejalan yang disampaikan juga oleh Syaikh Ali Jaber, jika mampu keluarga itu, boleh lebih dari satu. Itu dipersilahkan. Karena perlu diingat, bahwa qurban tujuannya adalah qurbah, mendekat kepada Allah, bersyukur atas nikmat Allah, dan berbagi kebahagiaan di hari raya Idul Adha yang disebut sebagai yaumu aklin wa syurbin wa dzikrillah, hari makan, minum (makan daging qurban dll, hingga haram puasa), dan hari dzikir (dengan takbir selama Hari Raya dan Hari Tasyriq).
Mengapa nama-nama itu disebutkan saat menyembelih? Sebab Niat qurban itu dianjurkan saat penyembelihan, meski dibolehkan saat membeli atau menyerahkan qurban tersebut. Lebih dari itu, disunnahkan pula mudhahhi atau orang yang qurban untuk menyembelih sendiri hewan qurbannya, sebagaimana yang Nabi lakukan. Atau kalau toh tidak, artinya mewakilkan dalam penyembelihan, disunnahkan untuk menyaksikan penyembelihan itu. Dasarnya adalah hadist Nabi, "Wahai Fatimah, bangunlah (dan mendekat) pada hewan qurbanmu, serta saksikanlah ia (hadist riwayat Hakim), meski dinilai hadist ini dhaif. Karena itulah, kalau memang tidak bisa menyaksikan, juga tidak apa-apa, tidak menjadi kewajiban. Yang terpenting adalah niat qurban ketika membeli atau menyerahkan hewan qurban itu kepada panitia.
(Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, h. 628, Al-Mausu'ah, juz 5, h. 100). Karena itu, menyambung pertanyaan Ust CW berkaitan dengan qurban digital, maka itu dibolehkan. Yaitu qurban dengan membeli secara digital, dan tidak menyaksikan langsung hewan qurbannya disembelih. Sebab jual beli secara digital dibolehkan, seperti kita jual beli lewat atm atau secara online. Asal masing-masing amanah sesuai spesifikasi barang yang dibeli. 
Terakhir, menyambung dengan pertanyaan Pak Rudi, lebih afdhal mana, qurban di sini atau di tempat lain? Menegaskan kembali bahwa Nabi dalam satu hadist mengatakan tentang Idul Adha, "Hari ini adalah hari makan dan minum.(riwayat Ahmad) " Dalam hadist lain riwayat Muslim, "Hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah." (Tafsir Ibnu Katsir, h. 264). Karena itu qurban adalah ungkapan syukur kepada Allah dengan berbagi, sarana memuliakan tetangga dan  tamu, berbagi dengan orang fakir (Al-Mausu'ah, juz 5, h. 76). Di sini jelas bahwa ada keterangan perihal berbagi makan dengan orang fakir dan tetangga. Itu artinya, bahwa qurban yang paling utama adalah di dekat rumah sehingga bisa berbagi dengan orang fakir sekitar. Namun, jika nun jauh di sana, ada yang lebih fakir dari sekitar kita, maka itu juga mendapat keutamaan pula. Oleh karena itu tinggal dilihat, mana yang lebih dekat dan membutuhkan, dua faktor ini yang jadi penimbang. Kalau di kampung banyak yang miskin apalagi masih keluarga, silahkan qurban di kampung. Tapi kalau di sekitar kita juga banyak, maka dahulukan yang dekat daripada yang jauh.  
WaLlahu a'lam bish-shawaab...

 

Kamis, 18 Agustus 2016

QURBAN 1

 Nara Sumber : Ustdzuna Fathury Ahza Mumthaza.

Assalamu'alaikum Wr Wb... Alhamdulillahirabil'alamiin wash-shalaatu was-salaamu 'ala asyrafil ambiyai wal mursalin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'iin...
  Alhamdulillah bertepatan dengan 17 Agustus, hari ini, kita akan melanjutkan pengajian online dengan tema khusus, yaitu tentang qurban.... Mohon izin kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jamaah sekalian untuk memulai
  Oleh karena itu, mohon kiranya untuk bersama-sama membaca Surat Al-Faatihah, agar yang kita pelajari hari ini dibukakan pikiran dan hati kita agar dapat memahaminya dengan baik dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari... Al-faatihah...
Bismillahirrahmanirrahim... Pembahasan mengenai qurban bisa dilihat di halaman 241 kitab At-Tadzhib. Fasal Tentang Udhhiyyah atau sembelihan. Udhhiyyah diartikan sebagai hewan yang disembelih, baik itu berupa unta, sapi, domba, maupun kambing di hari Idul Adha (dan hari Tasyriq), dengan tujuan mendekat kepada Allah SWT. Udhiyyah sendiri terambil dari kata adh-dhahwah, yang berarti waktu dhuha.
  Adapun hukum udhiyyah atau qurban itu sunnah muakkadah, atau sunnah yang sangat dianjurkan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar ayat 2, "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." Demikian pula dalam satu hadist Bukhari Muslim diriwayatkan dari Anas, "“Bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.”
  Selain dari Al-Qur'an ini, qurban juga ditetapkan hukumnya oleh Ijma' shahabat dan ulama akan pensyariatannya, meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melaksanakannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, 597). Adapun waktu pertama kali disyariatkan adalah pada tahun kedua hijriyah, sama dengan disyariatkannya shalat 2 'Id, zakat mal, dan zakat fitrah.(Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
 Keterangan lain disebutkan dari madzhab Hanafi, bahwa hukum qurban adalah sunnah 'ain muakkadah, yang artinya orang yang meninggalkannya atau tidak melakukannya tidak disiksa di neraka, tetapi tidak akan mendapat syafa'at dari Nabi Muhammad SAW, karena itulah Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa qurban wajib hukumnya. Sedangkan Madzhab Syafi'i mendetailkan bahwa hukum qurban itu sunnah 'ain bagi setiap muslim, artinya sunnah bagi setiap individu. Namun, bagi keluarga, maka hukumnya sunnah kifayah, artinya jika ada salah satu sudah melakukannya, maka yang lain gugur dari kesunnahan tersebut pada waktu itu. Tetapi pada waktu berikutnya kesunnahan tetap ada bagi setiap anggota keluarga lainnya. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).



Pertama, terkait kriteria orang yang qurban dan jumlah mudhahhi atau orang yang qurban.
Syarat pertama bagi orang yang berqurban, ulama sepakat yaitu al-qudrah atau mampu. Di sini dalam penjelasannya ulama sedikit berbeda penekanannya. Pertama, bagi ulama Hanafi bahwa yang dimaksud mampu adalah orang yang saat itu memiliki kemampuan 200 dirham atau uang perak. Ini sebenarnya senilai dengan nishab zakat mal. Kedua, Syafi'i lebih ringan yaitu, jika mudhahhi memiliki harta untuk memnuhi kebutuhan hari Idul Adha bagi dirinya dan keluarga, dan memiliki kelebihan untuk membeli seharga hewan qurban. Sedangkan Maliki dan Hambali lebih ringan lagi, yaitu siapa yang mampu membeli seharga hewan qurban itu, meski dengan berhutang. Yang penting diperkirakan ia mampu tanpa kesulitan untuk membayarnya nanti (AL-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 600, Al-Fiqh 'Ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 644, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 80).

Disini jelas bahwa meski dengan berhutang pun dibolehkan untuk berqurban, asalkan diperkirakan tanpa adanya kesulitan bahwa mudhahhi mampu untuk membayarya. Yang jelas, prinsip yang lain, yaitu yang disebut dengan 'adamul isytiraki fi tsamanil udhhiyyah, maksudnya hewan qurban tidak dimiliki atau dibeli secara berjama'ah atau banyak orang kecuali untuk sapi dan unta, di mana maksimal hasil dari patungan 7 orang atau kurang daripada itu (6 orang, 5 orang atau sebawahnya). Sederhananya, sebagaimana selama ini dipraktekkan, yaitu bahwa untuk kambing adalah milik satu orang, sedangkan sapi atau unta adalah milik 7 orang atau kurang. (AL-Fiqh AL-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 602). Karena itu, dikatakan bahwa jika orang yang qurban untuk kambing lebih dari satu orang, atau untuk sapi dan unta lebih dari tujuh orang, maka tidak sah hukumnya. (Al-Fiqh 'Ala madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 648). Karena itu, patungan RT untuk qurban, itu tidak sah hukumnya
Tetapi, jangan buru-buru membatalkan tradisi yang baik di RT. Ada solusi agar tetap bisa dilaksanakan arisan qurban ini. Bagaimana caranya? Yaitu dengan cara ditentukan di awal siapa yang menjadi pemilik dari kambing (1 orang) atau sapi & unta (7 orang). Setelah ditentukan, maka yang lain niat mengikhlaskan untuk memberikan hewan qurban itu bagi nama yang dimaksud. Nah, baru ketika hewan qurban disembelih, mudhahhi atau orang yang qurban meniatkan bahwa qurban yang disembelih pahalanya dibagi kepada warga RT. Sebab isytirak atau bersekutu dalam pahala dibolehkan oleh ulama.
Karena itu, untuk lebih detailnya, berikut detail syarat qurban. 1. Syarat bagi hewan qurban. Paling tidak ada tiga syarat. Pertama, hewan qurban itu adalah binatang ternak, baik itu domba, kambing, sapi, maupun unta. Selain daripada hewan-hewan ini, maka tidak dibolehkan, meskipun misalnya makanan yang umum dikonsumsi di wilayah itu adalah burung, maka ini tidak dibolehkan. Di dalam syarat ini juga termasuk aturan mengenai bahwa kambing/domba adalah untuk satu orang, sedangkan unta/sapi untuk maksimal 7 orang. Hal ini didasarkan pada hadist, "Kami pernah berkurban (melakukan nahr atau penyembelihan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, yaitu kami berkurban untuk unta dengan patungan tujuh orang. Sedangkan sapi untuk patungan tujuh orang.” Hadist ini diriwayatkan oleh Ali bin ABi Thalib, Ibnu Umar, Aisyah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas. Dari Tabi'in dan ulama juga menegaskan hal yang sama, yaitu 'Atha', Salim, Thawus, Hasan Al-Basri, Al-Auzai, Ats-Tsauri, Abu Tsur, dan masih banyak ahli ilmi, termasuk ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali. Sedangkan ada riwayat lain dari Ibnu Amr, yaitu "Tidak mencukupi satu nafs (satu qurban) untuk tujuh orang (Al-Mughni Ibni Qudamah)." Dalil ini yang dipegang oleh madzhab Maliki yang mengatakana bahwa baik kambing, sapi, maupun unta hanya bisa dikeluarkan oleh satu orang pemilik. Artinya, yang qurban harus satu orang. Tetapi nanti pahalanya dibolehkan oleh mudhahhi diniatkan pula untuk orang tuanya, anaknya, atau orang lain. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 82).


Dasar inilah, yang sebelumnya kami sampaikan berkaitan dengan qurban RT. Artinya, agar dibolehkan model qurban seperti ini, maka yang iuran diwajibkan meniatkan iurannya diberikan kepada orang-orang yang dpilih sebelumnya. Baru nanti saat penyembelihan, orang2 yang dipilih meniatkan pahalanya bagi orang RT. Mengapa, demikian? Penjelasan hal ini akan disampaikan pada syarat-syarat mudhahhi nanti.
Syarat kedua hewan qurban adalah, masing-masing telah mencapai umur untu qurban. Yaitu,
- Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
- Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
- Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.
  
Ketiga, hewan qurban tidak catat fisiknya, baik itu juling matanya, sakit, kurus parah, atau pincang (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 81-89).
Selanjutnya syarat bagi orang yang berqurban. Pertama, adalah niat. Niat yang yang harus ditetapkan oleh mudhahhi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, makanya penyembelihan ini biasa disebut qurban, karena niatnya memang demikian. Karena itu, jika niat untuk dagingnya, atau hal-hal lain, maka itu tidak dibolehkan, dan qurbannya tidak sah. Kedua, niat itu diniatkan ketika membeli atau ketika (kalau di Indonesia) menyerahkan hewan qurban pada panitia. Tidak harus saat penyembelihan. Ketiga, Tidak boleh berbeda-beda dalam niat, bagi yang qurban sapi/unta. Maksudnya, misalnya ada 7 orang qurban 1 sapi, yang satu niat untuk Allah, sementara yang lain niat untuk memperoleh dagingnya dst. Demikian juga tidak boleh isytirak dalam kepemilikan hewan qurban, yaitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, satu kambing ternyata dimiliki beberapa orang, atau dibeli atas patungan beberapa orang. Ini juga tidak dibolehkan (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 90).

Pertanyaan kedua, bagaimana kalau belum aqiqah, apakah boleh qurban?
Pertama, yang perlu dipahami terlebih dahulu soal aqiqah, baik hukumnya, dan bagaimana detail dalam pelaksanaannya. Pertama, hukum aqiqah, kalau menilik berbagai pendapat ulama, ia tidak sampai ada yang mengatakan wajib, sebagaimana qurban. Madzhab Hanafi hanya menghukumi boleh saja, tidak sampai sunnah. Maliki menyebut mandub atau sunah, sedangkan Syafi'i dan Hambali menegaskan hukum Aqiqah adalah sunnah muakkadah.
Adapun dasar bahwa hukum aqiqah sunnah muakkadah adalah hadist riwayat Tirmidzi yang berpredikat hasan shahih, yang berbunyi, "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, hingga disembelih aqiqah itu pada hari yang ke tujuh. (Lihat Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 636 dan Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 276-277). Di sini ternyata ulama menyebut siapa yang dikenai hukum ini dan batas waktunya. Yaitu bahwa kesunnahan melaksanakan aqiqah ini adalah berlaku bagi Sang Ayah, di mana ia adalah orang yang memberi nafkah bagi anak yang dilahirkan. Di sini ulama sepakat, ayahlah yang dikenai anjuran aqiqah ini.
Lalu bagaimana soal waktu disunnahkan aqiqah dan sampai kapan?
Soal waktu ini, menarik kiranya dibahas makna aqiqah dari sisi bahasa, sebab ternyata bahasan soal aqiqah di Ensiklopedi Fiqh jatuh setelah pembahasan aqiq, alias batu akik, seperti yang kita kenal. Hanya ditambah dengan ta' marbuthah saja, menjadi aqiqah. Makna aqiqah secara bahasa, pertama adalah MANIK-MANIK berwarna merah dari jenis batu mulia (akik). Kadang juga disematkan untuk batu yang berwarna kuning atau putih. Kedua, makna aqiqah adalah sebutan untuk RAMBUT BAYI manusia atau binatang, yang tumbuh di dalam kandungan. Ketiga, sebutan untuk HEWAN YANG DISEMBELIH untuk anak saat dicukur rambutnya. (Al-Mausu'ah, juz 30, h. 276) .
  
Dari makna bahasa yang terakhir inilah kita memulai bahasan berkaitan waktu pelaksanaan aqiqah. Yaitu bahwa ulama sepakat bahwa waktu terbaik pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh dari kelahiran sang bayi. Namun, lebih detail Syafi'i dan Hambali menjelaskan bahwa kesunnahan aqiqah dimulai sejak bayi keluar dari rahim ibunya. Sebaliknya jika dilaksanakan, sebelum anak lahir, maka itu belum dibolehkan.
Menurut Maliki, kesunahan aqiqah ini hanya berlaku hingga hari ketujuh usia anak. Namun, menurut Syafi'i dan Hambali masih disunnahkan, bahkan hingga anak baligh dan dewasa, ia masih dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah hanya saja beban tanggung jawabnya pindah dari ayah pada dirinya sendiri, sebab tidak ada batas waktu akhir dalam pelaksanaan aqiqah. (Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 268).
Karena itu, sesuai pertanyaan, bagaimana kalau belum aqiqah, lalu qurban? Dua-duanya sunnah bagi setiap individu muslim. Tetapi jika kita sudah dewasa dan mandiri, kesunnahan qurban lebih utama dibanding aqiqah. Karena itu, jika disuruh memilih mana yang lebih didahulukan, maka jika belum qurban, maka berqurbanlah terlebih dahulu, baru kita melaksanakan aqiqah. Namun, ada solusi yang bisa dipilih, diberikan Imam Ramli, yaitu bahwa seseorang diperbolehkan, sembari berqurban, dibarengkan niatnya dengan aqiqah (Lihat Qutul Habibil Gharib Syarah Fathul Qariib, h. 275). Artinya, dibolehkan niatnya dobel, dengan hewan yang sama.
 Apakah boleh qurban dengan kerbau?
 Keterangan soal sapi bisa dilihat dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyyah, juz 8, h. 158, yaitu baqarun atau sapi digunakan untuk menyebut hewan jenis ini, baik yang jinak maupun liar, baik yang jantan maupun betina, dengan bentuk jamak baqaraatun. Dan di sini ulama fiqh menyamakan antara baqarun dengan jaamus atau kerbau dari sisi hukumnya. Artinya, kerbau dianggap sejenis sapi oleh ulama, karena itu hukum qurban dengan kerbau dibolehkan, di mana nilainya sama dengan sapi. Hal ini sama dengan ghanam (domba), yang umum di kalangan Arab, dan dianggap sejenis ma'az (kambing bandot).
Bagaimana aqiqah untuk yang sudah almarhum? 
 Di sini ada dua pembagian, sang almarhum meninggal saat bayi atau sudah baligh atau dewasa. Menurut Syafi'i, jika anak meninggal sebelum usia tujuh hari, maka ia tetap disunnahkan untuk di-aqiqahi oleh orang tuanya. Meskipun ada pendapat lain, dikemukakan oleh Hasan Al-Basri dan Malik bin Anas, hal itu tidak disunnahkan (AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 277. Sedangkan jika almarhum meninggal saat dewasa, misalnya bagi anak, yang ingin meng-aqiqahi orang tuanya, maka dibolehkan, disamakan dengan qurban bagi orang tua yang telah meninggal. Sebagaimana yang dilakukan sahabat Ali yang berqurban untuk drinya juga Rasulallah (Syamsuddin As-Sarbini, Mughnil Muhtaj, juz 4, h. 390).
Namun demikian, lebih tepatnya adalah niat saja shadaqah untuk mayit, terutama orang tua, di mana di sini tidak ada batasan jumlah dan waktunya, dan sangat dianjurkan berdasarkan hadist shahih, Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya)". Hadist ini sangat Masyhur, karena diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dst, sehingga sangat kuat untuk diamalkan.
BERSAMBUNG...
 


GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...