Selasa, 18 Maret 2014

NABI MUHAMMAD SAW SEBAGAI USWATUN HASANAH BAGI ORANG YANG INGIN MENEMUI ALLAH



IMRAN DJAU
Pada tanggal 12 Rabiul awal tahun gajah atau tanggal 20 April 571 Masehi yang lalu telah lahir seorang manusia yang menjadi Rahmatan Lil Alamin dan menyandang derajat keterpujian yang tidak terukur ketinggian dan kesempurnaannya serta kelak membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia. Manusia tersebut adalah Ahmad yang kemudian menyandang nilai-nilai Ke-Muhammad-an yang sangat tinggi sehingga beliau berhak menyandang gelar Muhammad yaitu yang sangat terpuji dan selalu dipuja dan dipuji, yang menjadi Rahmatan Lil Alamin dan Uswatun Hasanah bagi seluruh makhluk yang ada di alam semesta Raya ini.

Kata Muhammad apabila kita renungkan lebih dalam lagi dapat diartikan secara lahiriah maupun secara batiniah, yaitu :

Pertama, Muhammad secara lahiriah adalah menunjuk kepada satu sosok seorang manusia biasa yang mempunyai sifat terpuji dan diutus oleh Allah untuk menyampaikan seruan atau ajaran Tauhid kepada seluruh umat manusia.

Katakanlah : “sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Maha Esa….” (QS Al Kahfi 18 : 110).

Sebagai manusia biasa, Muhammad merupakan prothotype manusia sempurna yang patut menjadi Uswatun Hasanah bagi seluruh umat manusia. Sebutan “Manusia Sempurna” sering disalahartikan oleh sebagian besar umat Islam, yakni Manusia sempurna adalah sosok manusia yang serba bisa, serba tahu, serba baik dan lain sebagainya. Padahal jika kita kaji dan renungkan kembali hakikat dari istilah “Sempurna” itu, mempunyai unsur keseimbangan, kesepadanan, kesesuaian dan keharmonisan dalam hal apapun. Dalam kajian Tauhid, kesempurnaan yang paling sempurna pada hakikatnya adalah Allah SWT itu sendiri. Apa yang diciptakan Allah di alam semesta ini merupakan ciptaan yang Maha Sempurna dan tidak ada yang sia-sia, sesuai dengan firman-Nya :

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah, sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang”?. (QS Al Mulk 67 : 3).

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapa orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (QS Shad 38 : 27).

“…Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran 3 : 191).

Berdasarkan firman tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa apa yang terjadi dan apa yang dicipta di alam semesta ini adalah suatu kesempurnaan yang tidak sia-sia, baik sifat maupun bentuknya. Misalnya seperti : baik-buruk, indah-jelek, terpuji-tercela, siang-malam, panas-dingin, panjang-pendek, siang-malam, pria-wanita, besar-kecil dan sebagainya. Jadi suatu kesempurnaan adalah satu keseimbangan antara dua sifat atau unsure yang dikotomis atau bertolak belakang, sebab apabila hanya ada satu sifat saja atau ada baik saja, atau ada siang saja, atau ada dingin saja, hal itu bukanlah suatu yang dapat disebut sempurna.

Dengan dalih bahwa kita tidak akan sanggup mencapai derajat sempurna seperti Nabi Muhammad, banyak umat Islam merasa tidak perlu mencontoh semua apa yang telah diteladani oleh Nabi Muhammad SAW, terutama peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya beliau. Padahal sebagai Guru Besar bidang Tauhid Islam, beliau akan senang apabila seluruh umatnya dapat mencontoh semua teladannya., baik lahir maupun batin, bahkan beliau akan lebih senang lagi apabila ada umatnya yang dapat melebihi beliau.

Di dalam Al Qur’an telah diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang menghendaki perjumpaan dengan Allah ketika kita masih hidup di atas dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah ;

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab 33 : 21).

Sebagian ahli tafsir, banyak yang menterjemahkan ayat tersebut dengan iftiro atau menambah-nambahkan ayat tersebut dengan kata “mengharapkan rahmat Allah”, padahal bunyi sebenarnya adalah “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatu hasanatun liman kaana yaarjullohu walyaumil akhirawadzakarooloha kasyiron”.

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yarjulloha” yang berarti mengharap Allah. Jadi bukan mengharapkan rahmat Allah atau mengharapkan ridha Allah, atau mengharapkan pahala Allah, atau mengharapkan rezeki Allah, tetapi yang benar adalah mengharapkan Allah semata. Bahkan kalau boleh dipertegas lagi ayat tersebut bermakna : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang paling baik bai kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah”. Berdasarkan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang ingin mengharapkan bertemu dengan Allah di dunia ini, dan juga bertemu dengan hari akhir, agar kita dapat mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sebab mustahil kita dapat mengingat Allah apabila kita belum pernah bertemu dan melihat Allah.

Kedua, Muhammad secara batiniah adalah suatu anasir Yang Bersifat Terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi yang sangat disayangkan adalah bahwa tidak semua umat manusia yang menyadari keberadaan anasir tersebut, apalagi menumbuhkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang mengaku umat Muhammad atau umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela. Hal ini diakibatkan karena mereka belum dapat meneyerap Muhammad dalam arti nilai-nilai keterpujian, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap harinya mereka selalu mengatakan : “Aku telah menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku telah menyaksikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang pesaksi yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh anasir Terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an dan juga sabda Nabi Muhammad SAW :

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada Rasulullah …” (QS Al Hujurot 49 : 7).

Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran 3 : 31).

“Muhammad itu sekali-kalilah bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segalanya” (QS Al Ahzab 33 : 40).

“Orang-orang yang telah kami beri Al Kitab, mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya” (QS Al Baqarah 2 : 146).

“Ana ahmad bi la mim, wa ana ‘arabbi bi la ‘ain, wa man roaini, innaroaitul haq” Aku ahmad tanpa huruf mim dan aku adalah ‘arabbi tanpa huruf ‘ain, barang siapa melihat aku, sesungguhnya telah melihat Sang Maha Benar” (Hadits).

“Yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT adalah Cahaya-ku, wahai Jabir (HR Ibnu jabir). “Siapa saja yang mengatakan Muhammad Rasulullah telah mati, akan saya bunuh !” (Umar bin Khatab)

“Siapa yang menyembah Muhammad bin Abdullah, beliau telah mati. Siapa yang menyembah Wajah Allah, Dia-lah Yang Maha Abadi” (Abu Bakr Ash Shidiq)

“Dan janganlah kamu anggap mati orang-orang mati di Jalan Allah, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan diberi Rezeki” (QS 3 : 169)

“Aku adalah Ahmad tanpa huruf mim. Aku adalah ‘Arabbi tanpa huruf ‘ain. Barang siapa melihat aku, sesungguhnya ia telah melihat Al Haqq” (Hadits)

“Sebuah makam dan kubah dan menara kecil tidaklah menyenangkan bagi para pengikut Yang Maha Besar.

“Makammu bukanlah diperindah oleh batu, kayu dan plesteran.

Bukan, bukan itu, melainkan dengan menggali makam untuk dirimu sendiri dalam kesucian ruhani dan menguburkan egoisme dirimu dalam Egoisme-Nya.

Dan menjadi debu-Nya dan terkubur dalam Cinta-Nya, sehingga Nafas-Nya dapat memenuhi dan menghidupimu”

(Jalaluddin Ar Rumi)

“Ya Nabi Salam ‘alaika. Ya Rasul Salam ‘alaika. Anta Syamsun, anta Badrun, anata Nuurun fauqo Nuurin !”

Nabi Muhammad


IMRAN DJAU
Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan dibesarkan di pusat-pusat peradaban manusia, berkultur tinggi dan tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati. Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam. Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar.

Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar. Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.

ka'bahPeristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi. Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mektah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

Suku Bedewi punya tradisi turun-temurun sebagai prajurit-prajurit yang tangguh dan berani. Tapi, jumlah mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan saling melabrak satu sama lain. Itu sebabnya mereka tidak bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan yang mapan di daerah pertanian di belahan utara. Tapi, Muhammadlah orang pertama dalam sejarah, berkat dorongan kuat kepercayaan kepada keesaan Tuhan, pasukan Arab yang kecil itu sanggup melakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam sejarah manusia. Di sebelah timurlaut Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di baratlaut Arabia berdiri Byzantine atau Kekaisaran Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.

Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal mampu menghadapinya. Namun, di medan pertempuran, pasukan Arab yang membara semangatnya dengan sapuan kilat dapat menaklukkan Mesopotamia, Siria, dan Palestina. Pada tahun 642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran Byzantine, dan sementara itu balatentara Persia dihajar dalam pertempuran yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan di Nehavend tahun 642.

Tapi, penaklukan besar-besaran –di bawah pimpinan sahabat Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab– itu tidak menunjukkan tanda-tanda stop sampai di situ. Pada tahun 711, pasukan Arab telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke utara dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan Visigothic di Spanyol.

Sepintas lalu orang mesti mengira pasukan Muslim akan membabat habis semua Nasrani Eropa. Tapi pada tahun 732, dalam pertempuran yang masyhur dan dahsyat di Tours, satu pasukan Muslimin yang telah maju ke pusat negeri Perancis pada akhirnya dipukul oleh orang-orang Frank. Biarpun begitu, hanya dalam tempo secuwil abad pertempuran, orang-orang Bedewi ini -dijiwai dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium membentang dari perbatasan India hingga pasir putih tepi pantai Samudera Atlantik, sebuah empirium terbesar yang pernah dikenal sejarah manusia. Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh pasukan Muslim, selalu disusul dengan berbondong-bondongnya pemeluk masuk Agama Islam.

Ternyata, tidak semua penaklukan wilayah itu bersifat permanen. Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut setia Agama Islam, merebut kembali kemerdekaannya dari tangan Arab. Dan di Spanyol, sesudah melalui peperangan tujuh abad lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh orang-orang Nasrani. Sementara itu, Mesopotamia dan Mesir dua tempat kelahiran kebudayaan purba, tetap berada di tangan Arab seperti halnya seantero pantai utara Afrika. Agama Islam, tentu saja, menyebar terus dari satu abad ke abad lain, jauh melangkah dari daerah taklukan. Umumnya jutaan penganut Islam bertebaran di Afrika, Asia Tengah, lebih-lebih Pakistan dan India sebelah utara serta Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris kebalikannya: adanya agama baru itu menjadi sebab utama terjadinya perpecahan.

Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar terhadap sejarah ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga, Islam punya pengaruh luar biasa besarnya terhadap para penganutnya. Itu sebabnya mengapa penyebar-penyebar agama besar di dunia semua dapat tempat dalam buku ini. Jika diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam, dengan sendirinya timbul tanda tanya apa alasan menempatkan urutan Nabi Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam daftar. Ada dua alasan pokok yang jadi pegangan saya. Pertama, Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap Agama Nasrani. Biarpun Nabi Isa bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda dengan Yudaisme), St. Paul merupakan tokoh penyebar utama teologi Kristen, tokoh penyebarnya, dan penulis bagian terbesar dari Perjanjian Lama.

Sebaliknya Muhammad bukan saja bertanggung jawab terhadap teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika dan moralnya. Tambahan pula dia “pencatat” Kitab Suci Al-Quran, kumpulan wahyu kepada Muhammad yang diyakininya berasal langsung dari Allah. Sebagian terbesar dari wahyu ini disalin dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih hidup dan kemudian dihimpun dalam bentuk yang tak tergoyangkan tak lama sesudah dia wafat. Al-Quran dengan demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad serta ajaran-ajarannya karena dia bersandar pada wahyu Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu pun kumpulan yang begitu terperinci dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit banyak sama pentingnya dengan Injil bagi kaum Nasrani, pengaruh Muhammad dengan perantaraan Al-Quran teramatlah besarnya. Kemungkinan pengaruh Muhammad dalam Islam lebih besar dari pengaruh Isa dan St. Paul dalam dunia Kristen digabung jadi satu. Diukur dari semata mata sudut agama, tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam sejarah kemanusiaan.

Lebih jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan khusus dari seseorang yang mengepalai mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme Spanyol walau Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi, misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab. Tak ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan tak ada alasan untuk menyangkal bahwa penaklukan bisa terjadi dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan dalam hal penaklukan dalam sejarah manusia di abad ke-13 yang sebagian terpokok berkat pengaruh Jengis Khan. Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang apa yang dilakukan bangsa Arab, tidaklah bisa membuktikan kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang diduduki oleh bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa Jengis Khan

Ini jelas menunjukkan beda besar dengan penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Membentang dari Irak hingga Maroko, terbentang rantai bangsa Arab yang bersatu, bukan semata berkat anutan Agama Islam tapi juga dari jurusan bahasa Arabnya, sejarah dan kebudayaan. Posisi sentral Al-Quran di kalangan kaum Muslimin dan tertulisnya dalam bahasa Arab, besar kemungkinan merupakan sebab mengapa bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan terjadi di abad ke l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa negara tentu terjadi -tentu saja- dan nyatanya memang begitu, tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya penghasil minyak, tidak ikut bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim dingin tahun 1973 – 1974. Sebaliknya bukanlah barang kebetulan jika semua negara Arab, semata-mata negara Arab, yang mengambil langkah embargo minyak.

Jadi, dapatlah kita saksikan, penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus memainkan peranan penting dalam sejarah ummat manusia hingga saat ini. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.

Berpuasa Yang Beradab


Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda dalam Hadits Qudsinya, “Allah swt. berfirman:
Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, Malik, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata:
Jika ada orang bertanya, “Apa makna kekhususan puasa dari ibadah-ibadah yang lain. Sementara kita tahu bahwa seluruh amal adalah untuk-Nya dan Dia yang bakal membalasnya. Lalu apa makna Hadis Qudsi, ‘Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’?”

Maka jawabannya adalah, bahwa Hadis tersebut memiliki dua makna: Pertama, bahwa puasa memiliki kekhususan dari ibada-ibadah fardhu yang lain. Sebab ibadah-ibadah fardhu yang lain merupakan gerakan anggota badan, dimana orang lain (makhluk) bisa melihat apa yang la lakukan. Sedangkan puasa tidak demikian karena puasa bukanlah ibadah gerakan badan. Oleh sebab itu, Allah swt. berfirman, “Puasa itu adalah untuk-Ku.”

Kedua, dalam firman-Nya yang menyatakan, “untuk-Ku” memiliki arti bahwa, “ash-Shamadiyyah adalah Dzat yang tidak memiliki rongga perut dan tidak butuh makan dan minum. “Maka barangsiapa berperilaku dengan akhlak-Ku, maka Akulah Yang bakal membalasnya dengan balasan yang tidak pernah terbersit dalam benak manusia. “

Adapun makna firman-Nya, “Dan Akulah yang akan membalasnya, ”maka sesungguhnya Allah telah menjanjikan pahala untuk setiap perbuatan baik dengan jumlah dari satu hingga sepuluh kali lipatnya, dan dari sepuluh hingga tujuh ratus kecuali bagi orag-orang yang berpuasa, dimana mereka adalah yang masuk dalam kriteria orang-orang yang sabar.

Allah swt. berfirman:
“Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas.” (Q.s. az-Zumar: 10).

Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah lain yang memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi kebiasaannya, mengekang anggota badan dari seluruh kesenangannya. Maka orang-orang yang berpuasa adalah orang-orang yang sabar.

Searti dengan makna di atas adalah Hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda:

“Jika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisan dan tanganmu juga ikut berpuasa.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).

Beliau juga bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa maka hendaknya tidak berkata keji dan fasik. Jika ada seseorang yang mengumpatnya hendaknya ia mengatakan, Saya sedang berpuasa’.” (H.r. Bukhari-Muslim).

Sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa ‘’ Sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah : tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.

Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah at-Tustari – rahimahullah – bahwa la makan dalam setiap lima belas hari sekali. Jika bulan Ramadhan tiba la hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru Sufi. Maka ia menjawab, “Setiap malam la hanya berbuka dengan air bersih saja.”

Dikisahkan dari Abu Ubaid al-Busri – rahimahullah – bahwa ketika bulan Ramadhan tiba, la masuk rumah dan segera mengunci pintunya lalu berpesan kepada istrinya, “Setiap malam tolong lemparkan sepotong roti lewat lubang dinding (ventilasi).” la tidak akan keluar dari kamar sehingga bulan Ramadhan berakhir. Tatkala tiba hari Raya dan istrinya masuk di kamar, la menemukan tiga puluh potong roti tertumpuk di sudut kamar.

Adapun puasa sunnah, maka sebagian syekh (guru) Sufi senantiasa melakukannya, baik sedang bepergian maupun berada di rumah sampai mereka bertemu Tuhannya. Sementara mereka membiasakan berpuasa karena Rasulullah saw bersabda, “Puasa adalah benteng.” (H.r. Nasa’i dari Mu’adz bin Abi Ubaidah. Baihaqi dari Jabir, Ahmad dan Bukhari dari Abu Hurairah) Sementara itu Rasulullah tidak menjelaskan bentang dari apa pun. Sehingga kaum Sufi mengatakan, bahwa puasa adalah benteng dari api neraka di akhirat kelak. Karena puasa bagi orang yang berpuasa – sewaktu di dunia – merupakan benteng dari anak panah musuh-musuh manusia yang mengajaknya ke neraka. Mereka adalah setan, hawa nafsu, dunia dan syahwat.

Maka orang yang memilih untuk selalu berpuasa berarti ia berusaha membentengi dirinya dengan benteng agar selamat dari tipudaya musuh-musuhnya. Sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menang dan menceburkannya ke neraka.

Saya pernah mendengar Ahmad bin Muhammad bin Sunaid, seorang Hakim di Dinawar berkata: Saya mendengar Ruwaim berkata, “Aku pernah keliling kota Baghdad di siang hari yang sangat panas, sehingga aku haus. Kemudian aku mendatangi pintu rumah seseorang untuk minta air minum. Ternyata seorang pembantu perempuan membukakan pintu dan keluar dengan membawa kendi baru yang berisi air dingin. Tatkala aku mau mengambil air dari tangannya, la berkata kepadaku, `Celaka kau! Seorang Sufi minum di siang hari!’ Kemudian la membanting kendi itu ke tanah dan berpaling meninggalkanku. Aku merasa malu dengan perempuan itu dan aku bernadzar untuk selalu berpuasa dan tidak pernah membatalkannya untuk seumur hidup.”

Sementara itu sebagian kelompok lain memilih berpuasa seperti Nabi Dawud a.s. Sebab ada riwayat dari Nabi saw yang bersabda:

“Sebaik-baik puasa adalah puasa saudaraku, Dawud a.s. la sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa.” (H.r. Bukhari Muslim dan Ashhabus-Sunan).

Mereka mengemukakan tentang makna sabda Nabi saw, “Sebaik-baik puasa.” karena memang puasa Nabi Dawud adalah puasa yang paling berat. Mereka juga mengatakan, bahwa puasa ini lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada puasa setahun penuh.Sebab nafsu seseorang yang telah terbiasa dengan puasa terus-menerus akan berat bila la tidak berpuasa. Demikian juga sebaliknya, jika nafsu seseorang telah terbiasa tidak berpuasa, maka akan berat bila la berpuasa. Sedangkan puasa Dawud, dimana sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa tidak akan memberikan kebiasaan nafsu untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Oleh karenanya ada orang yang mengatakan, bahwa puasa Dawud adalah puasa yang paling berat.

Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abdullah – rahimahullah – berkata, “Jika Anda kenyang maka mintalah lapar kepada Dzat Yang telah mengujimu dengan kekenyangan. Dan jika Anda lapar maka mintalah kenyang kepada Dzat Yang mengujimu dengan kelaparan. Kalau tidak, Anda akan berlebihan dan berkepanjangan.”

Abu Abdillah Ahmad bin Jabban – rahimahullah – berpuas selama lebih dari lima puluh tahun.Ia tidak pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian maupun saat di rumah. Suatu hari teman-temannya memaksanya untuk tidak berpuasa, Akhirnya la membatalkan puasanya. Setelah itu la sakit beberapa hari akibat la membatalkan puasanya, dan hampir saja ia tidak bisa melakukan yang fardhu.

Orang yang tidak suka membiasakan berpuasa la akan tetap tidak suka, sebab nafsu akan suka pada kebiasaannya. Jika ia telah terbiasa dengan sesuatu maka la akan melakukannya karena kesukaannya, dan bukan karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini hendaknya tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab nafsu akan selalu cenderung pada kesukaannya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, dimana la diciptakan secara kodratinya menghindar dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika la telah terbiasa dengan suatu bab atau bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah dan tipu dayanya.

Dikisahkan dari Ibrahim bin Adham – rahimahullah -yang mengatakan, “Aku pernah berteman dengan seorang yang banyak berpuasa dan shalat. Aku kagum dengan apa yang ia lakukan. Kemudian aku melihat apa yang la makan. Ternyata makanannya diambil dari sumber yang tidak baik. Kemudian aku memerintahnya “keluar” dari apa yang la miliki dan kuajak mengembara. Ia kuberi makan dari makanan yang kuketahui kehalalannya dan kuridhai. Tatkala la telah bersahabat denganku dalam beberapa waktu aku perlu “memukulnya” dengan cambuk agar ia mau melakukan hal yang fardhu.

Adapun kaum Sufi dan orang-orang fakir yang membersihkan diri dari selain Allah, dimana mereka telah memutus hubungan dengan makhluk, meninggalkan hal-hal yang maklum, rela dengan rezeki yang dibagikan Allah kepadanya, tidak tahu kapan Allah akan mengirim rezekinya dengan penuh kegaiban dan lewat tangan siapa rezekinya diberikan, maka waktu mereka adalah lebih sempurna daripada waktu orang yang berpuasa yang makanannya untuk berbuka telah diketahui. Jika mereka berpuasa maka tidak ada yang sanggup menandingi keutamaan puasanya.

Sementara itu bagi orang-orang fakir yang telah saya sebutkan di atas juga memiliki adab (etika) dalam berpuasa. Di antaranya adalah hendaknya salah seorang di antara mereka tidak berpuasa sendirian tanpa mendapatkan izin dari sahabat-sahabatnya. Sebab jika la berpuasa akan merepotkan hati teman-temannya dalam menyiapkan makanan untuk berbuka, sementara mereka dalam kondisi yang belum diketahui. Jika salah seorang dari mereka berpuasa sendirian setelah mendapat izin teman-temannya, kemudian ada makanan yang dikirimkan kepada mereka, maka orang-orang yang tidak berpuasa tidak wajib menunggu hingga saat temannya berbuka. Sebab barangkali dl antara jamaah ada yang membutuhkan makanan tersebut atau bahkan barangkali karena ada yang berpuasa akan datang rezeki lain di saat la hendak berbuka. Lain halnya jika orang yang berpuasa itu lemah, maka sebaiknya mereka menunggu hingga saatnya berbuka demi membantu yang lemah, atau jika yang berpuasa itu seorang guru Sufi (syekh) maka sebaiknya juga ditunggu hingga saatnya berbuka demi menghormatinya. Sementara itu orang yang berpuasa tidak boleh mengambil bagian untuk dirinya yang kemudian la simpan untuk dimakan saat berbuka. Sebab hal itu menunjukkan lemahnya kondisi spiritual seseorang. Kecuali jika la lemah, maka la boleh melakukannya karena memang la lemah.

Jika mereka adalah kumpulan orang-orang yang biasa berpuasa, sementara sebagian yang lain terdiri dari orang-orang yang tidak biasa berpuasa, maka orang-orang yang biasa berpuasa tidak boleh mengajak mereka pada kondisi spiritual yang mereka alami, kecuali kalau mereka ingin membantu berpuasa. Orang yang biasa berpuasa membantu orang yang tidak biasa berpuasa dengan menemani makan (tidak berpuasa) adalah lebih baik daripada orang yang tidak biasa berpuasa membantu dan menemani berpuasa orang yang; biasa berpuasa, kecuali bila terjalin persahabatan yang erat. Jika persahabatan itu sudah terjalin maka bantuan orang yang tida biasa berpuasa kepada orang yang biasa berpuasa dengan menemani berpuasa adalah lebih baik.

Dikisahkan dari al Junaid – rahimahullah – bahwa ia telah terbiasa berpuasa secara terus-menerus. Jika ada teman-temannya Yang datang kepadanya ia akan menemani makan mereka. Ia berkata, “Keutamaan saling membantu antar saudara tidaklah kurang berarti daripada keutamaan puasa bagi orang yang biasa berpuasa jika puasa itu sunnah.”

Dikatakan, “Jika Anda melihat seorang Sufi berpuasa sunnah maka Anda bisa menyangkanya, bahwa ada sesuatu dari dunia Yang berkumpul bersamanya.”

Jika mereka adalah sekelompok orang yang sudah menjalin persahabatan dan persaudaraan, sementara di antara mereka ada seorang murid (pemula) maka hendaknya mereka mendorongnya untuk berpuasa. Jika mereka tidak bisa membantu (menemani berpuasa) maka hendaknya memperhatikannya untuk tidak berpuasa dan membebaninya perintah dengan lemah lembut, serta tidak boleh membawa kondisi spiritual si murid pada kondisi spiritual mereka.

Dan jika dalam jamaah tersebut ada seorang guru Sufi (syekh) maka hendaknya mereka ikut berpuasa atau tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan gurunya kecuali bila guru tersebut merintah yang lain. Mereka tidak boleh menyalahi perintah gurunya, sebab seorang guru Sufi lebih tahu apa yang lebih maslahat dan terbaik bagi mereka.

Dikisahkan dari sebagian para guru Sufi (syekh) yang mulia, bahwa la pernah berkata, “Saya pernah berpuasa demikian dan demikian yang bukan karena Allah.” Karena saat itu ada seorang anak muda yang la temani. Ia berpuasa agar dilihat dan dlikuti oleh anak muda tersebut, sehingga la bisa terdidik, la ikut berpuasa karena puasa gurunya.

Saya melihat Abu al-Hasan al-Makki – rahimahullah – di Basrah, dimana la termasuk orang yang selamanya terus berpuasa. Ia hanya makan sepotong roti setiap malam Jumat. Dan makanannya -sebagaimana disebutkan- dalam sebulan hanya sekitar empat daniq (perdaniq: seperenam dirham, pent.) yang la kerjakan sendiri dengan tangannya. Ia bekerja sendiri dengan memintal tali sabut dan kemudian menjualnya. Ibnu Salim malah sempat tidak menegurnya, dimana la pernah berkata, “Saya tidak akan mengucapkan salam padanya sampai la tidak berpuasa dan mau makan roti.” Sebab la terkenal dengan meninggalkan makan.

Saya juga mendengar sebagian orang yang bersikap kesederhanaan (wasith) telah melakukan puasa bertahun-tahun selalu membatalkan puasanya (berbuka) sebelum matahari terbenam kecuali di bulan Ramadhan. Sebagian kaum ada yang menentang tindakan yang la lakukan. Sebab tindakan tersebut menyalahi aturan keilmuan, meskipun itu puasa sunnah. Sementara ada pula kaum yang menganggapnya baik. Sebab pelakunya hanya bertujuan melatih dirinya lapar dan la tidak menikmati pahala yang dijanjikan untuk orang-orang yang berpuasa dan sama sekali tidak cenderung pada pahala tersebut.

Sedangkan menurut hemat kami, orang yang mengingkari tindakan itu juga benar. Sebab jika la berkeyakinan bahwa la melakukan puasa maka la wajib memenuhi syarat-syarat yang ada. Jika ia tidak berkeyakinan melakukan puasa maka la berada di jalan orang-orang yang tidak serius. Sehingga la tidak bisa disebut orang yang berpuasa. Semoga Allah memberi taufik pada kita.

Diceritakan dari asy-Syibli – rahimahullah – bahwa ia pernah berkata, “Apakah seseorang bisa dikatakan baik bila berpusa selamanya.” la melanjutkan pertanyaannya, “Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan puasa selamanya.” la melanjutkan ucapannya, “Jadikanlah sisa umurmu sehari kemudian Anda berpuasa pada hari itu.”

Inilah apa yang sempat terekam saat ini dari adab puasa para Sufi (dan Allah Yang memberi kita pertolongan pada kebenaran). Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...