Rabu, 21 Desember 2016

MENGHILANGKAN NAJIS





Assalamu’alaikum wr wb…. Alhamdulillahi rabbil’alamin wash shalaatu was salaamu ‘ala asyrafil ambiyai wal mursalin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in… amma ba’du… Pada Yai  Para Ustadz, dan jama’ah semua, mohon izin untuk melanjutkan Pengajian Online pagi ini…. Mudah2an ada manfaat yang bisa dipetik, dan ada pahala yang bisa diraih, serta menjadi sarana kita semua menjadi lebih baik lagi sebagai manusia yang memberi manfaat kepada manusia lainnya, Khairunnaas anfa’uhum linnaas..
Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca Ummul Qur’an, suat Al-Faatihah. Semoga dengan fadhilahnya kita benar-benar selalu ditunjukkan pada jalan yang lurus “Shirathal Mustaqiin”… Alfaatihah…
a4a16-al2bfatihahBismillahirahmanirrahim… Melanjutkan fasal minggu lalu terkait memperlakukan najis.
Fasal Menghilangkan Najis.
Pengertian najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan secara istilah najis adalah kotoran yang mencegah sahnya shalat.
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan bawah (qubul maupun dubur) itu hukumnya najis.(At-Tadzhib, h. 33).
at-tadzhibBaik itu sesuatu yang biasa atau rutin keluar, seperti air kencing atau kotoran. Atau yang tidak rutin, seperti madzi atau wadi. Hal ini berlaku bagi manusia dan semua binatang, baik yang halal dimakan maupun yang tidak.
Madzi sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama adalah cairan putih yang lembut, lengket, yang keluar tatkala timbul shahwat meski tidak begitu kuat, terutama ketika bercumbu atau mengkhayal dan berhasrat melakukan hubungan seksual. Terkadang madzi keluar tidak dirasa. Madzi ini terjadi pada laki-laki dan perempuan. Biasanya perempuan lebih banyak keluarnya. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas. (Al-Iqna, juz 1, h. 221, Al-Wasith fi Fiqhil ‘Ibadaat, h. 115.
al-iqna

Wadi dimaknai dengan cairan yang keluar mengiringi ketika kencing atau setelah membawa beban berat. Ini juga terjadi pada laki-laki dan perempuan. “Aisyah mengatakan, “Wadi yang keluar setelah kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari laki-laki maupun perempuan. Kemudian ia cukup berwudlu dan tidak perlu mandi.”(HR Ibnu Mundzir & Ibnu Abi Syaibah, Al-Wasith, h. 114)
tafsir-al-wasith
Mumpung masih suasana Maulid, Asy-Syarbini, penulis Al-Iqna, kemudian menambahkan keterangan bahwa dalam najis ini bagi baginda Nabi Muhammad SAW adalah pengecualian, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Baghawi dan banyak ulama, termasuk Al-Qadhi Iyad. Yaitu bahwa air senin Rasulullah itu tidak najis, sesuai keterangan ada seorang perempuan Habasyah yang meminum air seni Rasulullah. Dan menyaksikan hal yang demikian, Rasulullah bersabda, ‘Api neraka tidak akan mampu membakar perutmu.” Ini hadist Shahih riwayat Imam Ad-Daruquthni
Abu Ja’far At-Tirmidzi menyebutkan bahwa darah Rasulullah juga suci. Berdasarkan hadist, yaitu Abu Thaibah meminum darah Rasulullah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Zubair, yang meminum darah bekas bekam Nabi. Melihat hal ini Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang darahnya bercampur dengan darahku, maka api neraka tidak akan menyentuhnya. (Al-Iqna, juz 1, h. 221-222).
AIR MANI SUCI
Ada pengecualian bagi sesuatu yang keluar dari farji dan dubur, yang semuanya dihukumi najis, yaitu bahwa air mani itu suci hukumnya (At-Tadzhib, 29). Dr Musthafa Dib Al-Bigha kemudian menjelaskan bahwa ini mani suci berlaku bagi manusia dan semua binatang, kecuali anjing dan babi. Artinya hanya dua binatang itulah yang maninya najis.
Dasarnya tentang hal ini ada banyak hadist yang menjadi rujukan. Di antaranya adalah hadist dari Aisyah وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ
“Sungguh aku dahulu menggosoknya (mengeriknya) dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat dengannya” (HR. Muslim, Kifayatul Akhyar, h. 53)
Meski demikian, memang ada ulama lain, di antaraya adalah Hanafi, Maliki dan Ats-Tsauri yang mengatakan bahwa mani itu najis. Ini sekedar tambahan keterangan saja. Sebab yang kuat adalah pendapat yang menegaskan mani itu suci.
Kemudian timbul pertanyaan  barang yang dzatnya suci, yang keluar dari qubul dan dubur, bagaimana memanfaatkannya?
Apa yang Tertelan dan Wujudnya Tetap, itu Mutannajis
Perihal yang ditanyakan, sepertinya dulu pernah dibahas, yaitu tatkala menjelaskan soal uang yang tak sengaja tertelan, atau hukum kopi luwak, yang berasal dari kotoran luwak
Yang perlu kita pahami bersama ada dua istilah di dalam fiqh, yaitu najis dan mutanajjis. Najis adalah sesuatu yang dzatnya memang najis, sehingga hukumnya harus dihindari dan dibersihkan. Kecuali beberapa benda najis yang karena proses istihalah bisa menjadi suci. Sedangkan mutanajjis adalah benda yang secara dzatnya suci, tetapi terkena najis. Contoh najis adalah kotoran, air kencing, madzi, dan wadi, yang memang tidak bisa berubah menjadi suci. Sedangkan mutanajjis contohnya adalah sepatu yang keciprat air kencing, dompet yang jatuh ke kotoran ayam, dst.
Karena itu, sering kejadian, ada orang tak sengaja menelan uang logam. Atau orang yang memasang gigi emas, tak sadar giginya masuk ke dalam perut saat makan. Apakah ketika keluar dari lubang belakang keduanya tidak bisa digunakan karena sudah menjadi najis?
Inilah yang dicontohkan oleh ulama bahwa jika ada biji-bijian yang dimakan hewan dan masih utuh, sehingga kalau toh ditanam, maka akan tumbuh menjadi tanaman, maka hukum biji-bijian ini disebut mutannajis, yang cukup dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel, maka ia akan kembali suci dan boleh digunakan atau bahkan dimakan (Al-Majmu Syarah A;-Muhadzab, juz 2, h. 591)
al-majmu-syarah-al-muhadzdzab
Artinya jika ada uang tertelan, emas tertelan, atau benda lain tertelan dan tidak berubah bentuk, maka ia hanya sekedar terkena najis saja, yang cukup dibersihkan, sehingga sudah bisa digunakan kembali.
Air Kencing Yang Suci
Pengecualian berikutnya adalah bahwa, selain mani, air kencing juga ada yang suci, yaitu air kencing Nabi Muhammad, sebagaimana telah disebutkan di atas. Bahkan dalam Al-Wasith fil Fiqhil ‘Ibadaati, h. 113 disebutkan kencing para Nabi itu suci (jadi bukan hanya Nabi Muhammad SAW). Selain itu, yang dikecualikan juga adalah air kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan selain ASI ibunya dan belum genap umur dua tahun. Pengecualian untuk kencing anak laki-laki ini pada derajat najisnya yang masuk kategori mukhaffah, atau ringan. Berbeda dengan bayi perempuan, yang hukumnya sama dengan kencing-kencing yang lain, sebagaimana kencing pada manusia dan binatang.
Ada yang mengatakan bahwa air kencing perempuan najis karena lebih menyengat, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zailai. Tetapi penelitian modern juga menyimpulkan bahwa memang ada beda antara kencing anak laki-laki dan anak perempuan, di mana kandungan bakteri kencing anak perempuan lebih banyak daripada anak laki-laki
Jadi jika ada anak laki-laki kurang dari dua tahun, tapi sudah minum susu kaleng, maka statusnya sama dengan kencing yang lain. Atau sudah makan pisang, roti, dan lain sebagainya, maka ia tidak berbeda dengan air kencing pada umumnya.
Air kencing anak laki-laki masuk kategori najis mukhaffafah (najis ringan) maka dalam menyucikannya cukup dengan menyipratkan air ke benda yang terkena kencing itu. Tidak perlu disiram atau digosok-gosok atau dikucek-kucek. Diusahakan cipratan itu merata sehingga tampak basah apa-apa yang terkena najis itu.
Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi tatkala terkena air kencing anaknya Ummu Qais, maka Nabi meminta air, kemudian beliau “nadhahahu”, dan tidak membasuhnya. “Nadhaha” diartikan dengan memercikkan air sekira tempat yang terkena kencing merata dengan air, tanpa air itu dialirkan. Jadi cukup tampak basah-basah saja. (At-Tadzhib, h. 30).
Najis yang Dimaafkan
Semua najis, sebagaimana disebutkan di atas, air seni, madzi, wadi dll wajib dibersihkan dari pakaian dan tempat shalat. Kalau najisnya berbentuk atau wujud, yang disebut sebagai najis ‘ainiyah, maka harus dhilangkan wujudnya, baunya, rasanya, dan warnanya. Tetapi jika kemudian setelah dihilangkan wujud najisnya, masih tertinggal warnanya dan sudah diusahakan betul tidak juga hilang, maka hal yang demikian masuk kategori najis yang dimaafkan. (Kifayatul Akhyar, h. 88)
Selain itu, secara wujud, ada pula najis yang memang dimaafkan. Yaitu :
1. Darah atau nanah yang sedikit. Baik itu berasal dari badan sendiri atau orang lain
2. Bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, nyamuk, kecoa, kutu, dan lain sebagainya yang terjatuh ke wadah (At-Tadzhib, h. 34)
Sedikitnya nanah atau darah ini disesuaikan dengan kebiasaan setempat di dalam menentukan kadarnya. Ukuran sedikit atau banyaknya, ulama sendiri ada ikhtilaf, di antaranya sebesar uang dirham. Tetapi ulama lain untuk mempermudah, menegaskan banyak sedikitnya disesuaikan dengan kebiasaan wilayah setempat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 171, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h.173)
Demikian pula ada kondisi-kondisi tertentu juga dimaafkan, karena masuk kategori Umumul balwa atau najis yang susah dihindari. Di antaranya adalah cipratan air hujan saat di jalan. Kencing binatang seperti tikus atau burung, yang sulit kita hindari, dan lain sebagainya. Termasuk tai cicak di masjid masuk kategori ini dengan syarat susah dihindari dan tainya dalam kondisi kering, maka dibolehkan shalat dalam kondisi demikian. Meski demikian, untuk menjaga dan terhindar dari ini semua, kebersihan masjid dari kotoran-kotoran binatang ini tetap tak boleh dilalaikan.
Demikian …Wallahu A’lam Bish Showaab.




















GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...