Kamis, 12 Januari 2017

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI ORANG JUNUB DAN HADATS BESAR

 OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillahirabbil 'aalamin wash shalaatu wassalaamu 'alan nabiyyil kariim wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin amma ba'du

Kepada Yai Aziz, Para Ustadz , dan jama'ah semua, mudah-mudahan semua dalam kondisi sehat wal afiat, penuh energi, dan siap menjalankan aktifitas hari ini. Seperti biasa, mohon izin untuk memulai Pengajian Online hari ini. Untuk itu, mohon perkenannya untuk membaca surat Al-Faatihah, mudah-mudahan dilancarkan dan dimudahkan untuk semua aktifitas pada hari ini... Al-faatihah...

Fasal Hal-hal yang Diharamkan bagi Orang yang Junub atau Hadast Besar

1. Shalat. Dasarnya sama dengan yang haidh, yaitu An-Nisa ayat 43 (At-Tadzhib, h. 35)
2. Membaca Al-Qur'an
3. Menyentuh dan Membawa Mushaf Al-Qur'an
4. Thawaf
5. Berdiam diri di masjid. Untuk yang terakhi ini, ada pengecualian, yaitu bagi yang bermimpi keluar mani di masjid. Artinya tertidur di masjid dan mimpi ihtilam atau keluar mani. Terkunci di dalam masjid, atau sedang menghindari bencana, kebakaran, banjir, atau dari kejaran musuh.(Al-Iqna, juz 1, h. 252).

 Hal ini seperti terjadi jika bencana banjir atau kebakaran, seringkali masjid menjadi tempat mengungsi, maka hal-hal yang sebelumnya diharamkan bagi yang berhadast besar, dibolehkan.
Termasuk yang dibolehkan, meski junub adalah, berlindung dari hujan. Atau jika dalam kondisi hanya di masjid bisa ditemukan air, baik untuk bersuci atau kebutuhan lain. Namun ulama mengharamkan tayammum menggunakan debu masjid. Namun debu di sini, dikecualikan untuk debu yang terbawa angin lalu menempel di bagian masjid. (Kifayatul Akhyar, h.65, Al-Iqna, juz 1, h. 252). Karena itu, bagaimana pun kondisinya untuk tayammum menggunakan debu di luar masjid.

Di sisi lain, ulama menjelaskan bahwa tidak ada larangan tidur di masjid, meski bagi yang sudah menikah atau berkeluarga. Hal ini sebagai yang dilakukan para Ahli Shuffah atau para sufi pada zaman Nabi yang tidur di masjid. Namun, kebolehan ini gugur kalau sampai menyempitkan atau menyusahkan orang yang shalat. Artinya tidur di masjid menjadi haram jika mengganggu orang yang shalat, baik dalam keluasan tempat, suara dengkuran dan lain sebagainya. Ulama juga menegaskan tidak ada larangan buang air atau kentut di masjid, tetapi menghindarinya lebih utama. (Al-Iqna, juz 1, h. 253) .

Hal-hal yang Dilarang Bagi yang Hadast (Kecil).

Disebut hadast kecil, karena yang berhadast hanyalah 4 anggota badan belaka, yaitu yang wajib dibasuh dan diusap saat wudlu: wajah, kedua tangan hingga siku, sebagian kepala, dan kedua kaki hingga mata kaki. Jadi, selain empat anggota ini tidak turut menjadi hadast (Al-Iqna, juz 1, h. 253). 4 anggota tubuh itu akan suci ketika telah dibasuh dan diusap saat bersuci. Dan untuk orangnya, dia bisa disebut sebagai orang yang suci (thahir atau mutathahhir) adalah tatkala wudlu selesai dilakukan, jika masih baru mengusap kepala, misalnya, maka masih dianggap berhadast.
Adapun hal-hal yang diharamkan ada tiga, yaitu:

1. Shalat. Baik shalat sunah maupun wajib, baik sujud tilawah maupun sujud syukur, termasuk shalat jenazah.

2. Thawaf. Baik thawaf wajib maupun shalat sunnah. Karena dipahami bahwa thawaf secara hakiki dimaksud shalat juga, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

3. Menyentuh dan membawa mushaf. Larangan ini baik menyentuh semua mushaf atau sebagiannya, atau bahkan hanya sekedar satu ayat. Termasuk larangan ini adalah memegang kertas covernya, tali yang meyambung ke mushaf dan lain sebagainya. Di sini untuk anggota tubuh selain empat disamakan laranganny, karena orang yang berhadast masuk kategori bukan mutathahhir atau thahir, yang berarti suci. Sebab mengagungkan Al-Qur'an itu wajib, dan menyentuh dengan tangan saat hadast, misalnya, adalah bentuk tidak mengagungkan Al-Qur'an

Namun selain menyentuh dan membawa, untuk anggota tubuh lain, diperkenankan membaca, melihat, dan lain sebagainya, karena masih dipandang suci. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 295)

Pertanyaan: Kalau membawa mushaf bagi yang berhadats kecil dengan selain tangan, misalnya dagu atau diatas kepala, apakah boleh?
Secara sederhana, hadast besar, karena junub, haidh, atau nifas (nifas sebetulnya diqiyaskan ke haidh, karena dalil khususnya tidak ada), adalah hadast seluruh anggota tubuh, yang bisa suci ketika tuntas (haidh dan nifas) dan mandi. Karena itu di dalam rukun mandi, air harus merata ke seluruh bagian tubuh, tanpa kecuali. Jika tidak, maka tidak sah dan hadastnya belum hilang. Makanya dalam sunnah-sunnah mandi dianjurkan selama hadast besar itu jangan memotong kuku atau rambut, karena bagian itu masih dalam kondisi hadast jika belum turut dimandikan.

Karena hadast besar itu mencakup hadast seluruh tubuh, maka hal-hal yang diharamkan adalah ibadah-badah atau tempat2 yang mensyaratkan suci, yaitu shalat (seluruh anggota badan), tawaf (seluruh anggota badan), membaca Al-Qur'an (baik lafdhi maupun isyari). Membaca di sini dalam arti melihat mushaf (mata) dan melafalkan Al-Qur'an (mulut), berdiam diri di masjid (anggota badan secara keseluruhan). Karena semua bagian ini dalam kondisi hadast.

Sedangkan hadast kecil, itu terbatas pada wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki hingga mata kaki. Karena itu yang dilarang adalah shalat dan thawaf (ibadah yang melibatkan kaki, tangan, wajah), dan menyentuh mushaf. Untuk yang terakhir ini dalilnya khusus, yaitu Al-Waaqi'ah 79: "Tidaklah boleh menyentuh Al-Qur'an, kecuali orang-orang yang disucikan." Jadi obyek yang dilarang ini adalah orang, itu artinya siapapun harus dalam kondisi suci, baik dari hadast besar maupun kecil. Jika salah satu bagian tubuhnya berhadast, maka ia tidak bisa disebut suci (thahir atau mutathahhir), seperti yang sudah kami jelaskan di atas. Makanya, orang yang berhadast kecil, meski hanya 4 anggota tubuhnya saja yang hadast, tetap tidak dibolehkan untuk menyentuh Al-Qur'an.

Membawa Al-Qur'an juga tidak dibolehkan, karena membawa (hamluhu), ini diqiyaskan dengan menyentuh, sebab membawa lebih tinggi atau lebih berat dibanding menyentuh. Menyentuh kan cuma nempel saja, membawa lebih dari itu, maka turut diharamkan juga.

Karena itulah untuk ibadah yang lain, yaitu membaca Al-Qur'an dengan mulut, atau melihat Al-Qur'an dengan mata, maka itu tidak diharamkan, dibolehkan. Karena mulut dan matanya masih dalam kondisi suci, sehingga ketika melakukannya bernilai ibadah dan berpahala.

Demikian pak Hilman, moga berkenan. Wallahu a'lam bish-shawaab.

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...