Kamis, 12 Januari 2017

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI ORANG JUNUB DAN HADATS BESAR

 OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillahirabbil 'aalamin wash shalaatu wassalaamu 'alan nabiyyil kariim wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin amma ba'du

Kepada Yai Aziz, Para Ustadz , dan jama'ah semua, mudah-mudahan semua dalam kondisi sehat wal afiat, penuh energi, dan siap menjalankan aktifitas hari ini. Seperti biasa, mohon izin untuk memulai Pengajian Online hari ini. Untuk itu, mohon perkenannya untuk membaca surat Al-Faatihah, mudah-mudahan dilancarkan dan dimudahkan untuk semua aktifitas pada hari ini... Al-faatihah...

Fasal Hal-hal yang Diharamkan bagi Orang yang Junub atau Hadast Besar

1. Shalat. Dasarnya sama dengan yang haidh, yaitu An-Nisa ayat 43 (At-Tadzhib, h. 35)
2. Membaca Al-Qur'an
3. Menyentuh dan Membawa Mushaf Al-Qur'an
4. Thawaf
5. Berdiam diri di masjid. Untuk yang terakhi ini, ada pengecualian, yaitu bagi yang bermimpi keluar mani di masjid. Artinya tertidur di masjid dan mimpi ihtilam atau keluar mani. Terkunci di dalam masjid, atau sedang menghindari bencana, kebakaran, banjir, atau dari kejaran musuh.(Al-Iqna, juz 1, h. 252).

 Hal ini seperti terjadi jika bencana banjir atau kebakaran, seringkali masjid menjadi tempat mengungsi, maka hal-hal yang sebelumnya diharamkan bagi yang berhadast besar, dibolehkan.
Termasuk yang dibolehkan, meski junub adalah, berlindung dari hujan. Atau jika dalam kondisi hanya di masjid bisa ditemukan air, baik untuk bersuci atau kebutuhan lain. Namun ulama mengharamkan tayammum menggunakan debu masjid. Namun debu di sini, dikecualikan untuk debu yang terbawa angin lalu menempel di bagian masjid. (Kifayatul Akhyar, h.65, Al-Iqna, juz 1, h. 252). Karena itu, bagaimana pun kondisinya untuk tayammum menggunakan debu di luar masjid.

Di sisi lain, ulama menjelaskan bahwa tidak ada larangan tidur di masjid, meski bagi yang sudah menikah atau berkeluarga. Hal ini sebagai yang dilakukan para Ahli Shuffah atau para sufi pada zaman Nabi yang tidur di masjid. Namun, kebolehan ini gugur kalau sampai menyempitkan atau menyusahkan orang yang shalat. Artinya tidur di masjid menjadi haram jika mengganggu orang yang shalat, baik dalam keluasan tempat, suara dengkuran dan lain sebagainya. Ulama juga menegaskan tidak ada larangan buang air atau kentut di masjid, tetapi menghindarinya lebih utama. (Al-Iqna, juz 1, h. 253) .

Hal-hal yang Dilarang Bagi yang Hadast (Kecil).

Disebut hadast kecil, karena yang berhadast hanyalah 4 anggota badan belaka, yaitu yang wajib dibasuh dan diusap saat wudlu: wajah, kedua tangan hingga siku, sebagian kepala, dan kedua kaki hingga mata kaki. Jadi, selain empat anggota ini tidak turut menjadi hadast (Al-Iqna, juz 1, h. 253). 4 anggota tubuh itu akan suci ketika telah dibasuh dan diusap saat bersuci. Dan untuk orangnya, dia bisa disebut sebagai orang yang suci (thahir atau mutathahhir) adalah tatkala wudlu selesai dilakukan, jika masih baru mengusap kepala, misalnya, maka masih dianggap berhadast.
Adapun hal-hal yang diharamkan ada tiga, yaitu:

1. Shalat. Baik shalat sunah maupun wajib, baik sujud tilawah maupun sujud syukur, termasuk shalat jenazah.

2. Thawaf. Baik thawaf wajib maupun shalat sunnah. Karena dipahami bahwa thawaf secara hakiki dimaksud shalat juga, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

3. Menyentuh dan membawa mushaf. Larangan ini baik menyentuh semua mushaf atau sebagiannya, atau bahkan hanya sekedar satu ayat. Termasuk larangan ini adalah memegang kertas covernya, tali yang meyambung ke mushaf dan lain sebagainya. Di sini untuk anggota tubuh selain empat disamakan laranganny, karena orang yang berhadast masuk kategori bukan mutathahhir atau thahir, yang berarti suci. Sebab mengagungkan Al-Qur'an itu wajib, dan menyentuh dengan tangan saat hadast, misalnya, adalah bentuk tidak mengagungkan Al-Qur'an

Namun selain menyentuh dan membawa, untuk anggota tubuh lain, diperkenankan membaca, melihat, dan lain sebagainya, karena masih dipandang suci. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 295)

Pertanyaan: Kalau membawa mushaf bagi yang berhadats kecil dengan selain tangan, misalnya dagu atau diatas kepala, apakah boleh?
Secara sederhana, hadast besar, karena junub, haidh, atau nifas (nifas sebetulnya diqiyaskan ke haidh, karena dalil khususnya tidak ada), adalah hadast seluruh anggota tubuh, yang bisa suci ketika tuntas (haidh dan nifas) dan mandi. Karena itu di dalam rukun mandi, air harus merata ke seluruh bagian tubuh, tanpa kecuali. Jika tidak, maka tidak sah dan hadastnya belum hilang. Makanya dalam sunnah-sunnah mandi dianjurkan selama hadast besar itu jangan memotong kuku atau rambut, karena bagian itu masih dalam kondisi hadast jika belum turut dimandikan.

Karena hadast besar itu mencakup hadast seluruh tubuh, maka hal-hal yang diharamkan adalah ibadah-badah atau tempat2 yang mensyaratkan suci, yaitu shalat (seluruh anggota badan), tawaf (seluruh anggota badan), membaca Al-Qur'an (baik lafdhi maupun isyari). Membaca di sini dalam arti melihat mushaf (mata) dan melafalkan Al-Qur'an (mulut), berdiam diri di masjid (anggota badan secara keseluruhan). Karena semua bagian ini dalam kondisi hadast.

Sedangkan hadast kecil, itu terbatas pada wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki hingga mata kaki. Karena itu yang dilarang adalah shalat dan thawaf (ibadah yang melibatkan kaki, tangan, wajah), dan menyentuh mushaf. Untuk yang terakhir ini dalilnya khusus, yaitu Al-Waaqi'ah 79: "Tidaklah boleh menyentuh Al-Qur'an, kecuali orang-orang yang disucikan." Jadi obyek yang dilarang ini adalah orang, itu artinya siapapun harus dalam kondisi suci, baik dari hadast besar maupun kecil. Jika salah satu bagian tubuhnya berhadast, maka ia tidak bisa disebut suci (thahir atau mutathahhir), seperti yang sudah kami jelaskan di atas. Makanya, orang yang berhadast kecil, meski hanya 4 anggota tubuhnya saja yang hadast, tetap tidak dibolehkan untuk menyentuh Al-Qur'an.

Membawa Al-Qur'an juga tidak dibolehkan, karena membawa (hamluhu), ini diqiyaskan dengan menyentuh, sebab membawa lebih tinggi atau lebih berat dibanding menyentuh. Menyentuh kan cuma nempel saja, membawa lebih dari itu, maka turut diharamkan juga.

Karena itulah untuk ibadah yang lain, yaitu membaca Al-Qur'an dengan mulut, atau melihat Al-Qur'an dengan mata, maka itu tidak diharamkan, dibolehkan. Karena mulut dan matanya masih dalam kondisi suci, sehingga ketika melakukannya bernilai ibadah dan berpahala.

Demikian pak Hilman, moga berkenan. Wallahu a'lam bish-shawaab.

Kamis, 05 Januari 2017

MENGHILANGKAN NAJIS

 OLEH USTADZ FATHURY AHZA MUMTHAZA
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza

Pengertian najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan secara istilah najis adalah kotoran yang mencegah sahnya shalat.

Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan bawah (qubul maupun dubur) itu hukumnya najis.(At-Tadzhib, h. 33). Baik itu sesuatu yang biasa atau rutin keluar, seperti air kencing atau kotoran. Atau yang tidak rutin, seperti madzi atau wadi. Hal ini berlaku bagi manusia dan semua binatang, baik yang halal dimakan maupun yang tidak.

Madzi sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama adalah cairan putih yang lembut, lengket, yang keluar tatkala timbul shahwat meski tidak begitu kuat, terutama ketika bercumbu atau mengkhayal dan berhasrat melakukan hubungan seksual. Terkadang madzi keluar tidak dirasa. Madzi ini terjadi pada laki-laki dan perempuan. Biasanya perempuan lebih banyak keluarnya. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas. (Al-Iqna,  juz 1, h. 221,
, Al-Wasith fi Fiqhil ‘Ibadaat, h. 115)
Wadi dimaknai dengan cairan yang keluar mengiringi ketika kencing atau setelah membawa beban berat. Ini juga terjadi pada laki-laki dan perempuan. “Aisyah mengatakan, “Wadi yang keluar setelah kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari laki-laki maupun perempuan. Kemudian ia cukup berwudlu dan tidak perlu mandi.”(HR Ibnu Mundzir & Ibnu Abi Syaibah, Al-Wasith, h. 114) 

Mumpung masih suasana Maulid, Asy-Syarbini, penulis Al-Iqna, kemudian menambahkan keterangan bahwa dalam najis ini bagi baginda Nabi Muhammad SAW adalah pengecualian, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Baghawi dan banyak ulama, termasuk Al-Qadhi Iyad. Yaitu bahwa air senin Rasulullah itu tidak najis, sesuai keterangan ada seorang perempuan Habasyah yang meminum air seni Rasulullah. Dan menyaksikan hal yang demikian, Rasulullah bersabda, ‘Api neraka tidak akan mampu membakar perutmu.” Ini hadist Shahih riwayat Imam Ad-Daruquthni

Abu Ja’far At-Tirmidzi menyebutkan bahwa darah Rasulullah juga suci. Berdasarkan hadist, yaitu Abu Thaibah meminum darah Rasulullah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Zubair, yang meminum darah bekas bekam Nabi. Melihat hal ini Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang darahnya bercampur dengan darahku, maka api neraka tidak akan menyentuhnya. (Al-Iqna, juz 1, h. 221-222).

AIR MANI SUCI

Ada pengecualian bagi sesuatu yang keluar dari farji dan dubur, yang semuanya dihukumi najis, yaitu bahwa air mani itu suci hukumnya (At-Tadzhib, 29).

Dr Musthafa Dib Al-Bigha kemudian menjelaskan bahwa ini mani suci berlaku bagi manusia dan semua binatang, kecuali anjing dan babi. Artinya hanya dua binatang itulah yang maninya najis.

Dasarnya tentang hal ini ada banyak hadist yang menjadi rujukan. Di antaranya adalah hadist dari Aisyah وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ
"Sungguh aku dahulu menggosoknya (mengeriknya) dari baju Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat dengannya" (HR. Muslim, Kifayatul Akhyar, h. 53)

Meski demikian, memang ada ulama lain, di antaraya adalah Hanafi, Maliki dan Ats-Tsauri yang mengatakan bahwa mani itu najis. Ini sekedar tambahan keterangan saja. Sebab yang kuat adalah pendapat yang menegaskan mani itu suci.

Pertanyaan, barang yang dzatnya suci, yang keluar dari qubul dan dubur, bagaimana memanfaatkannya?

Apa yang Tertelan dan Wujudnya Tetap, itu Mutannajis
Perihal yang ditanyakan, sepertinya dulu pernah dibahas, yaitu tatkala menjelaskan soal uang yang tak sengaja tertelan, atau hukum kopi luwak, yang berasal dari kotoran luwak

Yang perlu kita pahami bersama ada dua istilah di dalam fiqh, yaitu najis dan mutanajjis. Najis adalah sesuatu yang dzatnya memang najis, sehingga hukumnya harus dihindari dan dibersihkan. Kecuali beberapa benda najis yang karena proses istihalah bisa menjadi suci. Sedangkan mutanajjis adalah benda yang secara dzatnya suci, tetapi terkena najis. Contoh najis adalah kotoran, air kencing, madzi, dan wadi, yang memang tidak bisa berubah menjadi suci. Sedangkan mutanajjis contohnya adalah sepatu yang keciprat air kencing, dompet yang jatuh ke kotoran ayam, dst.

Karena itu, sering kejadian, ada orang tak sengaja menelan uang logam. Atau orang yang memasang gigi emas, tak sadar giginya masuk ke dalam perut saat makan. Apakah ketika keluar dari lubang belakang keduanya tidak bisa diunakan karena sudah menjadi najis?

Inilah yang dicontohkan oleh ulama bahwa jika ada biji-bijian yang dimakan hewan dan masih utuh, sehingga kalau toh ditanam, maka akan tumbuh menjadi tanaman, maka hukum biji-bijian ini disebut mutannajis, yang cukup dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel, maka ia akan kembali suci dan boleh digunakan atau bahkan dimakan (Al-Majmu Syarah A;-Muhadzab, juz 2, h. 591)
Artinya jika ada uang tertelan, emas tertelan, atau benda lain tertelan dan tidak berubah bentuk, maka ia hanya sekedar terkena najis saja, yang cukup dibersihkan, sehingga sudah bisa digunakan kembali.

 Air Kencing Yang Suci
Pengecualian berikutnya adalah bahwa, selain mani, air kencing juga ada yang suci, yaitu air kencing Nabi Muhammad, sebagaimana telah disebutkan di atas. Bahkan dalam Al-Wasith fil Fiqhil ‘Ibadaati, h. 113 disebutkan kencing para Nabi itu suci (jadi bukan hanya Nabi Muhammad SAW). Selain itu, yang dikecualikan juga adalah air kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan selain ASI ibunya dan belum genap umur dua tahun. Pengecualian untuk kencing anak laki-laki ini pada derajat najisnya yang masuk kategori mukhaffah, atau ringan. Berbeda dengan bayi perempuan, yang hukumnya sama dengan kencing-kencing yang lain, sebagaimana kencing pada manusia dan binatang.

Ada yang mengatakan bahwa air kencing perempuan najis karena lebih menyengat, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zailai. Tetapi penelitian modern juga menyimpulkan bahwa memang ada beda antara kencing anak laki-laki dan anak perempuan, di mana kandungan bakteri kencing anak perempuan lebih banyak daripada anak laki-laki

Jadi jika ada anak laki-laki kurang dari dua tahun, tapi sudah minum susu kaleng, maka statusnya sama dengan kencing yang lain. Atau sudah makan pisang, roti, dan lain sebagainya, maka ia tidak berbeda dengan air kencing pada umumnya.
Air kencing anak laki-laki masuk kategori najis mukhaffafah (najis ringan) maka dalam menyucikannya cukup dengan menyipratkan air ke benda yang terkena kencing itu. Tidak perlu disiram atau digosok-gosok atau dikucek-kucek. Diusahakan cipratan itu merata sehingga tampak basah apa-apa yang terkena najis itu.

Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi tatkala terkena air kencing anaknya Ummu Qais, maka Nabi meminta air, kemudian beliau “nadhahahu”, dan tidak membasuhnya. “Nadhaha” diartikan dengan memercikkan air sekira tempat yang terkena kencing merata dengan air, tanpa air itu dialirkan. Jadi cukup tampak basah-basah saja. (At-Tadzhib, h. 30)

Najis yang Dimaafkan
Semua najis, sebagaimana disebutkan di atas, air seni, madzi, wadi dll wajib dibersihkan dari pakaian dan tempat shalat. Kalau najisnya berbentuk atau wujud, yang disebut sebagai najis ‘ainiyah, maka harus dhilangkan wujudnya, baunya, rasanya, dan warnanya. Tetapi jika kemudian setelah dihilangkan wujud najisnya, masih tertinggal warnanya dan sudah diusahakan betul tidak juga hilang, maka hal yang demikian masuk kategori najis yang dimaafkan. (Kifayatul Akhyar, h. 88)

Selain itu, secara wujud, ada pula najis yang memang dimaafkan. Yaitu :
1.    Darah atau nanah yang sedikit. Baik itu berasal dari badan sendiri atau orang lain
2.    Bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, nyamuk, kecoa, kutu, dan lain sebagainya yang terjatuh ke wadah (At-Tadzhib, h. 34)

Sedikitnya nanah atau darah ini disesuaikan dengan kebiasaan setempat di dalam menentukan kadarnya. Ukuran sedikit atau banyaknya, ulama sendiri ada ikhtilaf, di antaranya sebesar uang dirham. Tetapi ulama lain untuk mempermudah, menegaskan banyak sedikitnya disesuaikan dengan kebiasaan wilayah setempat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h.  171, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h.173)
Demikian pula ada kondisi-kondisi tertentu juga dimaafkan, karena masuk kategori Umumul balwa atau najis yang susah dihindari. Di antaranya adalah cipratan air hujan saat di jalan. Kencing binatang seperti tikus atau burung, yang sulit kita hindari, dan lain sebagainya. Termasuk tai cicak di masjid masuk kategori ini dengan syarat susah dihindari dan tainya dalam kondisi kering, maka dibolehkan shalat dalam kondisi demikian. Meski demikian, untuk menjaga dan terhindar dari ini semua, kebersihan masjid dari kotoran-kotoran binatang ini tetap tak boleh dilalaikan.
Demikian . Wallahu A'lam Bish Shawaab.

Rabu, 04 Januari 2017

DARAH YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA

 Oleh Ustadzuna Fathury Ahza Mumthaza
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb.... Alhamdulillah wash shaaatu was salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa shahbihi waman walah wala haula wa la quwwata illa billah... Amma ba'du

Kepada Yai Aziz, Para Ustadz dan Jama'ah semua.... Sebagaimana biasa, kami mohon izin untuk melanjutkan pengajian Online hari ini.... Mudah-mudahan apa yang dikaji nanti memberi manfaat dan menjadi tambahn ilmu, dan mampu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu sebelum mulai mohon untuk membaca Surat Al-Fatihah, semoga pengajian hari ini berjalan dengan lancar... Al-Faatihah...
Bismillahirrahmanirrahim.... Hari ini pembahasan memasuki Fasal Darah-Darah yang Keluar dari Kemaluan Wanita... Meski ini soal wanita tetapi bagi lelaki sangat penting untuk mengetahuinya agar dapat membimbing wanita-wanita yang ada di rumahnya, baik saudara, istri, maupun anaknya.
Fasal Darah-Darah Yang Keluar dari Kemaluan Wanita
Ada tiga jenis darah, sebagaimana kita ketahui, yang keluar dari kemaluan wanita. Yaitu darah hadh, darah nifas, dan darah penyakit.


Darah Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam kondisi sehat dan bukan keluar karena melahirkan. Warnanya hitam, terasa panas membakar saat keluar. Haidh secara bahasa berarti mengalir, karena itulah ketika keluar ia terasa merembes, bukan memancar.

Darah Nifas adalah darah yang keluar berbarengan dengan melahirkan. Di sini yang dimaksud semua metode melahirkan, termasuk sesar juga menyebabkan keluarnya darah ini dari kemaluan wanita. Melahirkan ini dalam usia berapa saja, termasuk keguguran.

Darah Istihadhah, yaitu darah penyakit yang keluar bukan pada hari-hari haidh maupun nifas, termasuk yang keluar sebelum usia anak perempuan baligh, misalnya baru 6 tahun.
Waktu masing-masing darah keluar adalah:

Untuk darah haidh, bagi wanita, ia akan mengalaminya paling cepat dalam usia 9 tahun. Sedangkan paling sedikit durasi keluarnya darah ini adalah sehari semalam, paling lamanya 15 hari, dan umumnya 6 atau 7 hari bagi setiap wanita.

Karena itulah masa paling sedikit perempuan dalam kondisi suci, di mana boleh digauli oleh suaminya adalah 15 hari. Sedangkan masa maksimal suci tak terbatas, karena ada perempuan yang haidhnya Cuma sekali dalam setahun, atau bahkan tidak mengalami haidh sepanjang hidupnya.

Darah nifas paling sedikit keluar adalah lahdhatan atau sekejap, maksudnya satu kali mengalir atau menetes sehingga darahnya hanya sedikit. Paling banyaknya perempuan keluar nifas adalah 60 hari, sedangkan biasanya adalah 40 hari. (At-Tadzhib, h. 33)


Hal ini didasarkan metode ISTIQRA’I atau penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi’I terhadap perempuan pada masanya, terutama saat di Mesir. Saat itu para perempuan ditanyakan perihal haidh masing-masing, maka disimpulkanlah hal yang demikian.

Karena itulah kemudian ulama menegaskan bahwa pedoman dasarnya sesungguhnya adalah kebiasaan masing-masing wanita untuk berapa lamanya. Karena masing-masing orang kadang berbeda kebiasaan. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 100).

 Ada yang haidnya 10 hari atau bahkan sebentar 3 hari, ada yang lama sampai 15 hari. Tetapi kalau lebih dari itu, maka dianggap bukan haidh, tetapi darah istihadhah.

Bedanya antara darah haidh, nifas, dan istihadhah adalah jika nifas dan haidh menghalangi melaksanakan beberapa kewajiban seperti shalat dan puasa, tetapi jika darah istihadhah, maka kewajiban tetap lestari sebagaimana biasanya.

Masa Kehamilan
Bicara nifas, Abu Syuja’ menyinggung perihal lamanya kehamilan. Dikatakan bahwa paling sedikitnya waktu hamil adalah 6 bulan, sedangkan paling lamanya adalah 4 tahun (sebagaimana yang dialami Imam Syafi’I yang berada di kandungan selama 4 tahun). Sedangkan umumnya atau biasa masa kehamilan adalah 9 bulan.(At-Tadzhib, h. 33-34).

8 Perkara yang Haram Dilakukan Wanita Haidh atau Nifas
Pertama, puasa. Dasarnya jelas yaitu hadist riwayat Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah menegaskan, “Bukankah ketika perempuan haidh, ia tidak boleh shalat dan puasa.”

Kedua, Membaca Al-Qur’an. Tetapi jika diniatkan untuk dzikir dan mengajar, sebagian ulama membolehkan. Sebaliknya, jika murni dengan niat membaca Al-Qur’an, maka ini dilarang. Ulama menjelaskan, “Dan tidak diharamkan jika bukan dimaksudkan (murni) membaca AL-Qur’an, misalnya membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkan Al-Qur’an, mencari barokah, dan berdoa. (Bughyatul Mustarsyidin, h. 52)

Ketiga, menyentuh dan membawa mushaf. Hal ini didasarkan kepada Al-Waqi’ah ayat 79.
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ artinya : tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
 Di dalam hal ini tidak ada perselisihan di antara ulama. Tetapi larangan ini dikecualikan jika yang dibaca bukan mushaf Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an dan terjemahan, di mana terjemahnya lebih dominan. Atau AL-Qur’an di laptop, di hp atau alat elektronik lain, yang sifat tulisannya adalah cahaya, bukan tulisan sesungguhnya. Karena yang demikian tidak dianggap sebagai mushaf.

Keempat, tidak boleh shalat. Ini sebenarnya diletakkan pada nomer 1, cuma terlewat dalam pembahasan di atas. Shalat yang dimaksud di sini, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, termasuk sujud tilawah atau sujud syukur. Jika puasa wajib diqadha, maka shalat yang tidak dikerjakan tidak ada perintah untuk diqadha

Kelima, masuk masjid. Dalam hal ini yang dimaksud adalah berdiam diri atau mondar-mandir di masjid. Hal ini didasarkan pada surat An-Nisa ayat 43 dan hadist dari Aisyah bahwa Rasulullah menyatakan, "Tidak dihalalkan masjid bagi perempuan yang haidh dan yang junub."

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا. Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Keenam, thawaf. Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi dari Ibnu Abbas, yang menegaskan bahwa thawaf menempati tempatnya shalat,..." Karena itu, shalat dilarang, maka thawaf juga dilarang untuk dilakukan.

Ketujuh, wathi' atau berhubungan suami istri. Asy-Syarbini (Al-Iqna, juz 1, h. 250) menjelaskan bahwa larangan ini berlaku meski haidh sudah berhenti tapi belum mandi. Artinya kebolehan wathi' adalah tatkala perempuan yang haidh sudah mandi.


Hal ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama  yang menegaskan bahwa bagi perempuan yang selesai haidhnya belum dibolehkan untuk dijima' oleh suaminya sebelum ia mandi. Artinya, istri yang selesai haidh, jangan langsung diajak berhubungan sebelum ia mandi. Meskipun ada pendapat lain, di antaranya madzhab Hanafi yang membolehkannya jika masa haidhnya sudah melampaui masa haidh yang biasa yaitu 10 hari. Demikian pula Imam Al-Auzai dan Imam Hazm membolehkan asalkan farji istri sudah dibersihkan dengan air, maka dibolehkan untuk mengajak berhubungan badan meskipu belum mandi (Bidayatul Mujtahid, h. 130).

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan tafsir terhadap ayat ke 222 surat Al-Baqarah:
 فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ : (222

"Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

Kata tathahharna (mereka telah suci), apakah yang dimaksudkan adalah sudah selesai haidhnya sehingga dikatakan suci dalam kondisi suci, ataukah sudah disucikan? Kalau toh yang dimaksudkan disucikan, apakah maksudnya disucikan dengan mandi atau cukup farjinya yang disucikan dengan air?

Inilah yang disebut dengan isim musytarak, yaitu kata yang memiliki beberapa makna, sehingga ulama tidak satu suara di dalam maknanya. Oleh karenanya, maka perbedaan tafsir terhadap ayat ini menjadi dasar bagi beberapa pendapat yang telah kami uraikan yang dialamatkan kepada jumuhur ulama, madzhab Hanafi, Imam Al-Auzai dan Ibnu Hazm (Bidayatul Mujtahid, h. 130)

Kedelapan, dilarang bersenang-senang secara langsung dengan bagian antara lutut dan pusar dari wanita haidh. Hal ini didasarkan kepada hadist riwayat Abu Daud, ketika Rasulullah ditanya apakah yang dibolehkan bagi suami yang istrinya sedang haidh. Nabi mengatakan, "Dihalalkan apa saja yang ada di atas kain." Di atas kain di sini dipahami adalah batas antara lutut dan pusar. Ada juga hadist lain riwayat Muslim yang menegaskan bahwa Nabi mengatakan, "Lakukanlah apa saja selain berhubungan badan." (Al-Iqna, juz 1, h. 251)

Oleh karena itu, ketika istri haidh masih dibolehkan bersenang-senang dengannya asal di luar wilayah antara pusar dan lutut. Selain area ini dibolehkan tanpa ada batasan, baik memandang, menyentuh dll sebagainya. (Al-Iqna, juz 1, h. 251)

Demikian semoga bemanfaat .
Wallahu A'lam Bish Shawaab....

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...