Rabu, 01 Maret 2017

HUKUM MAKAN SESAJEN

 Oleh Ustadz Fathury Ahza Mumthaza



Dalam soal makanan, prinsip yang menjadi dasar adalah Al-Ashlu fil Asyya Al-ibahah, "Dasar dari segala sesuatu adalah boleh. Artinya, makanan apapun, apakah itu buah, hewan dll, itu hukum asalnya boleh. Dasarnya adalah beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya

هو الذي خلق لكم ما في الأرض جميعا وسخر لكم ما في السموات والأرض جميعا منه

"(Allah) telah menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (QS. Al-Jatsiyah: 13).

Tetapi kebolehan ini kemudian dibatasi oleh dalil khusus yang melarangnya, karena itu lanjutan dari kaidah ini adalah hatta yadulla ad-daliil 'ala khilaafihi, "Hingga ada dalil yang menyelisihinya". Karena itu, ada makanan-makanan yang secara jelas memang haram dimakan.

Tetapi secara umum dalam hal ini, yang halal lebih luas, dibanding yang haram, karena ada pembatasan dari beberapa dalil saja.

DI antara dalil yang membatasi adalah ayat "“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3).

Nah, jika meneliti perihal makanan ini, yang jelas ada pembatasan adalah makanan dari hewan, sedangkan jika buah-buahan atau sayur-sayuran, maka tidak ada pembatasan sama sekali. Kecuali tidak bisa dikonsumsi karena beracun atau sebab berbahaya yang lain.

Karena itu, kalau makanan sesajen itu berupa buah-buahan atau sayur-sayuran, tidak ada unsur dari hewan, maka jelas kehalalannya. Dijadikannya sebagai sesajen, tidak menyebabkan ia diharamkan mengonsumsinya, termasuk minuman.




Sedangkan, kalau daging sesajen, atau makan-makanan sesajen dari unsur hewani, maka tidak boleh dimakan. Hal ini sejalan dengan ayat ke 3 surat Al-Maidah di atas atau ayat lain :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis... (Q.S. at-Taubah/9:28)


Karena itu, harus dilihat, ini makanan yang berupa daging, misalnya, asalnya dari mana. Kalau dari orang musyrik, maka jelas haram dimakan.

Demikian, moga cukup jelas.

Wallahu a'lam bish-shawaab

TEMPAT - TEMPAT SHALAT

Kajian Online oleh : Ustadz Fathury Ahza Mumthaza


Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillahi rabbil 'alamiin wash shalaatu was salaamu 'ala nabiyyina muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in... amma ba'du

Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama'ah semua... Mohon izin, di pagi yang masih diselimuti mendung ini melanjutkan Pengajian Online Rabu pagi, membahas kitab At-Tadzhib.







Semoga semua mendapat manfaat dan barokahnya... Untuk itu, mohon perkenannya untuk membacakan surat Al-Fatihah... Al-Faatihah....
 Tempat-tempat Shalat yang Diperselisihkan

Sebelumnya,  sudah disinggung soal shalat di kuburan, di mana ada kondisi yang dilarang, tetapi ada kondisi juga yang membolehkan shalat di tempat ini.

Perdebatan lain, yang perlu diketahui adalah:
 Pertama, mengenai shalat di atas Ka’bah. Ulama sepakat, untuk shalat di atas Ka’bah, dengan naik di atasnya, itu terlarang. Tetapi untuk shalat di dalamnya dibolehkan dengan menghadap ke arah mana saja, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat. (Fathul Baari, juz 4, hal. 265)

 
Kedua, shalat di kandang hewan. Dalam satu hadist dikatakan, “Kerjakanlah shalat di kandang kambing, dan janganlah shalat di kandang unta.” Hadist ini bagi sebagian ulama menunjukkan bolehnya shalat di kandang kambing, tetapi pengecualian untuk kandang unta.(Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 259)



Namun, secara umum, sesungguhnya, di manapun tempatnya, yang terpenting adalah tempat shalatnya itu harus suci, meski disebut dengan kandang. Jika suci, maka dibolehkan shalat di dalamnya (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 577)

Ketiga, shalat di tempat ibadah kaum Yahudi atau Nasrani. Sebagian ulama menghukumi shalat di dua tempat ini sebagai makruh, namun sebagian ulama yang lain menghukumi dengan mubah atau boleh. Bagi fuqaha yang menghukumi makruh beralasan bahwa tempat-tempat itu dinilai najis, bukan karena gambar-gambar yang ada di dalamnya. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 260)

Keempat, shalat di atas permadani atau tempat lain yang biasa untuk duduk. Imam Nawawi jelas menegaskan dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab bahwa shalat di atas permadani dihukumi makruh. Sedangkan jumhur ulama menegaskan kebolehan shalat di atas tikar atau semacamnya, yaitu benda-benda yang ada di atas tanah.

 Shalat di Tempat yang ada Gambarnya atau di Jalan

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Bagi Madzhab Hanafi, shalat di tempat yang ada gambarnya hukumnya makruh, baik itu gambarnya berada di atas, di belakang, di depan, di bawah, samping kanan atau samping kiri. Sementara jika gambar itu ada di depan, lebih dimakruhkan lagi.

Bagi madzhab Hambali, dimakruhkan shalat yang ada gambarnya tergantung di depan orang yang shalat, meskipun kecil bentuknya. Kemakruhan ini tidak berlaku jika gambar itu ada di atas, di samping atau di belakangnya. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 252).

Sedangkan untuk shalat di jalan, menurut madzhab Maliki jika diyakini kesuciannya, maka dibolehkan. Tetapi jika ragu, maka shalatnya langsung batal dan wajib mengulanginya. Kecuali memang di masjid sudah penuh sehingga terpaksa harus di jalan, maka yang terpenting di sini adalah kepastian sucinya jalan. Tetapi jika tidak bisa dipastikan, maka dianjurkan untuk memilih tempat yang lain.

Menurut Madzhab Hambali, shalat di samping jalan, haram hukumnya. Ia sama hukumnya dengan shalat di tempat sampah, di pejagalan, di kandang unta, dan di kuburan. Kecuali ada ‘udzur. (AL-Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah, juz 1, h. 253)                       
                        
  Gambar yang secara mutlak disebutkan dalam Al-Fiqh 'ala Madzahibil Arba'ah adalah gambar hewan. Hukumnya makruh saja. Kalimatnya adalah Tukrahu ash-shalaatu ila shuratil hayawaani. Gambar di sini adalah gambar hewan hidup, yang ada di dunia ini.

Karena itulah, kalau gambarnya adalah gambar masjid, tumbuhan dst, tidak apa-apa. Karena itu, bagi seniman kaligrafi menyiasati larangan menggambar binatang ini adalah dengan membuat kaligrafi seakan-akan berbentuk seperti itu                       
   Secara sederhana, pelarangan gambar itu dilihat dari dua hal. Pertama, berkaitan cara membuatnya, yaitu tashwir. Jika membuatnya dengan tangan dilukis atau dipahat, maka ini haram. Bahkan At-Thabari, misalnya, hanya mengharamkan yang dipahat atau patung 3 dimensi. Sebab makna tashwir adalah membentuk sesuatu yang bernyawa, yaitu hewan atau manusia yang memiliki ruh.

Berbeda jika foto atau film (gambar bergerak), maka ini masuk kategori bayangan atau pancaran cahaya belaka, bukan dibuat, tetapi dengan teknologi untuk memancarkan bentuknya dalam cahaya. Sebab jika listriknya mati, maka hilanglah gambar itu. Atau kalau foto, ia sama seperti gambar di cermin atau di air saja. Sedangkan hukum bayangan di cermin itu tidak masalah.

Karena itu, melihat perempuan lain lewat cermin atau bayangan air, halal (I'anatuth Thalibin, juz 3, h. 301). Nah, film atau foto sama dengan bayangan di cermin atau di air ini. Karena itu hukumnya tidak sama dengan tashwir.



Kedua, tujuan pembuatannya. Yang dilarang adalah dengan tujuan Mudhahat, sebagaimana dalam hadist dari Bukhari:أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهون بخلق الله , artinya: "Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu yang menandingi ciptaan Allah."

Maksudnya, mudhahat adalah menandingi ciptaan Allah. Di sini gambar-gambarnya berkaitan dengan makhluk hidup yang bernyawa seperti hewan dan manusia.

Tujuan lainnya adalah lit-ta'dzim, untuk mengagungkan. Ini pun diharamkan. Patung untuk disembah dan seterusnya.

Karena itu, dari berbagai pengertian ini, maka kalau hanya televisi atau foto, maka itu tidak mengapa, dengan tujuan tidak disembah. Meskipun, hal-hal yang menganggu kekhusyu'an shalat, sebaiknya dihindari. Karena gambar, film, atau suara mudah mengganggu konsentrasi.

Termasuk di sini adalah baju yang ada gambar atau tulisan yang menimbulkan ketertarikan, sehingga menganggu orang yang shalat di belakangnya. Makanya, Imam Al-Ghazali dalam Ihya, ketika menunjukkan bagaimana belajar shalat khusyu', maka ia menganjurkan mulailah dari ruangan yang polos, satu warna, tanpa pernak-pernik, sehingga tidak menimbulkan fantasi-fantasi atau bayangan-bayangan.
Demikian jawabannya, moga berkenan       
               
  Ketika Tidak Tahu Arah Kiblat

Menghadap kiblat itu wajib dan keyakinan akan arahnya itu juga wajib. Shalat tidak boleh ragu..

Karena itu, jika tidak tahu arah, maka harus bertanya pada yang tahu, penduduk setempat atau yang ahli. Kalau tidak ada, maka gunakan tanda-tanda geografis. Kita bisa menghitung sebelumnya datang dari arah mana, dan sekarang di arah mana. Bisa lihat gunung, bukit, hutan, atau lokasi-lokasi lain.

Atau bisa juga, kalau tahu ilmu astronomi, lihat tanda-tanda bintang. Ini kalau nelayan cukup ahli dalam hal ini. Atau orang dulu juga masih akrab dengan ilmu ini.

Nah, dengan ijtihad inilah kita menetapkan shalat kita ke arah mana. Jangan sampai kita shalat, tapi tidak ada usaha untuk mencari arah yang benar. Ini ngawur namanya. Dan dalam shalat tidak boleh ada istilah ngawur.

Jika saat menjalankan shalat ternyata arahnya salah, maka shalatnya tidak perlu dibatalkan, tapi bisa langsung memutar arah sesuai arah yang benar. Tetapi jika tahunya setelah selesai shalat, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian Syafi'i menegaskan harus mengulang, tetapi Hanafi, termasuk sebagian Hambali tidak.

Di sini, yang masyhur dipilih jumhur ulama adalah tidak perlu mengulang. Sebagaimana pernah kami bahas dalam kajian Ushul Fiqh, Al-Ijtihadu la yunqadhu bil ijtihad, satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain.
Usaha menentukan arah qiblat oleh kita adalah bentuk ijtihad, upaya sungguh-sungguh untuk mencari arah yang benar. Jika kemudian telah selesai shalat dan ketemu orang setempat ternyata dikatakan salah, maka ijtihad tadi tetap menjadikan shanya shalat yang kita laksanakan.

 Wallahu a'lam bish shawaab          


GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...