Kamis, 09 Februari 2017

SYARAT WAJIB SHALAT

 Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillah wash shalaatu was salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa shahbihi waman walah walaa haula wa la quwwata illa billah amma ba'du.

Ustadz Fathury Ahza Mumthaza

Kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama'ah semua, mohon izin untuk memulai pengajian Online  pagi. Untuk itu, mohon perkenannya untuk membaca surat Al-Fatihah. Mudah-mudahan dengan fadhilah Al-Fatihah semua urusan kita hari ini dimudahkan dan disempurnakan oleh Allah... Al-faatihah...

Fasal syarat Wajib Shalat

Dalam fasal ini akan menjelaskan kriteria bagi orang yang diwajibkan shalat. Tetapi sebelum itu, ada sedikit tambahan soal kemarin mengenai shalat yang wajib dilaksanakan. Bahwa seluruh ulama sepakat berdasarkan Al-Qur’an hadist bahwa shalat lima waktu difardlukan bagi setiap muslim dan muslimah.

Namun di sisi lain ada shalat yang tingkat kewajibannya di bawah shalat fardlu ini. Nah, dalam hal ini ada keterangan dari madzhab Hanafi yang menegaskan bahwa ada shalat lain yang juga diwajibkan, yaitu shalat witir. (Bidayatul Mujtahid, Juz 1, h. 192-194).

Dalam madzhab Hanafi memang dalam tingkatan perbuatan yang dianjurkan, ada yang disebut fardlu, di bawahnya ada wajib, baru sunnah. Nah, shalat witir masuk kategori shalat wajib, yang memang tingkat dianjurkannnya sangat kuat. Hal ini didasarkan pada beberapa hadist “Al-witru haqqun faman lam yutir falaisa minna (HR Nasai dan Ibnu Majah).

Karena itulah dalam madzhab ini shalat witir betul-betul diperjuangkan untuk dilaksanakan.

Adapun syarat-syarat shalat adalah:

Pertama, Islam. Karena itu bagi orang yang sudah bersyahadat maka wajib melaksanakan shalat. Karena itu shalat tidak diwajibkan bagi kafir ashli, atau kafir sudah dari lahir. (Al-Iqna, Juz 1, h. 269).

Tetapi berbeda dengan yang sebelumnya masuk Islam, lalu murtad, lalu masuk Islam lagi. Maka shalat-shalat yang ditinggalkan saat ia murtad tetap wajib dilaksanakan, yaitu dengan digadha sejumlah shalat yang tertinggal. Hal yang sama, bagi orang yang meninggalkan shalat, karena malas atau enggan, maka ia harus dihukum atau dita’zir. 
Kedua, baligh. Ini jelas sudah diketahui bersama, karena itu shalat tidak diwajibkan untuk anak kecil. Tetapi sebagai orang tua atau orang yang mendidiknya wajib memerintahkannya untuk menjalankan shalat semenjak anak usia 7 tahun dan dibolehkan memukulnya (dengan pukulan tidak membuat cidera) ketika beranjak 10 tahun, jika ia menolak. (Al-Wasiith fil Fiqh Al-“Ibaadati, h. 170).
Karena itu di sini perlu dijelaskan, bahwa bagi yang baligh, misalnya pada waktu dzuhur, maka ia sudah langsung wajib melaksanakan shalat dzuhur, meskipun waktunya sangat sempit. Ini yang disebut dengan waktu darurat yang dibolehkan shalat, yaitu misalnya seseorang mimpi basah siang-siang dan ketika bangun sudah menjelang Ashar, maka ia wajib mandi untuk kemudian wudlu dan melaksanakn shalat. Meskipun baru dapat satu raka’at lalu masuk waktu Ashar, maka ia tetap dinilai shalat Dzuhur. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi “Siapa saja yang sempat melaksanakan satu raka’at dalam shalat Ashar sebelum matahari terbenam, berarti ia sudah melaksanakan shalat Ashar (HR Malik dan Abu Daud, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 216).

Ketiga, berakal. Shalat tidak wajib bagi orang gila. Artinya selama gila shalat yang ditinggal ketika sembuh tidak dianjurkan diulang. Berbeda dengan orang yang mabuk atau tertidur, maka ia diwajibkan mengqadha shalat yang ditinggalkan saat kedua kondisi ini. Termasuk di sini yang sakit. (AL-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 566) .
Cara mengqadha Shalat.
 
Ketiga syarat diatas sebetulnya menjadi batasan bagi seseorang disebut Mukallaf, di mana ia dibebani berbagai kewajiban agama, baik itu yang fardlu, sunnah, makruh, haram dll. Artinya, Islam, baligh, dan berakal adalah standar dasar setiap kita telah sempurna dalam menjalankan perintah agama.

Khusus berkaitan dengan qadha shalat, ulama menegaskan bahwa shalat yang tidak sengaja maupun yang sengaja ditinggal, sama-sama diwajibkan digadha atau dikerjakan ulang.

Adapun caranya adalah, dahulukan shalat yang memiliki waktu. Misalnya qadha shalat dilaksanakan pada saat dzuhur, maka diutamakan mengerjakan shalat dzuhur dulu, baru shalat yang diqadha, secara berurutan sesuai waktunya. Subuh didulukan atas dzuhur. Dzuhur didahulukan atas ashar dst. (Al-Iqna, juz 1, h. 268)

Adapun jika yang tertinggal itu banyak, bertahun-tahun, maka ulama mengajarkan, kerjakanlah qadha shalat sesuai dengan waktu-waktu shalat. Qadha shalat dzuhur, setelah mengerjakan dzuhur untuk saat itu, diulang sesuai jumlah yang tertinggal, dan terus hingga dirasa sudah habis.

Detail cara mengqadha Shalat
Selain mengenai urutan shalat yang diqadha, ada hal-hal lain yang perlu kita ketahui perihal qadha shalat ini.
Pertama, sir (pelan) atau jahr (keras)nya shalat ditentukan oleh waktu pelaksanaan. Jika yang diqadha adalah shalat jahr (maghrib, Isya, dan Subuh), tetapi pelaksanaanya pada siang har, maka dalam melaksanakannya dipelankan suaranya. Sebaliknya, jika yang diqadha adalah shalat yang sir (Dzuhur dan Ashar), tetapi dilaksanakan pada saat jahr (malam), maka suara juga dijahrkan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, juz 1, h. 447)

Kedua, shalat qadha ini disertai taubat. Sebab, jika hanya shalat saja, maka itu tidak mencukupi. Sebaliknya, jika hanya taubat saja, tanpa mengqadha shalat, itu juga tidak mencukupi. Karena shalat adalah kewajiban yang harus ditunaikan hamba kepada Allah. Ia sama seperti hutang sesame manusia

Memang, ada ulama yang mengatakan bahwa bagi shalat yang ditinggal secara sengaja, tidak diqadha, sebab qadhanya tidak diterima. Tetapi orang itu harus bertaubat dan memperbanyak berbuat baik serta memperbanyak shalat sunnah agar memperberat timbangan. Inilah pendapat Ibnu Hazm (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, juz 3, h. 76).

 Termasuk memiliki pendapat yang sama adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim Jauziyah.
Padahal dalil soal mengqadha shalat itu cukup banyak. Di antaranya:
 من نسي صلاة فليصل إذا ذكرArtinya: Barang siapa tidak melaksanakan shalat karena lupa maka segeralah dia shalat kalau sudah ingat.(Muttafaq alaih).
Jika yang lupa saja wajib diulang, apalagi yang sengaja. Itu jauh lebih diperintahkan.

Ketiga, jika shalat yang tertinggal adalah saat safar atau bepergian, maka dibolehkan untuk mengqasharnya, menjadi dua rakaat. Demikian pula boleh untuk dijamak, sesuai dengan ketentuan saat shalat yang tertinggal.

Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam Bish Shawaab...





GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...