Senin, 30 Maret 2020

Hukum Shalat Berjamaah dan Hal-hal yang Menghalanginya


Kajian Online
Majlis Tafsir Jalalain
                                                          Oleh: Fathuri Mumtaza
*Hukum Shalat Berjamaah dan Hal-hal yang Menghalanginya*
Disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat senantiasa dalam melaksanakan shalat dengan berjama’ah. Demikian para ulama salaf yang shalih, shalat jama’ah benar-benar diutamakan. Rasulullah sendiri mengecam keras orang yang tidak melaksanakan shalat dengan berjama’ah.
*Dasar dari shalat Jamaah sangat jelas, baik dari Al-Qur’an, hadist, maupun ijma atau kesepakatan ulama.*
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ
Artinya:
Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata mereka
Sedangkan hadist Nabi menyebutkan:
وقال صلى الله عليه وسلم: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
Nabi saw. bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Malik, imam Ahmad, imam Al-Bukhari, imam Muslim, imam At-Tirmidzi, imam Ibnu Majah, dan imam An-Nasai dati sahabat Ibnu Umar r.a.
Atau dalam hadist lain, Rasulullah lebih tegas
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ يُحْتَطَبُ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.
Karena itu, Imam Nawawi menegaskan bahwa semua ulama sepakat atau ijma’ bahwa shalat jama’ah diperintahkan. (Al-Majmu’, juz 4, hal. 75)
Namun, bicara tingkat kewajibannya, berdasarkan Al-Qur’an maupun hadist yang ada, ulama ikhtilaf:
Pertama, hukum shalat berjama’ah adalah wajib, dan bagi yang meninggalkannya dihukumi berdosa, meskipun shalatnya tetap sah. Inilah pendapat madzhab Hanafi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Mundzir, termasuk madzhab Hambali.
Dasarnya adalah ayat 102 surat An-Nisa yang telah disebutkan. Dalam ayat itu jelas, bahwa shalat jamaah tetap diperintahkan, meskipun dalam kondisi takut atau peperangan. Karena ayat lanjutannya menjelaskan bagaimana cara shalat berjamaah dalam kondisi perang.
Dasar lainnya adalah hadist yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa Rasulullah akan membakar rumah orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah. Karena ancamanya yang berat hal ini menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah.
Kedua, shalat jamaah hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat madzhab Maliki. Sebab, dalam hadist lain Rasulullah menegaskan tentang keutamaan shalat jamaah dengan shalat sendirian. Hanya menyebut keutamaannya saja. Hal ini menunjukkan penekanan pada sunnah belaka, tidak sampai wajib. (Mawahibul Jalil, juz 2, hal. 81)
*Ketiga, shalat jamaah hukumnya fardlu kifayah. Inilah pendapat madzhab Syafi’I didasarkan ayat dan hadist yang telah disebutkan. Di mana satu ayat atau hadist menegaskan kewajibannya, tetapi dalam hadist lain menunjukkan kesunahannya. Karena itu hukumnya adalah fardlu kifayah. Inilah pendapat yang diikuti oleh mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. (Al-Majmu’, juz 4, hal. 75)*
Keempat, shalat jamaah menjadi syarat sahnya shalat. Ini adalah pendapat Ibnu Musa, Abu Al-Wafa, Ibnu Taimiyah, dan Madzhab Adzh-Dzahiri. Hal ini mereka dasarkan kepada hadist:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : أَتَى النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ أعْمَى ، فقَالَ : يا رَسُولَ اللهِ ، لَيسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلى الْمَسْجِدِ ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّي فِي بَيْتِهِ ، فَرَخَّصَ لَهُ ، فَلَّمَا وَلَّى دَعَاهُ ، فَقَالَ لَهُ : (( هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟ )) قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : (( فَأجِبْ ))
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan seorang lelaki yang buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberinya keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Namun ketika orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah panggilan azan tersebut.’ (HR. Muslim, no. 503)
Berdasarkan hadist ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya shalat jamaah, sampai-sampai bagi yang buta tidak ada keringanan untuk meninggalkannya.
*Ukuran Minimal Terwujudnya jama’ah*
Dalam shalat berjama’ah minimal bisa tercapai adalah dengan dua orang, yaitu imam dan satu makmum. Itu sudah cukup terlaksananya jama’ah. Baik itu dilaksanakan di dalam masjid maupun di tempat lain, baik dalam shalat fardlu maupun shalat sunnah. (Al-Wasith fil Fiqhi AL-Ibadati, hal. 242)
*Udzur atau Halangan yang Membolehkan Meninggalkan shalat Berjama’ah*
Meskipun di awal kami sampaikan terkait anjuran shalat jama’ah, bahkan sebagian ulama menyatakan jamaah menjadi syarat sahnya shalat. Namun ada beberapa ‘udzur yang membolehkan orang tidak berjama’ah.
Pertama, sakit yang menyulitkan seseorang untuk hadir di masjid.
Kedua, hujan lebat yang membuat orang harus menutupi kepalanya. Dasarny adalah hadist:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, *”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].* Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.”(HR Muslim No 699)
*Ketiga, cuaca yang sangat dingin, keadaan gelap gulit, menahan kencing, berak dan kentut, takut pada orang dzalim atau dari orang yang mengutangi sedangkan dia masih dalam kondisi belum mampu membayar.*
Dalilnya di antaranya adalah:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” (HR Muslim, hadist no 697, Al-Wasith Fil Fiqhi Al-Ibadati, hal. 263)
*Bagaimana dengan Corona, apakah bisa menjadi udzur untuk tidak berjama’ah?*
Jika melihat dalil-dalil di atas, yang menghalangi shalat berjamaah cukup jelas, yaitu sakit, hujan, kondisi yang sangat dingin, bahkan gangguan orang yang dzalim. Karena itu, penyakit corona yang menghalangi orang untuk berinteraksi langsung, bertemu, berkerumun, dan berkelompok, dengan menggunakan qiyas, masuk dalam udzur yang menghalangi untuk shalat berjama’ah di masjid. Sebab, dampaknya justru lebih parah disbanding hujan atau musim dingin, karena bisa menyebabkan kematian.
Oleh sebab itu, seyogyanya keimanan kepada Allah, tidak harus kita pertentangkan dengan anjuran kesehatan. Nabi Musa As saja ketika sakit gigi berdoa kepada Allah agar diobati, Allah menyuruhnya untuk mencari rumput sebagai obat. Dan saat Nabi Musa menemukan dan menggunakannya, langsung sembuh. Di sini ada keimanan, tetapi juga diajarkan terkait wasilah atau perantara Allah memberi kesembuhan, yaitu melalui makhluk-Nya yang bernama rumput. (Nur Adh-Dholam, hal. 29)
Artinya, untuk kesembuhan sebuah penyakit, Allah pun mengutus obat dan pencegahannya.
Corona, secara kedokteran seluruh dunia dipandang sebagai ancaman global yang perlu dihindari, dan menjaga kesehatan itu perintah agama. Kita dilarang untuk terjatuh dalam kebinasaan, sebagaimana larangan mengonsumsi hal-hal yang berbahaya bagi kesehatan, minuman keras, narkoba, dan lain sebagainya. Karena itu, kita bisa lihat beberapa larangan di berbagai Negara:
1. Turki dan Kuwait, melarang shalat berjamaah di masjid. Bahkan prakteknya di Kuwait seperti yang disebutkan dalam hadist di atas, mereka menyesuaikan adzan sebagaimana Rasulullah perintahkan:
صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
Shalatlah di rumah kalian. Sebagai ganti hayya ala shalah
2. Arab Saudi dan Iran, menangguhkan pelaksanaan shalat Jum’at. Arab Saudi menangguhkan shalat jumaat di seluruh masjid, sedangkan Iran memberlakukan di 23 kota.
Karena itu, keputusan-keputusan berbagai Negara tentu sudah diperhitungkan dalil-dalilnya berdasarkan Al-Qur’an maupun hadistnya. Jika di Indonesia, sebagian ulama setuju, dan sebagian lain tidak, itu tidak berarti mengugurkan satu dengan yang lain. Sebab, al-ijtihadu la yunqadlu bil ijtihadi. Masing-masing ijtihad berdiri sendiri sesuai dengan dalil dan rujukannya masing-masing.
*Namun, sesuai dengan fatwa tiga organisasi paling otoritatif di negeri ini: MUI, NU, dan Muhammadiyah, semua memfatwakan agar menangguhkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at, terutama di wilayah zona merah. Sudah seharusnya kita ikuti dan patuhi, karena tentu telah melalui pertimbangan dan kajian matang para ahlinya.*
_Wallahu a’lam bish shawaab_

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...