Selasa, 29 November 2016

KEBOLEHAN MENGUSAP KHUF(SEPATU) SAAT BERWUDLU


USTADZUNA FATHURI AHZA MUMTHAZA
Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillahi rabbil 'alamiin wash shalaatu was salaamu 'ala asyrafil anbiyai wal mursalin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in amma ba'du... 
Pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama'ah semua, mohon izin melanjutkan Pengajian online hari ini di dalam membahas kitab At-Tadzhib, Syarah Ghayatul Ikhtishar wat Taqrib. Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca Surat Al-Faatihah, semoga dengan fadhilahnya kita dimudahkan memahami dan melaksanaknnya... Al-Faatihah...
Fasal tentang Bolehnya Mengusap Khuf.
Sebelum memulai fasal ini, sedikit kami jelaskan lebih dulu fakta yang terjadi pada zaman Rasul berkaitan dengan Khuf, termasuk na'l atau sandal dalam ibadah

Bahwa ada dua keterangan penting di sini. Pertama, Nabi dan para sahabat saat shalat kadang memakai na'l atau sandal alias alas kaki. Adapun di antara dalilnya adalah
أكان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في نعليه قال نعم

"Apa benar bahwa Rasulullah SAW shalat dengan mengenakan kedua sandalnya?". Beliau (Anas bin Malik) menjawab,"Ya". (HR. Bukhari)

Artinya memang Rasulullah dalam shalat pernah memakai sandal, sehingga ada sebagian ulama yang menghukumi sunnah. Hal ini bisa dimengerti karena pada zaman itu masjidnya memakai alas pasir atau batu, makanya dalam banyak keterangan disebutkan bahwa saat itu ketika mereka shalat tertinggal bekas pasir di keningnya

Meski demikian, dalam beberapa hadist lain juga Rasulullah memerintahkan melepaskan sandal saat shalat dan memerintahkan meletakkannya di tempat yang tidak mengganggu:


إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَلَا يُؤْذِ بِهِمَا أَحَدًا، لِيَجْعَلْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَوْ لِيُصَلِّ فِيهِمَا

"Apabila salah seorang di antara kalian shalat dengan melepaskan kedua sandalnya, janganlah mengganggu orang lain dengannya, hendaklah dia meletakkan kedua sandalnya di antara kedua kakinya atau dia shalat dengan menggunakan keduanya." (HR. Abi Daud)

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلَا يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِينِهِ، وَلَا عَنْ يَسَارِهِ، فَتَكُونَ عَنْ يَمِينِ غَيْرِهِ، إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ، وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

Apabila salah seorang di antara kalian melaksanakan shalat, janganlah dia meletakkan sandalnya di sisi kanan atau kirinya sehingga menjadi di sisi kanan orang lain, kecuali di sisi kirinya tidak ada orang lain, dan hendaklah dia meletakkannya di antara kedua kakinya." (HR. Abi Daud)

Atau dalam keterangan yang lebih kuat lagi, bahwa setiap kita memasuki tempat suci seperti masjid, maka diperintahkan melepas alas kaki kita:

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

“Lepaskan kedua alas kakimu, sesungguhnya engkau sedang berada di lembah suci Tuwa” (QS. Thaha 12).

Tambahan sedikit perihal shalat memakai sandal, ulama menjelaskan bahwa kebolehan shalat menggunakan shalat adalah jika sandal itu terjaga kesuciannya dan tidak mengganggu pelaksanaan shalat.

Bila melihat kondisi masjid/mushalla saat ini tentu menjadi hal yang aneh jika kemudian ada yang shalat memakai sandal, meski dengan sharat-syarat tertentu dibolehkan.

Kedua, inilah yang akan kita bahas lebih dalam hari ini yaitu kebolehan mengusap khuf atau sepatu ketika wudlu.

Dijelaskan oleh Dr Musthofa dalam At-Tadzhib h. 25, bahwa dalil atau dasar kebolehan mengusap khuf ini ada banyak hadist di antara hadist riwayat Bukhari dan Muslim riwayat dari Jarir bahwa wudlu kemudian mengusapkan khufnya.


 Fasal Mengusap Khuf atau Muzah

Mengusap khuf itu dibolehkan tatkala wudlu. Maksudnya saat wudlu cukup mengusap khuf tanpa membasuh kaki. Kebolehan ini mensyaratkan adanya 3 hal:

Pertama, orang yang wudlu itu mulai memakainya saat suci atau tidak berhadast, alias memiliki wudlu
Kedua, khuf itu menutupi bagian yang wajib dibasuh dari dua telapak kaki hingga mata kaki
Ketiga, khuf terbuat dari bahan yang kuat digunakan secara terus menerus dalam perjalanan.

Sebelum membahas lebih jauh, sedikit dijelaskan tentang khuf ini. Ulama biasanya mengartikannya dengan muzah. Ia terbuat dari kulit binatang yang tipis dan tingginya hingga menutupi mata kaki. Khuf ini bagi orang Arab biasa digunakan saat musim dingin agar mencegah kaki pecah-pecah. Selain itu, biasanya di luar khuf masih memakai sepatu lagi, yang disebut dengan jurmuq.

Dijelaskan oleh Dr Musthofa dalam At-Tadzhib h. 25, bahwa dalil atau dasar kebolehan mengusap khuf ini ada banyak hadist di antara hadist riwayat Bukhari dan Muslim riwayat dari Jarir bahwa wudlu kemudian mengusapkan khufnya. Hikmah di dalam bolehnya mengusap khuf ini adalah sebagai takhfif atau keringanan dari Allah, terutama bagi yang memakai muzah ini dalam kondisi musim dingin yang sangat, atau dalam perjalanan yang cukup riskan jika melepaskannya.

Kebolehan mengusap khuf ini sifatnya pilihan. Artinya jika toh tidak ada kondisi darurat yang mendorong, maka membasuh khuf saat wudlu itu lebih utama. Meski demikian, ada kondisi-kondisi yang membuat mengusap khuf ini tak sekedar boleh, tetapi malah masuk kategori wajib. Yaitu di antara kondisi ini adalah sempitnya waktu shalat, dan jika melepas khuf akan membutuhkan waktu.(Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 37, h. 262) .


Memang, bagi kita yang di Indonesia, mengusap khuf ini mungkin tidak terlalu menarik dan penting, karena memiliki musim yang tidak ekstrem panas atau dingin. Tetapi saat kita nanti datang Eropa atau wilayah-wilayah dengan dingin dan panas yang ekstrem, maka hal ini sangat diperlukan.

Lama waktunya boleh melakukan hal yang demikian, bagi orang yang muqim atau tinggal, paling lama adalah sehari semalam. Sedangkan bagi yang musafir dibolehkan hingga 3 hari 3 malam. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad riwayat Muslim, ketika ditanya soal waktu ini, beliau menjawab, "3 hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi muqim (At-Tadzhib, h. 26).


Menjawab pertanyaan , bagaimana dengan kaos kaki? Kaos kaki dalam kajian fiqh disebut jaurab. Ini berbeda dengan khuf, di mana jaurab bisa terbuat dari wol, kapas, dll, yang tidak terlalu tahan lama.

Di sini, jika mengikuti jumhur maka mengusap kaos kaki saja saat berwudlu tidak mencukupi alias tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, dan Malik. Sedangkan ada juga ulama yang membolehkan, di anttaranya Abu Yusuf, Muhammad, dan sebagian pengikuti madzhab Hanafi. Dalil yang membolehkan adalah

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ

Sesungguhnya Rasulullah berwudhu` dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya.

Meskipun ada dasarnya, tetapi madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanafi sendiri menyangsikan keshahihan hadist ini, sehingga mengusap jaurab tidak dibolehkan. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 27-28).

Menjawab pertanyaan  di mana di Pakistan ada orang sedang menshalat jenazah di jalan dan memakai sandal, apakah dibolehkan?

Agar cara pandang kita lebih luas, perlu diketahui bersama, dari madzhab yang 4, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali tersebar ke wilayah-wilayah berbeda.

Madzhab Hanafi terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).

Mazhab Maliki dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Madzhab Syafi'i tersebar terutama di Indonesia, Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei. Sedangkan Madzhab Hambali dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi.

 Nah, bicara Pakistan, maka mayoritas di sana mengikuti madzhab Hanafi. Dalam madzhab Hanafi memandang bahwa makruh hukumnya shalat jenazah di  masjid, meskipun mayitnya diletakkan di luar masjid. Justru yang dianjurkan adalah dishalatkan di tanah datar, di rumah atau tempat tertentu.

Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh madzhab Hambali, yang mengatakan bahwa boleh shalat jenazah di masjid, jika tidak takut mengotorinya. Tetapi jika sebaliknya, maka haram menshalati mayit di masjid dan haram juga memasukannya.

Hal ini berbeda dengan madzhab Syafi'i, sebagaimana di Indonesia, yang menegaskan disunnahkan shalat jenazah di masjid (Al-Fiqh 'ala Madzahibil Arba'ah, juz 1, h. 479 dalam bab Hal Yajuzu ash-shalaatu 'alal mayyiti fil masjid, Apakah boleh shalat jenazah di masjid?).

Adapun dasar masing-masing adalah:

Dasar shalat di teras masjid adalah Hadist riwayah Ahmad dan Hakim “Kami duduk di teras masjid, di tempat yang sering digunakan untuk shalat jenazah. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami.” (HR. Ahmad dan Hakim)

Dasar anjuran shalat jenazah di dalam masjid adalah riwayat dari A’isyah radhiallahu ‘anha, bahwa ketika Sa’d bin Abi Waqqas meninggal, mereka berpesan agar jenazahnya dibawa ke masjid, sehingga mereka bisa menyalatkannya. Para sahabat pun melakukannya. Kemudian mereka menyalati jenazah Sa’d di dalam masjid. (HR. Muslim, 3:63)

Sedangkan dalil shalat jenazah di rumah, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika putranya Abu Umar meninggal dunia, beliau mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkannya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan menyalatinya di rumah Abu Thalhah. (HR. Hakim dan Baihaqi).

Meski mengusap muzah atau penutup kaki diizinkan, tanpa harus melepasnya. Tetapi ada tiga hal yang membatalkannya (At-Tadzhib, h. 26).

1. Ketika muzahnya dilepas, maka otomatis sudah langsung batal
2. Habisnya masa atau waktu, yaitu bagi musafir 3 hari 3 malam, dan bagi yang muqim satu hari satu malam

Tetapi jika safar atau bepergiannya itu untuk maksiat, maka hanay dibolehkan dalam jangka waktu satu hari satu malam saja. Sebab safar untuk maksiat sama sekali tidak diizinkan untuk mengambil rukhshah atau keringan. "Tidak ada keringanan dalam safar maksiat" (Al-Majmu Syarah Al-Muahadzab, juz 1, h. 510).



3. Dan adanya sesuatu yang menyebabkan mandi atau datangnya junub.

Artinya, jika orang itu kemudian junub, maka cara mandinya tidak cukup diusap muzahnya, tetapi harus dilepas dan kakinya dibasuh sebagaimana biasanya. Hal yang sama juga berlaku bagi mandi-mandi sunnah, di mana tetap saja muzahnya harus dilepaskan agar air turut mengalir saat mandi (Al-Majmu, juz 1, 505).


Ulama selalu membagi dua berkaitan dengan safar dan maksiat. 
Pertama, apa yang disebut dengan safarun ma'syiyyatun, yaitu bepergian yang memang untuk tujuan maksiat. Ada dua contoh yang sering disuguhkan, yaitu begal di jalan (Qathiut thariq) atau budak yang lari dari tuannya. Dari contoh ini kemudian dikembangkan bahwa safar maksiat juga termasuk pergi untuk menyakiti orang, membuat kerusakan, berbuat kedzaliman dan kemungkaran, lari dari tanggung jawab dan seterusnya (Anwarul Masalik, h. 80).

Kedua, Maksiat dalam safar. Contohnya adalah perginya untuk kebaikan, seperti belajar atau bekerja, tetapi di jalan ia melakukan maksiat seperti meninggalkan shalat, atau tergoda perempuan hingga berzina, atau tangannya gatel akhirnya mencuri, dan seterusnya. (Anwarul Masalik, h. 80)

Untuk yang pertama, maka sama sekali tidak boleh mengambil rukhshah atau keringanan karena safar, sedangkan yang kedua masih diizinkan. Adapun keringanan orang yang safar itu adalah:

1. Qashar shalat
2. Jama' shalat
3. Tidak puasa
4. Mengusap khuf 3 hari 3 malam
5. Makan bangkai (dalam kondisi darurat jika kehabisa bekal)
6. Tayammum jika tidak ada air
7. Tidak shalat Jumat
8. Shalat sunnah di atas kendaraan (Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, juz 1, h. 506-507).


Wallahu A'lam Bis showaab.

 

Senin, 28 November 2016

SELAMAT DATANG DIBLOG IMRAN DJAU: MENGAGUNGKAN GURU

SELAMAT DATANG DIBLOG IMRAN DJAU: MENGAGUNGKAN GURU:  Oleh Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza Ustazuna Fathuri Ahza Mumthaza Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili, Rasul SAW bersabda : إنَّ... kodepos.nomor.net

MENGAGUNGKAN GURU

 Oleh Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza
Ustazuna Fathuri Ahza Mumthaza
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili, Rasul SAW bersabda :

إنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جِحرِهَا وَحَتَّى الْحُوْتَ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Sesungguhnya Alloh, Malaikat-Malaikat-Nya, beserta penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang berada dalam sarangnya, demikian pula dengan ikan-ikan; Semuanya berdo’a untuk orang-orang yang mengajarkan kebajikan pada manusia.”
 [HR Tirmidzi]

Catatan :
Syeikh Az-Zarnuji mengatakan : Kendati para penuntut ilmu telah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, namun banyak dari mereka tidak mendapat manfaat dari ilmunya.
 Ini dikarenakan kesalahan dalam cara menuntut ilmu, dan diabaikannya syarat-syarat dalam menuntut ilmu karena barangsiapa salah jalan, tentu akan tersesat dan tidak akan mencapai tujuan. [Ta’limul Muta’allim].
 Di antara syarat yang sering diabaikan oleh para penuntut ilmu sekarang adalah kurangnya, & bahkan tidak penghormatan terhadap guru.
 Dalam kitab Taysirul Khallaq disebutkan seorang penunut ilmu haruslah meyakini bahwa guru mempunyai kedudukan seperti orang tua, bahkan bisa lebih tinggi, karena orang tua memelihara jasadnya, tapi guru berusaha memelihara jiwanya. Orang tua memperhatikan urusan dunia kita, sementara guru memperhatikan urusan akhirat kita.

 Coba kita perhatikan..
 Kita mengenal Allah, para Nabi, bahkan kita bisa membaca Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ajaran islam sehingga bisa menggali lebih dalam syariat Islam namun terkadang kita lupa dari manakah kita mengenal semua itu?
 Tidaklah mungkin kita kenal semua itu tanpa bimbingan guru. Maka benarlah perkataan ulama :
لولا المربي، ما عرفت ربي
Seandainya tidak ada guru, niscaya aku tidak mengenal Tuhanku.
 [Kitab Hikmatul Isyraq].
Betapa mulianya seorang guru, hingga Sayyidina Ali yang digelari sebagai kotanya ilmu berkata:

أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق
Aku adalah hamba sahaya dari seseorang yang mengajariku satu huruf, jika ia mau maka ia boleh menjual dan jika ia mau maka ia boleh menjadikan aku sebagai budaknya.
 [Ta’limul Muta’allim]

Imam Ahmad banyak mengambil ilmu dari Imam Syafi’i hingga ia berkata: Jika dalam suatu permasalahan tidak aku temui haditsnya maka aku memutuskan hukum dengan perkataan Imam Syafii. [Siyar A’lamin Nubala’] Maka sebagai balasannya Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ

 Aku mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Aku berdoa, “Ya Allah.. ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.”
[al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i]


Subhanallõh..
Lantas bagaimana dengan kita?
Sudahkah kita memuliakan guru kita dimana kita banyak mengambil ilmu dari mereka?
 Sudahkah kita mendoakan mereka seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad kepada As-Syafi’i?
 Astagfirulloh...
Betapa bakhilnya penuntut ilmu zaman ini jangankan memuliakan guru, merekapun enggan menyebut nama guru sebagai sumber ilmunya, padahal disitulah letak keberkahan ilmu.
Jalaluddin Abdrurrahman bin Abu Bakar mengatakan :

ومن بركة العلم وشكره عزْوُه إلى قائله
Di antara keberkahan ilmu dan wujud mensyukurinya ialah menisbatkan setiap perkataan kepada orang yang mengatakannya.[ Kitab Al-Muzhir]

Hilangnya keberkahan itu diakibatkan seorang penuntut ilmu telah menjadi pendusta, Simak sabda Nabi SAW :

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ
“Orang yang berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian kedustaan”. 
[HR Bukhari]

Bahkan ada ulama yang menilai bahwa perbuatan tersebut termasuk sariqah (pencurian) karena ia telah mengambil sesuatu yang bukan haknya . Ia juga dianggap sebagai penipu karena ia menipu orang lain dengan pembentukan opini bahwa perkataan itu adalah hasil dari jerih payahnya sendiri.

 Wallõhu A’lam.
 Semoga kita menjadi orang yang memuliakan guru-guru kita dan ilmu mereka sehingga setiap kita berhak mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.

 Mari kita doakan guru-guru kita, semoga mereka senantiasa mendapat perlindungan dan rahmat dari Alloh swt, Lahumul Fatihah.........




















Wallahu A'lam Bis showaab.

Selasa, 22 November 2016

kodepos.nomor.net


HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI 2



237ba-ust2bfathuri
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza

Pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama’ah sekalian mohon izin memulai pengajian online Rabu pagi… Mudah-mudahan membantu kita semua untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya… Amiin. Untuk itu, mohon perkenannya untuk membacakan Ummul Qur’an, Al-Fatihah…… a4a16-al2bfatihah
Bismillahirrahmanirrahim.. Masih menjelaskan seputar hal-hal yang mewajibkan mandi. Sebagaimana minggu lalu telah dijelaskan bahwa ada tiga sebab yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu bertemunya dua alat kelamin, keluar mani dan meninggal. Ketiga hal ini menyebabkan orang mandi, dua pertama mandi sendiri, sedangkan yang ketiga dimandikan oleh orang lain
Khusus di dalam menghadapi orang yang mati, ada beberapa hal dianjurkan. Di antaranya, kita dianjurkan untuk memejamkan kedua matanya, jika tampak saat meninggal masih terbuka. Disunahkan pula untuk memastikan sebenar-benarnya bahwa kematian telah menjemput si mayit, terutama bagi orang tenggelam atau sakit. Jangan sampai sesungguhnya mayit belum meninggal tapi sudah dianggap mati, karena itu dibutuhkan keterangan ahli, misalnya dokter.(Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 503)
terjemah-bidayatul-mujtahidDi sini, memandikan mayat dikecualikan bagi mayit orang yang mati syahid (Fathul Qarib hal. 7), sebab ada hadist riwayat Bukhari menegaskan, “Kuburkanlah mereka (syuhada) bersama darah mereka.”fath-qorib Karena itu, jika ditemukan ada orang yang mati syahid namun dalam kondisi junub. Artinya sebelum perang ternyata dia telah junub lebih dulu dan belum sempat mandi. Maka inilah yang disebut dalam kaidah fiqhiyyah sebagai bertemunya antara tuntutan dan larang sekaligus, yaitu perintah mandi bagi orang junub, sekaligus larangan bagi mati syahid. Dalam kondisi ini maka berlaku kaidah Idza Ta’aradhal Maani’ wal muqtadha, quddima l maani’ “Ketika larangan dan tuntutan saling berlawanan, maka yang didahulukan adalah larangan. Karena itu orang yang mati syahid, tapi junub, maka tetap tidak boleh dimandikan (Al-Ashbah Wan Nadhair, h. 223).kitab-al-asyabah-wan-nadhairNamun, ada kondisi kebalikan dalam hal ini. Yaitu jika karena satu dan lain hal, misalnya bencana, dan banyak orang meninggal. Sementara yang tinggal di situ ada muslim dan non muslim, sedangkan tidak mungkin mengidentifikasi dan mengenali mana jenazah muslim dan mana jenazah yang non-muslim, sedangkan mayit harus segera dimandikan. Maka dalam hal ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mantsur fil Qawaid Fiqh Syafii (juz 1, h. 203), berlaku kaidah idza ijtama’al waajib wal mahdhur, yuqaddimul waajib, ketika kewajiban dan larangan berkumpul, maka dahulukan kewajiban. Kewajiban di sini adalah memandikan mayit muslim, sedangkan larangannya adalah memandikan mayit non-muslim. Maka demi kemaslahatan berupa kewajiban memandikan mayit muslim, maka mafasadah bercampur dengan mayit non-muslim dikesampingkan, sehingga dimandikan semua, tanpa kecuali.
 Bagaimana dengan mayat yang dimutilasi, bagaimana memandikannya?
Bicara bagaimana mandinya, sebetulnya nanti akan dibahas dalam perihal kewajiban terhadap mayit, ada di bagian akhir bab shalat. Karena itu, di sini singkat saja untuk menjawabnya… Pertama, perihal mayat yang dimutilasi, maka jika memungkinkan mayat disatukan bagian-bagian yang termutilasi sehingga menjadi kesatuan. Disambung bisa dengan dijahit atau upaya yang lain, bahasanya lufiqa ba’dhuha ila ba’dhin. Dan jika tidak ada halangan untuk memandikan, yaitu terlepas atau terkelupasnya bagian dari tubuh mayit, maka tetap dimandikan setiap bagian itu, meskipun bagian itu kecil ukurannya, misalnya giginya. Namun, jika dimandikan menjadikan tubuh mayit itu rusak atau lepas, maka bisa diganti dengan tayammum, di antaranya mayit yang terbakar atau sudah hancur karena zat-zat tertentu, atau memang lama baru ditemukan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 2, h. 463) f0634-al2bfiqh2bal2bislam2bwa2badillatuhu
Pilihan tayammum termasuk bagi mayit korban kecelakaan, yang mengalami kerusakan berat, dan jika dimandikan akan merusak bagian tubuhnya, maka ditayammumi. Jika sudah, dan bila sulit disatukan dengan dijahit atau upaya yang lain, maka dikumpulkan dalam satu kafan, itu sudah mencukupi.
Pertanyaannya menarik, bagaimana dengan hasil amputasi? Artinya ada orang yang karena pertimbangan medis bagian tubuhnya dipotong.
Dalam hal ini, yang harus diingat adalah hal yang mewajibkan mandi adalah al-maut atau kematian. Inilah yang menyebabkan seseorang berhadast besar, sehingga wajib mandi atau tepatnya dimandikan. Karena itu, jika yang ditemukan adalah bagian tubuh manusia yang masih hidup, tentu perlakuannya berbeda. Seperti halnya gigi. Kalau berasal dari gigi orang mati, maka perlakuannya seperti pada orang mati, yaitu dimandikan, dishalati, dikafani, dan dimandikan. Ini didasarkan pada praktek para sahabat, di antaranya Umar bin Khattab yang bahkan menshalati tulang-tulang muslim yang ditemuinya. Atau sahabat lain menshalati beberapa kepala korban perang. Atau beberapa sahabat yang menshalati bagian tangan Abdurrahman bin ‘Uttab, korban perang Jamal, yang dijatuhkan oleh burung. inilah pendapat Syafii dan Hambali. Meskipun Maliki misalnya mensyaratkan bagian tubuh itu minimal sepertiga jasad. Sedangkan jika gigi itu tanggal dari mulut kita (seperti pengalaman waktu kecil), maka tidak ada kewajiban sebagaimana bagian tubuh orang meninggal. Biasanya kita cukup membersihkan dan menguburkannya. Nah, bagian yang teramputasi, sama perlakukannya dengan gigi kita yang tanggal itu (Al-Mausu’ah AL-Fiqhiyyah, juz 38, h. 423)
 Bagaimana dengan bayi yang keguguran baru 4 bulan? Ada keterangan dalam Kifayatul Akhyar, h. 196 640db-kifayatul2bakhyarbahwa ternyata ada dua mayit yang tidak dimandikan dan dishalati yaitu orang yang mati syahid dalam perang dan bayi keguguran yang tidak bergerak (maksudnya tidak diketahui akan kehidupannya). Karena itu yang menjadi patokan adalah ada atau tidaknya kehidupan sebelum bayi itu meninggal. Tandanya adalah bayi itu bersuara atau bergerak, matanya melek, atau meminum sus, maka ia diperlakukan sebagaimana orang dewasa, yaitu dari dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan
Lebih jauh jika dikaitkan dengan usia kandungan, maka jika di bawah umur 4 bulan atau pun pas umur 4 bulan, dan memang usia itu belum ada kehidupan dan faktanya tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka jika meninggal cukup dikafani dan dikuburkan. Tetapi jika usia janin adalah 6 bulan ke atas, maka menurut Imam Ramli, wajib diperlakukan komplit, dr dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan (Al-Mausu’ah Alfiqhiyyah, juz 16, h. 123) 3915d-al-mausuahal-fiqhiyah-cover 
 Pertanyaan, bagaimana hukumnya minum susu istri, apakah menyebabkan seseorang menjadi mahram radha’ bagi istrinya?
Memang di sini perlu hati-hati, sebab minum susu dari seorang perempuan dengan syarat-syarat tertentu dapat menjadikan seseorang bermahram dengannya, sehingga haram untuk menikah. Di antara syaratnya adalah jika menyusu kepada perempuan itu minimal telah dilakukan selama 5 kali, maka menyebabkannya menjadi mahram. Namun, yang terpenting, sesuai pertanyaan di atas, ada syarat kedua, yaitu orang yang menyusu itu usianya di bawah 2 tahun, artinya masih bayi. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat Ad-Daraquthni, “Tidak ada (mahram) radha’ kecuali bagi yang berumur dua tahun.” Karena itu, jika ada seseorang, karena memang ada kesempatan meminum susu istrinya, bahkan hingga lebih 5 kali, maka tidak menyebabkannya menjadi mahram radha’ bagi istrinya, karena ia sudah masuk kategori di atas dua tahun. Kecuali jika lelaki itu dinikahkan saat berumur di bawah 2 tahun dengan perempuan yang sedang menyusui. Maka jika ia meminum susu dari perempuan itu lebih dari 5 kali, maka batallah pernikahannya. (kifayatul Akhyar), h. 518. 
Wallahu A'lam Bis Showaab.

Rabu, 16 November 2016

HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI 1

 Oleh Ustadzuna Fathuri Ahza Mumthaza.

As-salamu’alaikum wr wb… Alhamdulillahi rabbbil ‘alamin wash-shalaatu wassalaamu ‘ala asyrafil anbiyaai wal mursalin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in amma ba’du… Pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama’ah sekalian, Di Rabu pagi yang cerah ini mohon izin untuk memulai pengajian online, mengkaji kitab At-Tadzhib, syarah Matnu Ghayah wat Taqrib…
Untuk itu, agar dimudahkan dan dilancarkan, mohon kiranya untuk bersama-sama membaca Ummul Qur’an, surat Al-Fatihah AlFaatihah…   

   Bismillahirrahmanirrahim…
Fasal Tentang Hal-hal yang mewjibkan mandi . Adapun hal-hal yang mewajibkan MANDI itu ada 6 perkara. Tiga di antaranya terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Yaitu:
Pertama, bertemunya dua alat khitan. Yang dimaksudkan di sini adalah terjadi hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Di sini batas minimalnya adalah masuknya khasyafah atau kepala farji laki-laki ke dalam farji perempuan. Tidak harus masuk seluruhnya. Jika sudah demikian, maka orang tersebut harus mandi.
Hal ini didasarkan kepada hadist riwayat Bukhari Muslim  إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ , “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan perempuan, lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” Empat anggota badan ini adalah bentuk kinayah yang maksudnya adalah paha dan pangkalnya.Dalam Al-Iqna, Juz 1, h. 175 bahwa farji di sini tidak selalu harus milik perempuan. Karena itu jika seseorang memasukkan kelaminnya ke farji atau kelamin hewan atau dubur, baik dubur perempuan/laki-laki, maka hukumnya sama, yaitu mewajibkannya mandi.
  Dalam Al-Iqna, Juz 1, h. 175 dikatakan bahwa untuk batasan minimal kelamin perempuan adalah di atas tempat keluarnya air kencing (urethra). Jika kelamin laki-laki sudah menyentuh bagian ini, maka bagi perempuan wajib mandi. Sedangkan bagi laki-laki sebatas kepala dzakar masuk ke dalam kelamin perempuan, maka ia sudah diwajibkan mandi. Tidak harus seluruh kelamin masuk ke dalam farji perempuan. Selain itu farji yang dimaksud di sini tidak terbatas farji atau kelamin perempuan. Hal yang sama berlaku jika seseorang memasukkan kelaminnya ke kelamin hewan atau ke dubur baik laki-laki maupun perempuan, maka wajib baginya mandi.
Demikian pula jika dzakar laki-laki menggunakan penutup (hail) atau kalau sekarang disebut dengan kondom, maka hukumnya sama, tidak ada perbedaan. Termasuk di dalamnya, selain mewajibkan mandi, adalah hal yang demikian membatalkan puasa dan haji. (AL-Iqna, juz 1, h. 176).
Kedua, yang mewajibkan mandi adalah keluarnya air mani, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun ciri khas mani bagi keduanya adalah keluar disertai kenikmatan atau syahwat dan memancar (terutama jika banyak. Kalau sedikit, airnya merembes keluar). Karena itu bagi laki-laki dan perempuan yang masih gadis (bikr, keluar mani karena mimpi), maka disyaratkan air maninya memancar keluar. Sedangkan bagi perempuan yang sudah pernah berhubungan badan (tsayyib), maka cukup merembesnya air mani. Inilah yang mewajibkan mandi. Sedangkan air mani yang keluar dari farji perempuan setelah mandi, karena sisa dari berhubungan badan sebelumnya, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi mandinya lagi (Al-Iqna, juz 1, h. 177-178).
Ketiga, kematian, yaitu kematian bukan syahid. Karena itu sudah tugas sesama muslim yang masih hidup untuk memandikan saudaranya yang meninggal.
BERSAMBUNG...

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...