Kamis, 01 Desember 2016

TAYAMMUM

 Oleh Ustadzuna Fathury Ahza Mumthaza
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillah alladzi hadana wama kunna lanahtadiya laula an hadanallah... Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama'ah semua, mohon izin memulai Pengajian Online pada hari ini, mudah-mudahan dimudahkan dalam memahami dan melaksanakannya... Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca Surat Al-Fatihah. Mudah-mudahan dengan membaca surat yang menjadi induk dari Al-Qur'an ini kita selalu ditunjukkan kepada jalan yang benar... Al-faatihah.. 
 Hari ini masih bab Thaharah dalam Fasal tentang Tayammum

     Ada 5 syarat tayammum boleh dilakukan:
1. Adanya udzur menggunakan air, sebab safar/bepergian atau sakit. Dasarnya adalah surat Al-Maidah ayat 3.

2. Telah masuknya waktu shalat. Artinya, jika belum masuk waktu shalat, meski tidak ada air, maka belum dibolehkan tayammum
3. Telah dilakukan pencarian air, dan memang tidak ditemukan
4. Ada penghalang dalam menggunakannya. Di antaranya, ada air tetapi ada di jurang yang mesti dekat, tapi sulit menjangkaunya. Atau posisi air tidak jauh, tapi ada binatang buas yang menjaganya. Atau bisa juga ada air tetapi harus membeli dengan harga yang mahal
5. Debu yang akan digunakan tayammum, adalah debu halus yang suci, yang tidak tercampur kapur atau pasir (At-Tadzhib, h. 26-27)


 Sekaligus menjawab pertanyaan perihal debu yang digunakan. Dalam Bidayatul Mujtahid, Juz1, h. 148 dijelaskan uraian ulama sekitar benda-benda yang digunakan untuk tayammum. Dasar keterangan benda yang digunakan dalam tayammum adalah Al-Maidah ayat 6, yaitu menggunakan kata "sha'idan thayyiban"



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦


6.[1] Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub[3] maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu...


Kata sha'idan ini masuk kategori kata musytarak atau kata yang memiliki tidak hanya satu makna, tetapi beberapa makna. Karena itulah sebenarnya di kalangan ulama mereka berbeda penjelasannya. Menurut Maliki, yang dimaksud dengan sha'idan adalah segala sesuatu yang berada di permukaan bumi, atau ma sha'ida ai ma dhahara min ajza'il ardhi. Jadi tidak hanya debu, tapi juga bisa rumput atau salju. Sedangkan Hanafi menegaskan bahwa sha'idan maksudnya adalah apa-apa yang keluar dari bumi, termasuk di dalamnya debu, kerikil,dan  pasir.

Namun pendapat jumhur menegaskan bahwa yang boleh digunakan untuk bersuci, menurut Syafi'i, Hambali dan ulama-ualama lain sha'idan artinya adalah debu. Jika ada orang tayammum menggunakan bena lain, maka tidak sah. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 148, Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 146-147). Karena itulah debu di sini tidak harus dari tanah lapang bisa juga dari tembok, kaca, bahkan Imam Ahmad bin Hambal membolehkan dari debu di kain dan rambut. 

Jadi, jika melihat keterangan ini, sebersih-bersihnya ruangan di rumah sakit, mesti ada bagian yang berdebu dan bisa digunakan untuk tayammum. Termasuk di pinggiran lemari dan benda-benda lain.
Keterangannya berbeda, jika ada orang yang tidak bisa menggunakan air dan juga debu. Ini yang disebut dengan faqiduth thahuraini. Artinya, secara medis, misalnya ia tidak diizinkan terkena air dan debu. Atau setelah mencari ke mana-mana tidak ada air dan debu. Maka dalam hal ini ulama menegaskan, orang itu wajib shalat tanpa wudlu dan tayammum terlebih dahulu, dengan shalat yang sempurna, baik pekerjaan maupun bacaannya. Kecuali jika ia junub, maka ia semua dijerkajakan kecuali membaca Al-Qur'an. Dan wajib hukumnya untuk mengulangi shalat-shalat itu tatkala tidak ada halangan di dalam menggunakan air atau debu atau telah menemukan keduanya.

Hal ini dilakukan untuk menjaga seseorang agar tetap khusyuk dan khudhu' kepada Allah dalam segala keadaan (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 151-152)


 Bagaimana jika sudah terbiasa memiliki wudlu atau istilahnya dawaamul wudlu, apakah juga boleh tayammum?

 Perlu diketahui bahwa tayammum terbagi dua. Ada yang disebut tayammum fardlu, ada pula tayammum sunnah atau mandub. Tayammum fardlu adalah tayammum yang dilaksanakan ketika akan melaksanakan shalat. Ini hanya berlaku untuk satu shalat fardlu, beberapa shalat sunnah, dan ibadah sunnah yang lain.

Kedua, tayammum sunnah adalah tayammum yang dimaksudkan untuk dibolehkan untuk melakukan hal-hal yang sunnah. Misalnya membaca Al-Qur'an, membawa mushaf Al-Qur'an, shalat sunnah dst. (Al-Fiqh 'aa Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 138)

Dari keterangan ini jelas bahwa bagi yang terbiasa wudlu, maka sebagai gantinya ketika ada udzur menggunakan air, maka dibolehkan tayammum. Bagaimana niatnya? Niatkan saja untuk tayammum. Artinya dimutlakan niat tayamumm, biar dimungkinkan melakukan semua kesunnahan. Wallahu a'lam bish-shawaab



 

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...