Kamis, 18 Agustus 2016

QURBAN 1

 Nara Sumber : Ustdzuna Fathury Ahza Mumthaza.

Assalamu'alaikum Wr Wb... Alhamdulillahirabil'alamiin wash-shalaatu was-salaamu 'ala asyrafil ambiyai wal mursalin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'iin...
  Alhamdulillah bertepatan dengan 17 Agustus, hari ini, kita akan melanjutkan pengajian online dengan tema khusus, yaitu tentang qurban.... Mohon izin kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jamaah sekalian untuk memulai
  Oleh karena itu, mohon kiranya untuk bersama-sama membaca Surat Al-Faatihah, agar yang kita pelajari hari ini dibukakan pikiran dan hati kita agar dapat memahaminya dengan baik dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari... Al-faatihah...
Bismillahirrahmanirrahim... Pembahasan mengenai qurban bisa dilihat di halaman 241 kitab At-Tadzhib. Fasal Tentang Udhhiyyah atau sembelihan. Udhhiyyah diartikan sebagai hewan yang disembelih, baik itu berupa unta, sapi, domba, maupun kambing di hari Idul Adha (dan hari Tasyriq), dengan tujuan mendekat kepada Allah SWT. Udhiyyah sendiri terambil dari kata adh-dhahwah, yang berarti waktu dhuha.
  Adapun hukum udhiyyah atau qurban itu sunnah muakkadah, atau sunnah yang sangat dianjurkan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar ayat 2, "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." Demikian pula dalam satu hadist Bukhari Muslim diriwayatkan dari Anas, "“Bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.”
  Selain dari Al-Qur'an ini, qurban juga ditetapkan hukumnya oleh Ijma' shahabat dan ulama akan pensyariatannya, meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melaksanakannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, 597). Adapun waktu pertama kali disyariatkan adalah pada tahun kedua hijriyah, sama dengan disyariatkannya shalat 2 'Id, zakat mal, dan zakat fitrah.(Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
 Keterangan lain disebutkan dari madzhab Hanafi, bahwa hukum qurban adalah sunnah 'ain muakkadah, yang artinya orang yang meninggalkannya atau tidak melakukannya tidak disiksa di neraka, tetapi tidak akan mendapat syafa'at dari Nabi Muhammad SAW, karena itulah Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa qurban wajib hukumnya. Sedangkan Madzhab Syafi'i mendetailkan bahwa hukum qurban itu sunnah 'ain bagi setiap muslim, artinya sunnah bagi setiap individu. Namun, bagi keluarga, maka hukumnya sunnah kifayah, artinya jika ada salah satu sudah melakukannya, maka yang lain gugur dari kesunnahan tersebut pada waktu itu. Tetapi pada waktu berikutnya kesunnahan tetap ada bagi setiap anggota keluarga lainnya. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).



Pertama, terkait kriteria orang yang qurban dan jumlah mudhahhi atau orang yang qurban.
Syarat pertama bagi orang yang berqurban, ulama sepakat yaitu al-qudrah atau mampu. Di sini dalam penjelasannya ulama sedikit berbeda penekanannya. Pertama, bagi ulama Hanafi bahwa yang dimaksud mampu adalah orang yang saat itu memiliki kemampuan 200 dirham atau uang perak. Ini sebenarnya senilai dengan nishab zakat mal. Kedua, Syafi'i lebih ringan yaitu, jika mudhahhi memiliki harta untuk memnuhi kebutuhan hari Idul Adha bagi dirinya dan keluarga, dan memiliki kelebihan untuk membeli seharga hewan qurban. Sedangkan Maliki dan Hambali lebih ringan lagi, yaitu siapa yang mampu membeli seharga hewan qurban itu, meski dengan berhutang. Yang penting diperkirakan ia mampu tanpa kesulitan untuk membayarnya nanti (AL-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 600, Al-Fiqh 'Ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 644, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 80).

Disini jelas bahwa meski dengan berhutang pun dibolehkan untuk berqurban, asalkan diperkirakan tanpa adanya kesulitan bahwa mudhahhi mampu untuk membayarya. Yang jelas, prinsip yang lain, yaitu yang disebut dengan 'adamul isytiraki fi tsamanil udhhiyyah, maksudnya hewan qurban tidak dimiliki atau dibeli secara berjama'ah atau banyak orang kecuali untuk sapi dan unta, di mana maksimal hasil dari patungan 7 orang atau kurang daripada itu (6 orang, 5 orang atau sebawahnya). Sederhananya, sebagaimana selama ini dipraktekkan, yaitu bahwa untuk kambing adalah milik satu orang, sedangkan sapi atau unta adalah milik 7 orang atau kurang. (AL-Fiqh AL-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 602). Karena itu, dikatakan bahwa jika orang yang qurban untuk kambing lebih dari satu orang, atau untuk sapi dan unta lebih dari tujuh orang, maka tidak sah hukumnya. (Al-Fiqh 'Ala madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 648). Karena itu, patungan RT untuk qurban, itu tidak sah hukumnya
Tetapi, jangan buru-buru membatalkan tradisi yang baik di RT. Ada solusi agar tetap bisa dilaksanakan arisan qurban ini. Bagaimana caranya? Yaitu dengan cara ditentukan di awal siapa yang menjadi pemilik dari kambing (1 orang) atau sapi & unta (7 orang). Setelah ditentukan, maka yang lain niat mengikhlaskan untuk memberikan hewan qurban itu bagi nama yang dimaksud. Nah, baru ketika hewan qurban disembelih, mudhahhi atau orang yang qurban meniatkan bahwa qurban yang disembelih pahalanya dibagi kepada warga RT. Sebab isytirak atau bersekutu dalam pahala dibolehkan oleh ulama.
Karena itu, untuk lebih detailnya, berikut detail syarat qurban. 1. Syarat bagi hewan qurban. Paling tidak ada tiga syarat. Pertama, hewan qurban itu adalah binatang ternak, baik itu domba, kambing, sapi, maupun unta. Selain daripada hewan-hewan ini, maka tidak dibolehkan, meskipun misalnya makanan yang umum dikonsumsi di wilayah itu adalah burung, maka ini tidak dibolehkan. Di dalam syarat ini juga termasuk aturan mengenai bahwa kambing/domba adalah untuk satu orang, sedangkan unta/sapi untuk maksimal 7 orang. Hal ini didasarkan pada hadist, "Kami pernah berkurban (melakukan nahr atau penyembelihan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah, yaitu kami berkurban untuk unta dengan patungan tujuh orang. Sedangkan sapi untuk patungan tujuh orang.” Hadist ini diriwayatkan oleh Ali bin ABi Thalib, Ibnu Umar, Aisyah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas. Dari Tabi'in dan ulama juga menegaskan hal yang sama, yaitu 'Atha', Salim, Thawus, Hasan Al-Basri, Al-Auzai, Ats-Tsauri, Abu Tsur, dan masih banyak ahli ilmi, termasuk ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali. Sedangkan ada riwayat lain dari Ibnu Amr, yaitu "Tidak mencukupi satu nafs (satu qurban) untuk tujuh orang (Al-Mughni Ibni Qudamah)." Dalil ini yang dipegang oleh madzhab Maliki yang mengatakana bahwa baik kambing, sapi, maupun unta hanya bisa dikeluarkan oleh satu orang pemilik. Artinya, yang qurban harus satu orang. Tetapi nanti pahalanya dibolehkan oleh mudhahhi diniatkan pula untuk orang tuanya, anaknya, atau orang lain. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 82).


Dasar inilah, yang sebelumnya kami sampaikan berkaitan dengan qurban RT. Artinya, agar dibolehkan model qurban seperti ini, maka yang iuran diwajibkan meniatkan iurannya diberikan kepada orang-orang yang dpilih sebelumnya. Baru nanti saat penyembelihan, orang2 yang dipilih meniatkan pahalanya bagi orang RT. Mengapa, demikian? Penjelasan hal ini akan disampaikan pada syarat-syarat mudhahhi nanti.
Syarat kedua hewan qurban adalah, masing-masing telah mencapai umur untu qurban. Yaitu,
- Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
- Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
- Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.
  
Ketiga, hewan qurban tidak catat fisiknya, baik itu juling matanya, sakit, kurus parah, atau pincang (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 81-89).
Selanjutnya syarat bagi orang yang berqurban. Pertama, adalah niat. Niat yang yang harus ditetapkan oleh mudhahhi adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, makanya penyembelihan ini biasa disebut qurban, karena niatnya memang demikian. Karena itu, jika niat untuk dagingnya, atau hal-hal lain, maka itu tidak dibolehkan, dan qurbannya tidak sah. Kedua, niat itu diniatkan ketika membeli atau ketika (kalau di Indonesia) menyerahkan hewan qurban pada panitia. Tidak harus saat penyembelihan. Ketiga, Tidak boleh berbeda-beda dalam niat, bagi yang qurban sapi/unta. Maksudnya, misalnya ada 7 orang qurban 1 sapi, yang satu niat untuk Allah, sementara yang lain niat untuk memperoleh dagingnya dst. Demikian juga tidak boleh isytirak dalam kepemilikan hewan qurban, yaitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, satu kambing ternyata dimiliki beberapa orang, atau dibeli atas patungan beberapa orang. Ini juga tidak dibolehkan (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 90).

Pertanyaan kedua, bagaimana kalau belum aqiqah, apakah boleh qurban?
Pertama, yang perlu dipahami terlebih dahulu soal aqiqah, baik hukumnya, dan bagaimana detail dalam pelaksanaannya. Pertama, hukum aqiqah, kalau menilik berbagai pendapat ulama, ia tidak sampai ada yang mengatakan wajib, sebagaimana qurban. Madzhab Hanafi hanya menghukumi boleh saja, tidak sampai sunnah. Maliki menyebut mandub atau sunah, sedangkan Syafi'i dan Hambali menegaskan hukum Aqiqah adalah sunnah muakkadah.
Adapun dasar bahwa hukum aqiqah sunnah muakkadah adalah hadist riwayat Tirmidzi yang berpredikat hasan shahih, yang berbunyi, "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, hingga disembelih aqiqah itu pada hari yang ke tujuh. (Lihat Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 636 dan Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 276-277). Di sini ternyata ulama menyebut siapa yang dikenai hukum ini dan batas waktunya. Yaitu bahwa kesunnahan melaksanakan aqiqah ini adalah berlaku bagi Sang Ayah, di mana ia adalah orang yang memberi nafkah bagi anak yang dilahirkan. Di sini ulama sepakat, ayahlah yang dikenai anjuran aqiqah ini.
Lalu bagaimana soal waktu disunnahkan aqiqah dan sampai kapan?
Soal waktu ini, menarik kiranya dibahas makna aqiqah dari sisi bahasa, sebab ternyata bahasan soal aqiqah di Ensiklopedi Fiqh jatuh setelah pembahasan aqiq, alias batu akik, seperti yang kita kenal. Hanya ditambah dengan ta' marbuthah saja, menjadi aqiqah. Makna aqiqah secara bahasa, pertama adalah MANIK-MANIK berwarna merah dari jenis batu mulia (akik). Kadang juga disematkan untuk batu yang berwarna kuning atau putih. Kedua, makna aqiqah adalah sebutan untuk RAMBUT BAYI manusia atau binatang, yang tumbuh di dalam kandungan. Ketiga, sebutan untuk HEWAN YANG DISEMBELIH untuk anak saat dicukur rambutnya. (Al-Mausu'ah, juz 30, h. 276) .
  
Dari makna bahasa yang terakhir inilah kita memulai bahasan berkaitan waktu pelaksanaan aqiqah. Yaitu bahwa ulama sepakat bahwa waktu terbaik pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh dari kelahiran sang bayi. Namun, lebih detail Syafi'i dan Hambali menjelaskan bahwa kesunnahan aqiqah dimulai sejak bayi keluar dari rahim ibunya. Sebaliknya jika dilaksanakan, sebelum anak lahir, maka itu belum dibolehkan.
Menurut Maliki, kesunahan aqiqah ini hanya berlaku hingga hari ketujuh usia anak. Namun, menurut Syafi'i dan Hambali masih disunnahkan, bahkan hingga anak baligh dan dewasa, ia masih dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah hanya saja beban tanggung jawabnya pindah dari ayah pada dirinya sendiri, sebab tidak ada batas waktu akhir dalam pelaksanaan aqiqah. (Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 268).
Karena itu, sesuai pertanyaan, bagaimana kalau belum aqiqah, lalu qurban? Dua-duanya sunnah bagi setiap individu muslim. Tetapi jika kita sudah dewasa dan mandiri, kesunnahan qurban lebih utama dibanding aqiqah. Karena itu, jika disuruh memilih mana yang lebih didahulukan, maka jika belum qurban, maka berqurbanlah terlebih dahulu, baru kita melaksanakan aqiqah. Namun, ada solusi yang bisa dipilih, diberikan Imam Ramli, yaitu bahwa seseorang diperbolehkan, sembari berqurban, dibarengkan niatnya dengan aqiqah (Lihat Qutul Habibil Gharib Syarah Fathul Qariib, h. 275). Artinya, dibolehkan niatnya dobel, dengan hewan yang sama.
 Apakah boleh qurban dengan kerbau?
 Keterangan soal sapi bisa dilihat dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyyah, juz 8, h. 158, yaitu baqarun atau sapi digunakan untuk menyebut hewan jenis ini, baik yang jinak maupun liar, baik yang jantan maupun betina, dengan bentuk jamak baqaraatun. Dan di sini ulama fiqh menyamakan antara baqarun dengan jaamus atau kerbau dari sisi hukumnya. Artinya, kerbau dianggap sejenis sapi oleh ulama, karena itu hukum qurban dengan kerbau dibolehkan, di mana nilainya sama dengan sapi. Hal ini sama dengan ghanam (domba), yang umum di kalangan Arab, dan dianggap sejenis ma'az (kambing bandot).
Bagaimana aqiqah untuk yang sudah almarhum? 
 Di sini ada dua pembagian, sang almarhum meninggal saat bayi atau sudah baligh atau dewasa. Menurut Syafi'i, jika anak meninggal sebelum usia tujuh hari, maka ia tetap disunnahkan untuk di-aqiqahi oleh orang tuanya. Meskipun ada pendapat lain, dikemukakan oleh Hasan Al-Basri dan Malik bin Anas, hal itu tidak disunnahkan (AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 277. Sedangkan jika almarhum meninggal saat dewasa, misalnya bagi anak, yang ingin meng-aqiqahi orang tuanya, maka dibolehkan, disamakan dengan qurban bagi orang tua yang telah meninggal. Sebagaimana yang dilakukan sahabat Ali yang berqurban untuk drinya juga Rasulallah (Syamsuddin As-Sarbini, Mughnil Muhtaj, juz 4, h. 390).
Namun demikian, lebih tepatnya adalah niat saja shadaqah untuk mayit, terutama orang tua, di mana di sini tidak ada batasan jumlah dan waktunya, dan sangat dianjurkan berdasarkan hadist shahih, Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya)". Hadist ini sangat Masyhur, karena diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dst, sehingga sangat kuat untuk diamalkan.
BERSAMBUNG...
 


GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...