Kamis, 20 Agustus 2015

Raih Kemuliaan dengan Berbakti pada Orangtua


BERBAKTI kepada keduanya merupakan perintah utama ajaran Islam. Allah Ta’ala sampai mengulang-ulang perintah ini di dalam Al-Qur’an setelah perintah mentauhidkan-Nya:

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmu.” (An-Nisa [4]: 36).

Pada ayat yang lain juga Allah Ta’alategaskan. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra` [17]: 23).

Dari dua ayat di atas, kita dapat pahami bahwa birrul walidain (berbakti kepada ibu dan bapak) adalah perkara utama. Berbakti kepada kedua orangtua bisa diwujudkan dengan cara senantiasa mengasihi, menyayangi, mendoakan, taat dan patuh, melakukan hal-hal yang membahagiakan hati serta menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh mereka. Inilah yang dimaksud dengan birrul walidain.

Karena berbakti kepada ibu dan bapak adalah perintah utama, maka hukumnya jelas, berbaktinya seorang anak kepada Orangtuanya adalah hak yang Allah berikan kepada ibu dan bapaknya. Jadi, manakala ada seorang anak yang tidak berbakti kepada ibu bapaknya, maka baginyaadalah dosa besar, meskipun alasan tidak berbaktinya itu karena dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala.

Suatu ketika datang seseorang lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya ingin ikut berjihad, tapi saya tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Thabrani).

Dalam hadits lain disebutkan, “Bersimpuhlah kau di kakinya (orangtuamu), di sana terdapat surga.”

Boleh Tidak Taat Dalam Hal Kemusyrikan

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya hanya membolehkan seorang anak tidak taat kepada ibu bapaknya dalam hal kemusyrikan dan kemaksiatan. Tetapi perintah berbakti kepada ibu bapak ini tetap berlaku sekalipun orangtua dalam kondisi musyrik. Sekalipun Allah Ta’ala memberikan ketetapan bahwa tidak wajib hukumnya taat kepada Orangtua dalam hal kemusyrikan. Tetapi, berbakti kepada keduanya, tetap sebuah kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS: Lukman [31]: 15).

Suatu riwayat menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan peristiwa yang dialami seorang sahabat bernama Sa’ad bin Abi Waqashradhiyallahu ‘anhu. Ketika Sa’ad masuk Islam, ibunya tidak setuju, bahkan mengancam untuk tidak makan tidak minum hingga Sa’ad melepaskan keimanannya. Ancaman itu ternyata benar-benar dilakukan oleh sang ibu, hingga kesehatan ibunya menurun dan berada dalam kondisi kritis.

Pada saat kritis seperti itu, Saad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhuberkata dengan lembut kepada ibunya, “Ketahuilah wahai Ibu, demi Allah, seandainyaIbu mempunyai seratus nyawa dan nyawa itu keluar satu persatu dari tubuh Ibu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agama ini, walau apa pun yang terjadi. Aku tidak akan peduli dengan segala ancaman Ibu!”

Dengan demikian dapat dipahami secara keseluruhan bahwa berbakti kepada ibu bapak adalah kewajiban utama seorang anak setelah menunaikan kewajiban utamanya kepada Allah Ta’ala. Seorang anak hanya boleh tidak taat kepada orangtua bila mereka mengajak kepada kemusyrikan dan kemaksiatan. Namun berbakti dan berbuat ma’ruf kepada keduanya tetaplah satu kewajiban.

Keutamaan Berbakti Kepada Orangtua

Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhupernahbertanya kepada Rasulullah tentang perbuatan apa yang paling disenangi oleh Allah.

Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua ibu bapak.”

Lalu dia bertanya kembali, “Kemudian apalagi ya Rasulullah.”

Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.”

Artinya, siapa berbakti kepada Orangtuanya dengan sebaik-baiknya, maka jelas surga ada di hadapannya. Betapa tidak?
Lihatlah, hadits ini menunjukkan berbakti kepada orangtua lebih utama nilainya daripada jihad fii sabilillah (berjihad/berperang di jalan Allah). Sementara kita tahu, jihad fii sabilillahadalah jalan pintas menuju surga-Nya. Maka tentu saja berbakti kepada orangtua akan mendapat balasan surga yang lebih baik.

Perlu diketahui pula, kemuliaan untuk orang yang berbakti kepada orangtuanya tidak hanya saja diberikan kelak di akhirat, namun juga sudah ditampakkan sejak di dunia. Hal ini bisa dilihat dari kisah Uwais Al-Qarni, seorang Muslim dari Yaman yang sangat taat dan berbakti kepada ibunya.

Uwais belum pernah berjumpa dengan Rasulullah, namun karena begitu berbaktinya dia kepada orangtuanya, sehingga Allah mencintai dia, dan kecintaan kemuliaan Uwais sampai ke telinga Rasulullah. Tapi suatu saat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertutur bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang ke negeri ini Uwais Al-Qarni, dari desa atau kabilah Murad dan Qaran. Semula ia terkena penyakit belang, lalu sembuh. Ia sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya. Kalau bersumpah dan berdoa kepada Allah pasti dikabulkan. Jika kalian mau, mohonlah kepadanya, agar ia memintakan ampun buat kalian.” (HR. Muslim).

Bayangkan, sahabat sekelas Umar diberikan anjuran untuk memuliakan seorang Uwais Al-Qarni. Seorang Muslim yang belum pernah beliau temui dan belum pernah sekalipun turun ke medan jihad. Tetapi, inilah satu bukti bahwa siapa yang benar-benar berbakti kepada ibu bapaknya, kemuliaan adalah pakaian yang layak disandangnya.

Secara logika, boleh jadi kita tidak disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Uwais telah disebutkan dihadapan para sahabat utama sebab Rasulullah telah meninggalkan kehidupan fana ini. Tetapi, bukan tidak mungkin Allah Ta’ala akan mencatat siapa saja yang berbakti kepada Orangtuanya sebagai seorang Muslim yang dibanggakan di hadapan para malaikat-Nya, Insya Allah.

Dengan demikian sungguh indah balasan atau keutamaan dari berbakti kepada kedua Orangtua. Sayangnya, banyak manusia yang melalaikannya. Padahal, ridha Allah Ta’ala ada pada ridha ibu dan bapak. “Keridhaan Allah seiring dengan/dalam keridhaan ibu bapak, dan kemurkaan-Nya seiring dengan/dalam kemarahan ibu bapak.” (HR. Turmudzi).

Jadi, berbaktilah kepada Orangtua dengan sebaik-baiknya. Niscaya ridha Allah Ta’ala adalah balasan utamanya. Paling tidak, jangan pernah sampai lupa untuk mendoakan keduanya kala kita berdoa(QS. 17: 24).Wallahua’lam.*/ Imam Nawawi, diambil dari al-Qalam

Rep: Imam Nawawi

Atheis bertanya "Siapa yang menciptakan Allah?" Pemuda Ini Menjawab hingga Atheis tak berkutik


Ada seorang Atheis yg memasuki sebuah masjid, dia mengajukan 3 pertanyaan yg hanya boleh dijawab dengan akal. Artinya tidak boleh dijawab dengan dalil, karena dalil itu hanya dipercaya oleh pengikutnya, jika menggunakan dalil (naqli) maka justru diskusi ini tidak akan menghasilkan apa-apa...

Pertanyaan atheis itu adalah:

1. Siapa yg menciptakan Allah?? Bukankah semua yg ada di dunia ada karena ada penciptanya?? Bagaimana mungkin Allah ada jika tidak ada penciptanya??

2. Bagaimana caranya manusia bisa makan dan minum tanpa buang air?? Bukankah itu janji Allah di Syurga?? Jangan pakai dalil, tapi pakai akal....

3. Ini pertanyaan ketiga, kalau iblis itu terbuat dari Api, lalu bagaimana bisa Allah menyiksanya di dalam neraka?? Bukankah neraka juga dari api??

Tidak ada satupun jamaah yg bisa menjawab, kecuali seorang pemuda.

Pemuda itu menjawab satu per satu pertanyaan sang atheis :

1. Apakah engkau tahu, dari angka berapakah angka 1 itu berasal?? Sebagaimana angka 2 adalah 1+1 atau 4 adalah 2+2?? Atheis itu diam membisu..

"Jika kamu tahu bahwa 1 itu adalah bilangan tunggal. Dia bisa mencipta angka lain, tapi dia tidak tercipta dari angka apapun, lalu apa kesulitanmu memahami bahwa Allah itu Zat Maha Tunggal yg Maha mencipta tapi tidak bisa diciptakan??"

2. Saya ingin bertanya kepadamu, apakah kita ketika dalam perut ibu kita semua makan? Apakah kita juga minum? Kalau memang kita makan dan minum, lalu bagaimana kita buang air ketika dalam perut ibu kita dulu?? Jika anda dulu percaya bahwa kita dulu makan dan minum di perut ibu kita dan kita tidak buang air didalamnya, lalu apa kesulitanmu mempercayai bahwa di Syurga kita akan makan dan minum juga tanpa buang air??

3. Pemuda itu menampar sang atheis dengan keras. Sampai sang atheis marah dan kesakitan. Sambil memegang pipinya, sang atheis-pun marah-marah kepada pemuda itu, tapi pemuda itu menjawab : "Tanganku ini terlapisi kulit, tanganku ini dari tanah..dan pipi anda juga terbuat dari kulit dari tanah juga..lalu jika keduanya dari kulit dan tanah, bagaimana anda bisa kesakitan ketika saya tampar?? Bukankah keduanya juga tercipta dari bahan yg sama, sebagaimana Syetan dan Api neraka??

Sang athies itu ketiga kalinya terdiam...

Sahabat, pemuda tadi memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak semua pertanyaan yg terkesan mencela/merendahkan agama kita harus kita hadapi dengan kekerasan. Dia menjawab pertanyaan sang atheis dengan cerdas dan bernas, sehingga sang atheis tidak mampu berkata-kata lagi atas pertanyaannya..

Itulah pemuda yg Islami, pemuda yg berbudi tinggi, berpengtahuan luas, berfikiran bebas...tapi tidak liberal... tetap terbingkai manis dalam indahnya Aqidah...

Ada yg berkata bahwa pemuda itu adalah Imam Abu Hanifah muda. Rahimahullahu Ta'ala...

Wallahu 'alam bissawaab.....

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...