Rabu, 28 Desember 2016

NAJIS DARI HEWAN



USTADZUNA FATHURY AHZA MUMTHAZA

Assalamu ‘alaikum wr wb….Alhamdulillahirabbil’alamin wash shalaatu was salaamu ‘ala asyrafil ambiyai walmursalin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in amma ba’du.
Kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama’ah semua, mohon izin untuk membuka kembali pengajian online pagi ini. Masih membahas fasal-fasal akhir bab Thaharah,dan Insyaa Allah pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab akan disertakan.
Untuk itu mohon perkenannya untuk membacakan Surat Al-Faatihah, mudah-mudahan yang kita pelajari ditancapkan di hati kita masing-masing dan menjadi tambahan pemahaman guna meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT…. Al-Faatihah.a4a16-al2bfatihah
Bismillahirrahmanirrahim
Fasal Najis dari Hewan
Semua hewan saat masih hidup suci hukumnya, kecuali anjing dan babi dan hewan-hewan yang lahir dari keduanya atau salah satunya (melalui proses kawin silang atau yang lainnya.) (At-Tadzhib, h. 30) Artinya tatkala tersentuh tidak menajiskan.at-tadzhib
Di sini sedikit tambahan, bahwa Imam Malik (madzhab Maliki) memiliki pendapat sedikit berbeda terkait kenajisan anjing. Menurutnya anjing itu suci, termasuk air liurnya. Hal ini beliau sandarkan pendapatnya pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 4, “Maka makanlah apa yang ditangkankan untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu…” ((Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 153, Al-Wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119)
f0634-al2bfiqh2bal2bislam2bwa2badillatuhu
Al-Jawarih yang diartikan binatang buas pemburu itu, termasuk di dalamnya anjing, macan, dll. Di sini sesungguhnya jumhur ulama sepakat bahwa binatang yang mati karena gigitan hewan pemburu itu halal dikonsumsi. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait seandainya binatang pemburu itu ikut memakan binatang buruannya, misalnya kijang. Syafi’I menegaskan haram secara mutlak, sedangkan ulama lain menghalalkannya, meskipun yang dimakan dalam jumlah yang banyak (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, h. 32)
ibnu-katsir-per-jilidSementara itu Abu Hanifah menegaskan bahwa anjing bukanlah najis ‘ainiyah, yang sama sekali tidak bisa dimanfaatkan. Sebaliknya, ia bisa digunakan untuk berburu atau penjaga, karena itu yang najis hanyalah area mulutnya, terutama air liurnya ((Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 153, Al-Wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119).
tafsir-al-wasith
Karena itulah jika kita menemukan di Afrika Utara, banyak orang Islam memelihara anjing, maka jangan heran, karena di sana mayoritas madzhabnya Maliki, karena itu dalam kitab-kitab Maliki, misalnya Bidayatul Mujtahid, tidak disinggung secara khusus mengenai anjing, karena ia disamakan dengan hewan yang lain.
Sementara bagi madzhab Syafi’i dan Hambali tegas mengatakan bahwa anjing sama dengan babi didasarkan kepada hadist “Tatakala wadah salah satu dari kalian dijilat anjing, maka basuhlah 7 kali dan salah satunya dengan tanah.” (Hadist shahih riwayat Bukhari, Muslim, Ad-Daruquthni, Kifayatul Akhyar, h. 56).
640db-kifayatul2bakhyar
Syafi’i dan Hambali mengiyaskan najisnya mulut untuk seluruh anggota badan anjing yang lain. Sebab mulut dipahami sebagai bagian dari anjing yang paling bersih, sedangkan bagian lain mudah sekali terkena kotoran dsb. Karena itu, kenajisan anggota badan lain sudah seharusnya lebih najis lagi dibanding bagian mulutnya. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 153-154)
Karena itulah ketika barang-barang kita terjilat anjing dan babi, maka ia harus disucikan dengan dibasuh air 7 kali, dan salah satunya dengan tanah. Imam Syafi’i dan Ahmad, termasuk Imam Adz-Dzahabi membolehkan tanah diganti dengan sabun atau yang sejenisnya (Al_wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119)
Sedangkan untuk najis-najis yang tidak sampai ke tingkat anjing dan babi, yang dikenal dengan najis mughalladzah, maka cukup dibasuh satu kali, dan lebih utama lagi dibasuh sampai tiga kali. Hal ini didasarkan pada keterangan hadist Ibnu Umar, shalat pada mulanya diwajibkan 50 kali, demikian pula mensucikan diri dari junub harus tujuh kali mandi, membersihkan diri dari kencing tujuh kali, karena itulah kemudian Rasulullah tak henti-hentinya meminta keringanan, sehingga shalat dijadikan 5 kali, mandi junub cukup sekali, dan membersihkan kencing cukup sekali (HR Abu Daud, At-Tadzhib, h. 31).
Bangkai yang Halal
Tak bisa dibayangkan sesungguhnya, jika permintaan keringanan dari Rasulullah untuk shalat, mandi junub, dan membersihkan najis ditolak oleh Allah, maka sangat memberatkan jika setiap hari shalat 50 kali, junub harus mandi tujuh kali, dan membersihkan najis harus 7 basuhan.
Di sisi lain, benda najis lain yang masuk kategori najis mutawasithah adalah bangkai, kecuali bangkai ikan dan belalang, serta mayat manusia. Hal ini didasarkan kepada hadist bahwa Rasulullah menegaskan, “Dihalalakan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.” (At-Tadzhib h. 31 & 241)
Sedikit tambahan bahwa Madzhab Hanafi berpendapat semua bangkai adalah najis, termasuk ikan. Jadi tidak ada pengecualian. Hal ini didasarkan kepada keterangan dalam surat Al-Maidah ayat 3, di mana di sana jelas disebutkan bahwa diharamkan bangkai, darah, dan daging babi. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa pertimbangan Hanafi dalam hal ini adalah karena ketentuan hukum dalam Al-Qur’an bersifat pasti, atau dalam Ushul Fiqh-nya disebut Qath’iyud dalalah, sedangkan hadist bersifat dugaan, Dhanniyyud dalalah. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 165)
Meski demikian pendapat Imam Abu Hanifah ini ditepis ulama lain dengan dalil hadist di atas, termasuk hadist lain riwayat Abdillah bin Abi Aufa bahwa ia mengikuti enam atau tujuh perang bersama Rasulullah, dan saat itu mereka makan belalang.
Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam Bish showaab…….
 

Rabu, 21 Desember 2016

MENGHILANGKAN NAJIS





Assalamu’alaikum wr wb…. Alhamdulillahi rabbil’alamin wash shalaatu was salaamu ‘ala asyrafil ambiyai wal mursalin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in… amma ba’du… Pada Yai  Para Ustadz, dan jama’ah semua, mohon izin untuk melanjutkan Pengajian Online pagi ini…. Mudah2an ada manfaat yang bisa dipetik, dan ada pahala yang bisa diraih, serta menjadi sarana kita semua menjadi lebih baik lagi sebagai manusia yang memberi manfaat kepada manusia lainnya, Khairunnaas anfa’uhum linnaas..
Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca Ummul Qur’an, suat Al-Faatihah. Semoga dengan fadhilahnya kita benar-benar selalu ditunjukkan pada jalan yang lurus “Shirathal Mustaqiin”… Alfaatihah…
a4a16-al2bfatihahBismillahirahmanirrahim… Melanjutkan fasal minggu lalu terkait memperlakukan najis.
Fasal Menghilangkan Najis.
Pengertian najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan secara istilah najis adalah kotoran yang mencegah sahnya shalat.
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan bawah (qubul maupun dubur) itu hukumnya najis.(At-Tadzhib, h. 33).
at-tadzhibBaik itu sesuatu yang biasa atau rutin keluar, seperti air kencing atau kotoran. Atau yang tidak rutin, seperti madzi atau wadi. Hal ini berlaku bagi manusia dan semua binatang, baik yang halal dimakan maupun yang tidak.
Madzi sendiri, sebagaimana kita ketahui bersama adalah cairan putih yang lembut, lengket, yang keluar tatkala timbul shahwat meski tidak begitu kuat, terutama ketika bercumbu atau mengkhayal dan berhasrat melakukan hubungan seksual. Terkadang madzi keluar tidak dirasa. Madzi ini terjadi pada laki-laki dan perempuan. Biasanya perempuan lebih banyak keluarnya. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas. (Al-Iqna, juz 1, h. 221, Al-Wasith fi Fiqhil ‘Ibadaat, h. 115.
al-iqna

Wadi dimaknai dengan cairan yang keluar mengiringi ketika kencing atau setelah membawa beban berat. Ini juga terjadi pada laki-laki dan perempuan. “Aisyah mengatakan, “Wadi yang keluar setelah kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari laki-laki maupun perempuan. Kemudian ia cukup berwudlu dan tidak perlu mandi.”(HR Ibnu Mundzir & Ibnu Abi Syaibah, Al-Wasith, h. 114)
tafsir-al-wasith
Mumpung masih suasana Maulid, Asy-Syarbini, penulis Al-Iqna, kemudian menambahkan keterangan bahwa dalam najis ini bagi baginda Nabi Muhammad SAW adalah pengecualian, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Baghawi dan banyak ulama, termasuk Al-Qadhi Iyad. Yaitu bahwa air senin Rasulullah itu tidak najis, sesuai keterangan ada seorang perempuan Habasyah yang meminum air seni Rasulullah. Dan menyaksikan hal yang demikian, Rasulullah bersabda, ‘Api neraka tidak akan mampu membakar perutmu.” Ini hadist Shahih riwayat Imam Ad-Daruquthni
Abu Ja’far At-Tirmidzi menyebutkan bahwa darah Rasulullah juga suci. Berdasarkan hadist, yaitu Abu Thaibah meminum darah Rasulullah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Zubair, yang meminum darah bekas bekam Nabi. Melihat hal ini Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang darahnya bercampur dengan darahku, maka api neraka tidak akan menyentuhnya. (Al-Iqna, juz 1, h. 221-222).
AIR MANI SUCI
Ada pengecualian bagi sesuatu yang keluar dari farji dan dubur, yang semuanya dihukumi najis, yaitu bahwa air mani itu suci hukumnya (At-Tadzhib, 29). Dr Musthafa Dib Al-Bigha kemudian menjelaskan bahwa ini mani suci berlaku bagi manusia dan semua binatang, kecuali anjing dan babi. Artinya hanya dua binatang itulah yang maninya najis.
Dasarnya tentang hal ini ada banyak hadist yang menjadi rujukan. Di antaranya adalah hadist dari Aisyah وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ
“Sungguh aku dahulu menggosoknya (mengeriknya) dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat dengannya” (HR. Muslim, Kifayatul Akhyar, h. 53)
Meski demikian, memang ada ulama lain, di antaraya adalah Hanafi, Maliki dan Ats-Tsauri yang mengatakan bahwa mani itu najis. Ini sekedar tambahan keterangan saja. Sebab yang kuat adalah pendapat yang menegaskan mani itu suci.
Kemudian timbul pertanyaan  barang yang dzatnya suci, yang keluar dari qubul dan dubur, bagaimana memanfaatkannya?
Apa yang Tertelan dan Wujudnya Tetap, itu Mutannajis
Perihal yang ditanyakan, sepertinya dulu pernah dibahas, yaitu tatkala menjelaskan soal uang yang tak sengaja tertelan, atau hukum kopi luwak, yang berasal dari kotoran luwak
Yang perlu kita pahami bersama ada dua istilah di dalam fiqh, yaitu najis dan mutanajjis. Najis adalah sesuatu yang dzatnya memang najis, sehingga hukumnya harus dihindari dan dibersihkan. Kecuali beberapa benda najis yang karena proses istihalah bisa menjadi suci. Sedangkan mutanajjis adalah benda yang secara dzatnya suci, tetapi terkena najis. Contoh najis adalah kotoran, air kencing, madzi, dan wadi, yang memang tidak bisa berubah menjadi suci. Sedangkan mutanajjis contohnya adalah sepatu yang keciprat air kencing, dompet yang jatuh ke kotoran ayam, dst.
Karena itu, sering kejadian, ada orang tak sengaja menelan uang logam. Atau orang yang memasang gigi emas, tak sadar giginya masuk ke dalam perut saat makan. Apakah ketika keluar dari lubang belakang keduanya tidak bisa digunakan karena sudah menjadi najis?
Inilah yang dicontohkan oleh ulama bahwa jika ada biji-bijian yang dimakan hewan dan masih utuh, sehingga kalau toh ditanam, maka akan tumbuh menjadi tanaman, maka hukum biji-bijian ini disebut mutannajis, yang cukup dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel, maka ia akan kembali suci dan boleh digunakan atau bahkan dimakan (Al-Majmu Syarah A;-Muhadzab, juz 2, h. 591)
al-majmu-syarah-al-muhadzdzab
Artinya jika ada uang tertelan, emas tertelan, atau benda lain tertelan dan tidak berubah bentuk, maka ia hanya sekedar terkena najis saja, yang cukup dibersihkan, sehingga sudah bisa digunakan kembali.
Air Kencing Yang Suci
Pengecualian berikutnya adalah bahwa, selain mani, air kencing juga ada yang suci, yaitu air kencing Nabi Muhammad, sebagaimana telah disebutkan di atas. Bahkan dalam Al-Wasith fil Fiqhil ‘Ibadaati, h. 113 disebutkan kencing para Nabi itu suci (jadi bukan hanya Nabi Muhammad SAW). Selain itu, yang dikecualikan juga adalah air kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan selain ASI ibunya dan belum genap umur dua tahun. Pengecualian untuk kencing anak laki-laki ini pada derajat najisnya yang masuk kategori mukhaffah, atau ringan. Berbeda dengan bayi perempuan, yang hukumnya sama dengan kencing-kencing yang lain, sebagaimana kencing pada manusia dan binatang.
Ada yang mengatakan bahwa air kencing perempuan najis karena lebih menyengat, sebagaimana disebutkan oleh Az-Zailai. Tetapi penelitian modern juga menyimpulkan bahwa memang ada beda antara kencing anak laki-laki dan anak perempuan, di mana kandungan bakteri kencing anak perempuan lebih banyak daripada anak laki-laki
Jadi jika ada anak laki-laki kurang dari dua tahun, tapi sudah minum susu kaleng, maka statusnya sama dengan kencing yang lain. Atau sudah makan pisang, roti, dan lain sebagainya, maka ia tidak berbeda dengan air kencing pada umumnya.
Air kencing anak laki-laki masuk kategori najis mukhaffafah (najis ringan) maka dalam menyucikannya cukup dengan menyipratkan air ke benda yang terkena kencing itu. Tidak perlu disiram atau digosok-gosok atau dikucek-kucek. Diusahakan cipratan itu merata sehingga tampak basah apa-apa yang terkena najis itu.
Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi tatkala terkena air kencing anaknya Ummu Qais, maka Nabi meminta air, kemudian beliau “nadhahahu”, dan tidak membasuhnya. “Nadhaha” diartikan dengan memercikkan air sekira tempat yang terkena kencing merata dengan air, tanpa air itu dialirkan. Jadi cukup tampak basah-basah saja. (At-Tadzhib, h. 30).
Najis yang Dimaafkan
Semua najis, sebagaimana disebutkan di atas, air seni, madzi, wadi dll wajib dibersihkan dari pakaian dan tempat shalat. Kalau najisnya berbentuk atau wujud, yang disebut sebagai najis ‘ainiyah, maka harus dhilangkan wujudnya, baunya, rasanya, dan warnanya. Tetapi jika kemudian setelah dihilangkan wujud najisnya, masih tertinggal warnanya dan sudah diusahakan betul tidak juga hilang, maka hal yang demikian masuk kategori najis yang dimaafkan. (Kifayatul Akhyar, h. 88)
Selain itu, secara wujud, ada pula najis yang memang dimaafkan. Yaitu :
1. Darah atau nanah yang sedikit. Baik itu berasal dari badan sendiri atau orang lain
2. Bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, nyamuk, kecoa, kutu, dan lain sebagainya yang terjatuh ke wadah (At-Tadzhib, h. 34)
Sedikitnya nanah atau darah ini disesuaikan dengan kebiasaan setempat di dalam menentukan kadarnya. Ukuran sedikit atau banyaknya, ulama sendiri ada ikhtilaf, di antaranya sebesar uang dirham. Tetapi ulama lain untuk mempermudah, menegaskan banyak sedikitnya disesuaikan dengan kebiasaan wilayah setempat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 171, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h.173)
Demikian pula ada kondisi-kondisi tertentu juga dimaafkan, karena masuk kategori Umumul balwa atau najis yang susah dihindari. Di antaranya adalah cipratan air hujan saat di jalan. Kencing binatang seperti tikus atau burung, yang sulit kita hindari, dan lain sebagainya. Termasuk tai cicak di masjid masuk kategori ini dengan syarat susah dihindari dan tainya dalam kondisi kering, maka dibolehkan shalat dalam kondisi demikian. Meski demikian, untuk menjaga dan terhindar dari ini semua, kebersihan masjid dari kotoran-kotoran binatang ini tetap tak boleh dilalaikan.
Demikian …Wallahu A’lam Bish Showaab.




















Kamis, 15 Desember 2016

FENOMENA MASJID DHIRAR



Berada di Masjid Quba di Kota Madinah ini,
Mengingatkan saya kepada sosok mulia Kekasih Allah Rasulullah Shalallahu 'Alayhi wa Sallam..
Sekaligus juga mengingatkan saya kepada berita HEBOH di Indonesia ;
tentang berdirinya sebuah YAYASAN , yang konon ....
Katanya Yayasan ini PEDULI untuk membantu PESANTREN PESANTREN di seluruh Indonesia.
Dan yayasan ini didirikan oleh seorang non Muslim
Lho ?
Apa hubungan Masjid Quba Yang dibangun MANUSIA MULIA Rasulullah Shalallahu 'alayhi wa Sallam ,Dengan Yayasan yang PEDULI PESANTREN namun dibangun oleh seorang non muslim ?
Secara langsung , memang tidak ada hubungan !
Namun, jika membuka sejarah terkait MASJID QUBA di kota Madinah,

MAKA...
sebagai muslim , Kita wajib mengambil PELAJARAN
terkait Hikmah apa yang terkandung
dari SEJARAH masjid Quba dan yang berkaitan erat dengan Masjid Quba ini ?
Apalagi, dari sana nantinya kita akan tahu, bahwa Allah menurunkan Surat At-Taubah ayat 107, 108 dan 109 berkaitan erat dengan Masjid Quba dan pernak perniknya

Begini cerita singkatnya ,
Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW pada masa 15 abad yang lalu ketika beliau baru hijrah ke Kota Madinah
Atau Tepatnya pada tanggal 8 Rabiul Awal 1 Hijriyah .
👉 Sejak dibangun 15 abad yang lalu hingga hari ini,
Masjid Quba telah mengalami beberapa kali renovasi , hingga akhirnya masjid tersebut mengalami perluasan , dan sampai hari ini setelah berusia 15 abad, masjid Quba dapat menampung jamaah sekitar 20 ribu orang
( silakan lihat foto terlampir Masjid Quba terkini setelah 15 abad dibangun )



 Dalam Alquran , di Surat At-Taubah ayat 108 ,
Allah menjelaskan bahwa Masjid Quba dibangun atas dasar Ketaqwaan kepada Allah dan didirikan oleh Nabi Allah yang mulia , Rasulullah SAW,
"... Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih."
(QS. At-Taubah: Ayat 108)
Sementara ...
Selang tidak berapa lama,
Setelah masjid Quba’ berdiri dan menjadi pusat kegiatan umat Islam di Kota Madinah.
Dibangunlah Masjid Tandingan yamg letaknya tidak terlalu jauh dari Masjid Quba ,
Nama masjid tandingan tersebut adalah MASJID DHIRAR .
Masjid Dhirar ini dibangun oleh orang orang Munafik atas prakarsa seorang kafir Nasrani bernama Abu Amir Ar Rahib.
Abu Amir mendapat suntikan dana besar dari kerajaan Romawi kala itu,
sehingga masjid yang mereka bangun lebih megah dan bagus dibanding masjid Quba yang sederhana.
Setelah masjid Dhirar berdiri, orang orang Munafik mendatangi Rasulullah SAW dan menjelaskan tujuan mereka membangun masjid Dhirar adalah untuk membantu orang orang lemah dan orang sakit atau orang tua yang tidak mampu datang ke Masjid Quba untuk tetap dapat ibadah dengan adanya masjid tersebut.
Mereka juga mengundang Rasulullah saw untuk dapat hadir shalat di masjid Dhirar .
Mendengar alasan mereka seperti itu, awalnya Rasulullah SAW akan memenuhi undangan mereka setelah pulang dari peperangan Tabuk.
Namun dalam perjalanan pulang dari peperangan, sebelum Rasulullah saw bermaksud memenuhi undangan untuk shalat di Masjid Dhirar,
Allah membocorkan TIPU DAYA dan MAKSUD BUSUK orang Kafir dan kaum Munafik yang telah membangun Masjid Dhirar tersebut , dengan turunnya surat At Taubah ayat 108 :
"Janganlah engkau melaksanakan sholat dalam masjid itu selama-lamanya.
( Maksudnya Masjid Dhirar yang dibangun oleh orang kafir dan orang Munafik )
Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan sholat di dalamnya.
Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih."
(QS. At-Taubah: Ayat 108)
Allah melukiskan MOTIVASI BUSUK dibalik pembangunan masjid Dhirar tersebut didalam firman-Nya QS. At-Taubah : 107
Begitu Mengetahui siasat buruk orang-orang munafik seperti dalam ayat 107 tsb,
Rasulullah akhirnya memerintahkan para sahabat untuk meruntuhkan masjid tersebut.
Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang.
Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar
* kemunafikan
* dan niat yang tidak baik,
* niat untuk memecah belah umat Islam,
* melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama muslim.

   KESIMPULAN :
Dari sejarah Masjid Quba dan Masjid Dhirar sampai kepada SEBAB turunnya ayat 107, 108 dan 109 dari surat AtTaubah , Para Ulama ahli Tafsir dan Shirah sepakat bahwa ayat tersebut berlaku tidak saja bagi Rasulullah SAW dan para sahabat di masa itu, tetapi ayat dan peringatan Allah tersebut berlaku sepanjang masa bagi seluruh umat Islam agar tidak mudah terkecoh dengan FENOMENA MASJID DHIRAR ;
Entah itu berupa berdirinya Masjid , LEMBAGA PENDIDIKAN,LEMBAGA SOSIAL,

Atau apapun yang berkaitan dengan AQIDAH umat Islam dan disana ada CAMPUR TANGAN bantuan kaum KAFIR ,maka umat Islam tidak boleh mengabaikan PERINGATAN ALLAH dalam Alquran.
Sehingga umat Islam hendaknya waspada terhadap FENOMENA MASJID DHIRAR "
Hendaknya umat islam hanya PERCAYA dan mentaati para ULama shalih dalam hal ini MUI yang patut kita ikuti , bukan orang yang mengaku ngaku ulama namun bekerjasama dengan kaum kafir dalam membangun basis AQIDAH umat ( baca : Pendidikan, lembaga Sosial dan sejenisnya )
Termasuk , dalam memilihkan SEKOLAH , PESANTREN , BEASISWA, dan sejenis itu
untuk anak anak kita ,sebaiknya jangan mudah tergiur dengan megahnya fasilitas dan iming iming uang yang besar ,terutama jika Pesantren atau Lembaga Pendidikan tersebut ber afiliasi kepada komunitas Kaum kafir atau PENDUKUNG kaum kafir, maka buka kembali Alquran kita,bahwa disana Allah yang memperingatkan kepada kita untuk waspada dan menghindari berada disana ,
Agar AQIDAH anak kita SELAMAT.
Wallahu a'lam Bish shawaab..

Madinah , 11 Rabiul Awal 1438 H/
Bertepatan dengan 10 Desember 2016 ,
Ditulis selepas ziarah ke Masjid Quba, masjid Qiblatain, Bukit Uhud dll
Wallahu a'lam Bish Shawaab..
*Silakan di share agar menjadi Reminder
Bagi sesama muslim karena banyak
Yang belum tahu akan isi AtTaubah: 107-109 dan
Sejarah Masjid yang dibangun atas dasar taqwa maupun sebaliknya. 
                       

Kamis, 01 Desember 2016

TAYAMMUM

 Oleh Ustadzuna Fathury Ahza Mumthaza
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb... Alhamdulillah alladzi hadana wama kunna lanahtadiya laula an hadanallah... Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama'ah semua, mohon izin memulai Pengajian Online pada hari ini, mudah-mudahan dimudahkan dalam memahami dan melaksanakannya... Untuk itu mohon perkenannya untuk membaca Surat Al-Fatihah. Mudah-mudahan dengan membaca surat yang menjadi induk dari Al-Qur'an ini kita selalu ditunjukkan kepada jalan yang benar... Al-faatihah.. 
 Hari ini masih bab Thaharah dalam Fasal tentang Tayammum

     Ada 5 syarat tayammum boleh dilakukan:
1. Adanya udzur menggunakan air, sebab safar/bepergian atau sakit. Dasarnya adalah surat Al-Maidah ayat 3.

2. Telah masuknya waktu shalat. Artinya, jika belum masuk waktu shalat, meski tidak ada air, maka belum dibolehkan tayammum
3. Telah dilakukan pencarian air, dan memang tidak ditemukan
4. Ada penghalang dalam menggunakannya. Di antaranya, ada air tetapi ada di jurang yang mesti dekat, tapi sulit menjangkaunya. Atau posisi air tidak jauh, tapi ada binatang buas yang menjaganya. Atau bisa juga ada air tetapi harus membeli dengan harga yang mahal
5. Debu yang akan digunakan tayammum, adalah debu halus yang suci, yang tidak tercampur kapur atau pasir (At-Tadzhib, h. 26-27)


 Sekaligus menjawab pertanyaan perihal debu yang digunakan. Dalam Bidayatul Mujtahid, Juz1, h. 148 dijelaskan uraian ulama sekitar benda-benda yang digunakan untuk tayammum. Dasar keterangan benda yang digunakan dalam tayammum adalah Al-Maidah ayat 6, yaitu menggunakan kata "sha'idan thayyiban"



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦


6.[1] Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub[3] maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu...


Kata sha'idan ini masuk kategori kata musytarak atau kata yang memiliki tidak hanya satu makna, tetapi beberapa makna. Karena itulah sebenarnya di kalangan ulama mereka berbeda penjelasannya. Menurut Maliki, yang dimaksud dengan sha'idan adalah segala sesuatu yang berada di permukaan bumi, atau ma sha'ida ai ma dhahara min ajza'il ardhi. Jadi tidak hanya debu, tapi juga bisa rumput atau salju. Sedangkan Hanafi menegaskan bahwa sha'idan maksudnya adalah apa-apa yang keluar dari bumi, termasuk di dalamnya debu, kerikil,dan  pasir.

Namun pendapat jumhur menegaskan bahwa yang boleh digunakan untuk bersuci, menurut Syafi'i, Hambali dan ulama-ualama lain sha'idan artinya adalah debu. Jika ada orang tayammum menggunakan bena lain, maka tidak sah. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 148, Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 146-147). Karena itulah debu di sini tidak harus dari tanah lapang bisa juga dari tembok, kaca, bahkan Imam Ahmad bin Hambal membolehkan dari debu di kain dan rambut. 

Jadi, jika melihat keterangan ini, sebersih-bersihnya ruangan di rumah sakit, mesti ada bagian yang berdebu dan bisa digunakan untuk tayammum. Termasuk di pinggiran lemari dan benda-benda lain.
Keterangannya berbeda, jika ada orang yang tidak bisa menggunakan air dan juga debu. Ini yang disebut dengan faqiduth thahuraini. Artinya, secara medis, misalnya ia tidak diizinkan terkena air dan debu. Atau setelah mencari ke mana-mana tidak ada air dan debu. Maka dalam hal ini ulama menegaskan, orang itu wajib shalat tanpa wudlu dan tayammum terlebih dahulu, dengan shalat yang sempurna, baik pekerjaan maupun bacaannya. Kecuali jika ia junub, maka ia semua dijerkajakan kecuali membaca Al-Qur'an. Dan wajib hukumnya untuk mengulangi shalat-shalat itu tatkala tidak ada halangan di dalam menggunakan air atau debu atau telah menemukan keduanya.

Hal ini dilakukan untuk menjaga seseorang agar tetap khusyuk dan khudhu' kepada Allah dalam segala keadaan (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 151-152)


 Bagaimana jika sudah terbiasa memiliki wudlu atau istilahnya dawaamul wudlu, apakah juga boleh tayammum?

 Perlu diketahui bahwa tayammum terbagi dua. Ada yang disebut tayammum fardlu, ada pula tayammum sunnah atau mandub. Tayammum fardlu adalah tayammum yang dilaksanakan ketika akan melaksanakan shalat. Ini hanya berlaku untuk satu shalat fardlu, beberapa shalat sunnah, dan ibadah sunnah yang lain.

Kedua, tayammum sunnah adalah tayammum yang dimaksudkan untuk dibolehkan untuk melakukan hal-hal yang sunnah. Misalnya membaca Al-Qur'an, membawa mushaf Al-Qur'an, shalat sunnah dst. (Al-Fiqh 'aa Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 138)

Dari keterangan ini jelas bahwa bagi yang terbiasa wudlu, maka sebagai gantinya ketika ada udzur menggunakan air, maka dibolehkan tayammum. Bagaimana niatnya? Niatkan saja untuk tayammum. Artinya dimutlakan niat tayamumm, biar dimungkinkan melakukan semua kesunnahan. Wallahu a'lam bish-shawaab



 

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...