Kamis, 30 Juni 2011

Metode Terbaik Dalam Berdakwah

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada dua surat yang menanyakan tentang metode terbaik untuk berdakwah (mengajak manusia ke jalan Allah ) dan tentang metode terbaik untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Disebutkan oleh para penulis surat tersebut, bahwa mereka mendapatkan banyak kesalahan di kalangan kaum muslimin, mereka merasa iba terhadap kondisi tersebut sehingga mendambakan sesuatu untuk merubah kemungkaran tersebut. Karena itu, mereka mohon pengarahan.

Jawaban:
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan metode dakwah dan hal-hal yang harus dimiliki oleh seorang dai, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah, Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata'." [Yusuf : 108].

Jadi, seorang dai harus mengetahui (baca: menguasai) apa-apa yang diserukannya dan apa-apa yang dilarangnya sehingga tidak berbicara atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu. Di samping itu, ia pun harus ikhlas karena Allah dalam berdakwah, bukan untuk mengajak kepada suatu madzhab dan bukan pula kepada pendapat si fulan atau fulan, akan tetapi mengajak kepada Allah untuk mendapatkan pahala dan ampunanNya serta mengharapkan baiknya manusia. Karena itu, harus dilandasi dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu yang mapan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik."[An-Nahl: 125].

Ayat ini menerangkan tentang metode berdakwah, yaitu dengan hikmah, yakni harus dengan ilmu. Allah dan RasulNya menyebut ilmu itu dengan sebutan hikmah, karena ilmu itu menyangkal kebatilan dan membantu manusia untuk mengikuti yang haq. Bersama ilmu itu harus pula disertai pelajaran (wejangan) yang baik dan bantahan yang lebih baik saat diperlukan, karena sebagian orang cukup dengan penjelasan al-haq, maka tatkala kebenaran (al-haq) itu tampak baginya, ia langsung menerimanya. Dalam kondisi begitu, tidak perlu lagi wejangan. Namun sebagian orang ada yang polos (tidak bereaksi) dan ada yang keras sehingga perlu nasehat (wejangan) yang baik. Maka seorang dai, harus memberikan wejangan dan mengingatkan kepada Allah saat itu dibutuhkan. Ini untuk kondisi yang berhadapan dengan orang-orang jahil dan orang-orang lengah serta orang-orang yang suka bersikap menggampangkan (menganggap remeh), untuk orang-orang semacam itu perlu diberikan wejangan agar mereka terbuka dan puas serta menerima kebenaran. Ada pula orang yang telah diliputi keraguan, untuk yang semacam ini perlu didebat (dibantah) dengan tujuan untuk membongkar keraguan tersebut. Maka sang dai dalam menghadapi situasi seperti ini perlu menerangkan kebenaran disertai dalil-dalilnya serta membantah keraguan tersebut dengan cara yang lebih baik, hal ini tidak menghilangkan keraguan tersebut dengan dalil-dalil syari'at. Perlu diingat, bahwa dalam hal ini harus dengan perkataan yang baik, tutur kata yang halus dan lembut, tidak kasar dan tidak keras agar orang yang didakwahinya tidak antipati terhadap al-haq dan tetap bertahan pada kebatilannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [Ali Imran: 159]

Ketika Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk menemui Fir'aun, Allah berfirman.

"Artinya : Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha: 44].

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya."[1]

Dalam hadits lain beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya."[2]

Dari itu, seorang dai hendaknya memelihara al-haq, bersikap lembut terhadap mad'u (orang yang didakwahinya), berusaha untuk senantiasa ikhlas karena Allah dan mengatasi berbagai perkara dengan cara yang telah digariskan oleh Allah, yaitu ber-dakwah dengan hikmah (ilmu), nasehat/wejangan yang baik dan bantahan yang lebih baik. Semua ini harus berdasarkan ilmu sehingga sasarannya merasa puas untuk menerima al-haq dan agar menghilangkan keraguan dari orang yang telah diliputi keraguan serta agar hati orang yang keras dan membatu pun menjadi luluh, karena hati manusia itu bisa luluh dengan seruan dakwah, wejangan yang baik dan penjelasan tentang kebaikan di sisi Allah bagi yang mau menerima al-haq serta tentang bahaya besar bagi yang menolak al-haq setelah al-haq itu datang menghampirinya, dan nasehat-nasehat hal yang senada.

Kemudian tentang mereka yang melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar, hendaknya berperilaku dengan adab-adab yang syar'i, ikhlas karena Allah dalam beraktifitas, berakhlaq dengan akhlaq para dai, yaitu lembut dan tidak kasar kecuali jika itu memang diperlukan, misalnya saat menghadapi kezhaliman, kesombongan dan penentangan, maka saat itu perlu menggunakan kekuatan, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka." [Al-Ankabut: 46]

Dan sabda Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."[3]

Adapun untuk selain mereka, dalam rangka menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, hendaknya menggunakan metode para dai, yaitu mengingkari kemungkaran dengan halus dan disertai hikmah, mengungkapkan hujjahnya agar pelaku kemungkaran bisa menerima al-haq dan menghentikan kebatilannya. Ini pun dilakukan sesuai kesanggupan, sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." [At-Taghabun: 16]

Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran."

Ayat yang menghimpun itu terdapat pada firmanNya.

"Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." [At-Taubah: 71]

Dan ayat.

"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." [Ali Imran: 110]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam dan melaknat orang-orang yang tidak menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar melalui lisan Dawud dan Isa bin Maryam, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ma'idah,

"Artinya : Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu."[Al-Ma'idah: 78-79]

Jadi, perkara ini sangat agung dan tanggung jawabnya pun besar, maka wajib atas ahli iman, para penguasa, ulama dan kaum muslimin lainnya yang memiliki kemampuan, kesanggupan dan ilmu, untuk mencegah kemungkaran dan mengajak kepada kebaikan. Kewajiban ini bukan untuk suatu golongan saja, walaupun memang ada golongan yang lebih wajib dan lebih bertanggung jawab, tapi keberadaan golongan tersebut tidak begitu saja menggugurkan kewajiban ini dari yang lainnya, bahkan golongan lain itu wajib membantu golongan tersebut agar tercipta kondisi yang saling mendukung dalam rangka mencegah kemungkaran dan mengajak kepada kebaikan, sehingga kebaikan semakin marak, sementara keburukan semakin berkurang. Lebih-lebih lagi jika golongan tersebut (yang paling bertanggung jawab) tidak mampu melaksanakan dengan sempurna dan belum mencapai maksud yang diharapkan, kendati wejangan dan ajakan telah banyak di-sampaikan, namun keburukan tetap bertebaran, maka wajib bagi yang mampu untuk ikut membantu.

Jika golongan tersebut telah melaksanakannya, maka kewajiban ini telah gugur dari golongan lainnya di tempat tersebut atau di negeri tersebut, karena amar ma'ruf nahi mungkar itu hukumnya fardhu kifayah. Jika orang-orang yang bertugas atau orang-orang shalih telah melaksanakannya untuk menghilangkan kemungkaran dan mengajak kepada kebaikan, maka bagi golongan lainnya hukumnya sunnah. Adapun kemungkaran yang tidak dapat dihilangkan oleh orang yang selain anda, umpamanya, karena anda berada di desa tersebut atau kabilah atau perkampungan tersebut, dan di sana tidak ada orang yang mengajak kepada kebaikan, maka anda harus menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar selama anda mengetahuinya, karena anda bisa mencegahnya, maka hukumnya wajib atas anda. Jika ada orang lain bersama anda, maka hukumnya menjadi fardhu kifayah. Jika salah seorang dari anda telah melaksanakan, maka tercapailah maksudnya. Tapi jika anda semua tidak melaksanakannya, maka anda semuanya berdosa.

Kesimpulannya, bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, jika telah ada yang melaksanakan dari antara masyarakat atau kabilahnya dan mencapai tujuannya, maka kewajiban ini gugur dari yang lainnya (dalam masyarakat tersebut).

Demikian juga dakwah, jika semua meninggalkannya, maka semuanya berdosa. Tapi jika telah ada orang yang mapan dalam berdakwah, memberi wejangan dan mencegah kemungkaran, maka bagi yang lainnya sunnah saja, karena ini merupakan kerjasama dalam kebaikan dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

[Majmu' fatawa Syaikh Ibnu Baz, juz 4, hal. 24O]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2594).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2592).
[3]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-lman (49).

Prioritas Dalam Dakwah

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz





Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Mana yang seharusnya diprioritaskan dalam lingkup dakwah Islamiyah ; berupa kegiatan sosial semacam pembangunan masjid dan pemberian bantuan bagi kum lemah, ataukah mendakwahi pemerintah untuk menerapkan syariat Islam dan memerangi berbagai kerusakan ?

Jawaban.
Yang wajib atas para ulama adalah memulai dengan apa yang para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai, yang berkaitan dengan masyarakat kuffar dan negara-negara non Islam, yaitu mengajak kepada Tauhidullah (beribadah hanya kepada Allah) dan meninggalkan penyembahan kepada selain Allah, beriman kepada Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagunganNya, beriman kepada RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintainya berikut para pengikutnya.

Disamping itu, hendaknya mereka mengajak kaum muslimin di setiap tempat untuk senantiasa berpegang teguh dengan syariat Islam dan selalu konsisten, menasehati para penguasa, membantu dan membimbing orang-orang yang perlu dibantu dan dibimbing.

Kemudian dari itu, hendaknya para ulama senantiasa eksis dalam berdakwah, antusias terhadap kegiatan-kegiatan sosial, mengunjungi para penguasa dan memotivasi mereka untuk berbuat kebaikan serta menganjurkan mereka untuk memberlakukan syari’at dan menerapkannya pada masyarakat. Hal ini sebagai pengamalan firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka pada (hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [An-Nisa : 65]

Dan firmanNya.

“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yanjg yakin ?” [Al-Maidah : 50]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 32, hal.119, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 250-251 Darul Haq]

Prioritas Dan Pokok-Pokok Utama Dakwah Tidak Berubah

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prioritas dakwah Islamiyah berubah-ubah dari masa ke masa dan dari suatu masyrakat ke masyarakat lainnya ? Lalu apakah menyerukan aqidah yang pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Shallallau ‘alaihi wa sallam, harus pula dilakukan oleh para da’i di setiap zaman ?

Jawaban.
Tidak diragukan lagi, bahwa prioritas dan pokok-pokok dakwah Islamiyah sejak diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat tetap sama, tidak berubah karena perubahan zaman. Adakalanya sebagian pokok-pokok itu telah terealisasi pada suatu kaum dan tidak ada hal yang menggugurkannya atau mengurangi bobotnya, pada kondisi seperti ini, sang da’i harus membahas perkara-perkara lainnya yang dipandang masih kurang. Kendati demikian, pokok-pokok dakwah Islamiyah sama sekali tidak berubah. Ketika Rasulullah Shallallahu a’laihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda.

“Artinya : Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka pelaksanaan lima kali shalat dalam sehari semalan. Setelah mereka mematuhi itu, beritahulah mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari yang kaya untuk disalurkan kepada yang miskin di antara mereka” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Az-Zakah 1458, Muslim dalam Al-Iman 19]

Itulah pokok-pokok dakwah yang harus diurutkan seperti demikian ketika kita mendakwahi orang lafir. Tapi jika kita mendakwahi kaum muslimin yang telah mengetahui pokok pertama, yaitu tauhid dan tidak ada hal-hal yang menggugurkan atau menguranginya, maka kita menyerukan kepada mereka pokok-pokok selanjutnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits tadi.

[Kitabud Da’wah 5, Syaikh Ibnu Utsaimin 2/154-155]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 265-266 Darul Haq]

Dan Allah Menyempurnakan CahayaNya (Agamanya)

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly




LIMADZA IKHTARTU AL-MANHAJ AS-SALAFY MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF
Studi Kritis Solusi Problematika Umat


Meskipun ada tipu daya baik siang maupun malam yang menyeru kaum muslimin kedalam neraka, bermunculanlah sejumlah Du'at kebenaran dari ahli ilmu dan para Thalibul Ilmu. Mereka mengejutkan tempat-tempat kesesatan dan markas-markas penyimpangan yang tumbuh hidup di negeri-negeri muslimin dan menghamburkan kerusakan di tanah air mereka. Hal ini dikarenakan tamu-tamu tak diundang ini memindahkan sasaran mereka seluruhnya atau hampir seluruhnya kepada lingkungan masyarakat salib yahudi. Tamu tak diundang ini menyangka dengan persangkaan buruk bahwa umat ini telah pasti akan keluar dari Islam dan tidak akan kembali. Akan tetapi mereka itu lupa kepada banyak kenyataan yang tidak berjalan sesuai dengan arahan dan tidak masuk dalam perhitungan mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menyumpal pendengaran mereka dari mendengar, menutup hati mereka dari memahami dan menutup penglihatan mereka dari melihat kebenaran.

[1]. Mereka telah lalai terhadap hal-hal yang sangat mendasar, bahwa segala sesuatu berada di dalam kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi yang telah lalu maupun yang akan datang, dan bukan di tangan mereka atau yang lainnya dari manusia dan jin. [1]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengatahuinya" [Yusuf : 21]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka". [Al-Qashah : 68]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi, dan Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya : "Jadilah". Lalu jadilah ia". [Al-Baqarah : 117]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keberadaan agama ini di dunia walaupun ada tipu daya dan makar para musuh-musuh, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci" [Ash-Shaaf : 8-9]

Hal ini menuntut keberadaan sekelompok dari kaum muslimin yang menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak merusak mereka tipu daya para musuh Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari kiamat.

[2]. Kebanyakan kaum muslimin telah memeluk agama ini berabad-abad lamanya sebelum para penghasut menerbarkan racun-racun salibisme, yahudisme serta penyimpangan agama ke dalam negeri-negeri muslimin. Jika kaum muslimin lalai dari agamanya beberapa saat, maka itu hanyalah seperti awan musim panas yang jumlahnya sedikit yang segera akan hilang ketika hilang pengaruh bius yang disuntikkan ke dalam tubuh umat Islam. Hal ini menuntut keberadaan di permukaan bumi ini orang yang melaksanakan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memberikan hujah kepada manusia, mengatakan kebenaran, menjelaskan dan menerangkannya.

[3]. Mereka telah lalai bahwa agama ini adalah agama kebenaran, dan kebanaran akan tetap tinggal di permukaan bumi ini karena dia bermanfaat bagi manusia. Kekekalan adalah milik kebenaran karena dia lebih kuat dan lebih pantas dan sungguh kamu akan mengetahui kebenarannya setelah beberapa waktu.

Ini menuntut keberadaan sekelompok kaum muslimin yang berada di atas kebenaran yang tidak merugikan dan merendahkan mereka orang yang menyelisihi, karena umat yang dirahmati ini tidak akan bersepakat di dalam kesesatan.



[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1] Saya telah mengambil asal perkataan ini dari kitab Waaqiunal Muashir karya Muhammad Qutub ! dan kitab ini terdapat banyak kekeliruan dan kesalahan yang berbahaya seputar manhaj salaf, dan saya telah menjelaskannya dalam tulisan khusus yang saya beri judul : "Aqdul Khanaashir fi Raddi Abaathili Waqiunaa Al-Muashir.

Asas Kebangkitan Dunia Islam

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Asas-asas apakah yang dapat menyebabkan Dunia Islam bangkit kembali .?

Jawaban.
Yang saya yakini ialah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam itu, yang mungkin di lontarkan pada masa sekarang ini. Hadits itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila kamu melakukan jual beli dengan sistem 'iinah (seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan pembayaran di belakang, tetapi sebelum si pembeli membayarnya si penjual telah membelinya kembali dengan harga murah -red), menjadikan dirimu berada di belakang ekor sapi, ridha dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kamu dikuasai oleh kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari dirimu sebelum kamu rujuk (kembali) kepada dien kamu". [Hadist Shahih riwayat Abu Dawud].

Jadi Asasnya ialah RUJUK (Kembali) Kepada ISLAM.

Persoalan ini, telah diisyaratkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam sebuah kalimat ma'tsur yang ditulis dengan tinta emas : "Barangsiapa mengada-adakan bid'ah di dalam Islam kemudian menganggap bid'ah itu baik, berarti ia telah menganggap Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghianati risalah". Bacalah firman Allah Tabaraka wa Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan buatmu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu". [Al-Maaidah : 3].

"Oleh karenanya apa yang hari itu bukan agama, maka hari ini-pun bukan agama, dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini"

Kalimat terakhir (Imam Malik) di atas itulah yang berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataannya :

" Dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini".

Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyah dahulu tidak menjadi baik keadaannya kecuali setelah datangnya Nabi mereka, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa wahyu dari langit, yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami nan membahagiakan di masa kini, yakni tiada lain hanyalah RUJUK (kembali) kepada Al-Kitab was Sunnah.

Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa banyak jama'ah serta golongan-golongan di "lapangan" mengaku bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam.

Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam firmannya.

"Artinya : Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].

Dan sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, telah menjelaskan makna ayat ini kepada para shahabatnya. Beliau pada suatu hari menggambarkan kepada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi.

Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat di atas ketika menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian menunjuk garis-garis yang terdapat pada sisi-sisinya, beliau bersabda:

"Artinya : Ini adalah jalan Allah, sedangkan jalan-jalan ini, pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang menyeru kepadanya". [Shahih sebagaimana terdapat di dalam "Zhilalul Jannah fi takhrij As-Sunnah : 16-17].

Allah 'Azza wa Jalla-pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas, dengan ayat lain, yaitu firman-Nya.

"Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk (kebenaran) baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-seburuk tempat kembali". [An-Nisaa : 115]

Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tegas, yakni bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengikatkan "jalannya orang-orang mukmin" kepada apa yang telah di bawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq (perpecahan) ketika beliau ditanya tentang Al-Firqah An Najiyah (golongan yang selamat), saat itu beliau menjawab :

"Artinya : (Yaitu) apa yang aku dan shahabatku hari ini ada di atasnya" [lihat As-Silsilah Ash-Shahihah : 203]

Apakah gerangan hikmah yang di maksud ketika Allah menyebutkan "Jalannya orang-orang mukmin (Sabiilul mukminim)" dalam ayat tersebut .? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikatkan para shahabatnya kepada diri beliau sendiri dalam hadits di muka .? Jawabannya, bahwa para shahabat radliyallahu anhum itu adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (Al-Qur'an dan As-Sunnah) langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau telah menjelaskannya langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana keadaan orang-orang yang sesudahnya.

Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :

"Artinya : Sesungguhnya orang yang hadir akan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak hadir" [Lihat Shahih Al-Jami' : 1641].

Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits mutawatir :

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orang-orang yang sesudahnya lagi " [Muttafaq 'alaihi].

Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidak bisa berdiri sendiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat Nabi yang Mulia, orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terkadang menjelaskannya dengan perkataan, terkadang dengan perbuatan dan terkadang dengan taqrir (persetujuan) beliau.

Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam "mengajak orang kembali kepada Al-qur'an dan As-Sunnah" untuk menambahkan prinsip "berjalan di atas apa yang ditempuh oleh AS-SALAFU AS-SHALIH" dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang telah disebutkan di muka, manakala Allah menyebutkan "Jalannya orang-orang mukmin (sabilul mu'minin)", dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud supaya memahami Al-Kitab was Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami oleh KAUM SALAF generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallahu anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka secara ihsan.

Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting namun dilupakan oleh banyak kalangan jama'ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan itu ialah : "Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan melaksanakan sunnah ini ..?".

Jawabannya : "Tiada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali harus RUJUK (kembali) kepada Ilmu Hadits, Ilmu Mushtalah Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta'dil dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mana yang tidak shahih".

Sebagai penutup jawaban, kami bisa mengatakan dengan bahasa yang lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan 'IZZAH (kehormatan), kejayaan dan hukum bagi Islam, yaitu anda harus bisa merealisasikan dua perkara :

Pertama :
Anda harus mengembalikan syari'at Islam ke dalam benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup ke dalammnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya, ketika Allah Tabaraka wa Ta'ala menurunkan firmannya :

"Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu" [Al-Maaidah : 3].

Mengembalikan persoalan hari ini menjadi seperti persoalan zaman pertama dahulu, membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di pelbagai penjuru dunia.

Kedua :
Kerja keras yang terus menerus tanpa henti ini harus dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu.

Pada hari kaum muslimin telah kembali memahami dien mereka sebagai mana yang dipahami para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian melaksanakan pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan ini secara benar dalam semua segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mu'minin dapat bergembira merasakan kemenangan yang datangnya dari Allah.

Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini, dengan memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada kita dan seluruh kaum muslimin, sesuai dengan tuntunan kitab-Nya dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih sebagaimana yang telah ditempuh oleh SALAFUNA ASH-SHALIH.

Kita memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu, sesungguhnya Dia SAMI' (Maha Mendengar) lagi MUJIB (Maha Mengabulkan Do'a).

Wallahu 'alam.

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...