Rabu, 04 Januari 2017

DARAH YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA

 Oleh Ustadzuna Fathury Ahza Mumthaza
Ustadz Fathury Ahza Mumthaza
Assalamu'alaikum wr wb.... Alhamdulillah wash shaaatu was salaamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa shahbihi waman walah wala haula wa la quwwata illa billah... Amma ba'du

Kepada Yai Aziz, Para Ustadz dan Jama'ah semua.... Sebagaimana biasa, kami mohon izin untuk melanjutkan pengajian Online hari ini.... Mudah-mudahan apa yang dikaji nanti memberi manfaat dan menjadi tambahn ilmu, dan mampu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu sebelum mulai mohon untuk membaca Surat Al-Fatihah, semoga pengajian hari ini berjalan dengan lancar... Al-Faatihah...
Bismillahirrahmanirrahim.... Hari ini pembahasan memasuki Fasal Darah-Darah yang Keluar dari Kemaluan Wanita... Meski ini soal wanita tetapi bagi lelaki sangat penting untuk mengetahuinya agar dapat membimbing wanita-wanita yang ada di rumahnya, baik saudara, istri, maupun anaknya.
Fasal Darah-Darah Yang Keluar dari Kemaluan Wanita
Ada tiga jenis darah, sebagaimana kita ketahui, yang keluar dari kemaluan wanita. Yaitu darah hadh, darah nifas, dan darah penyakit.


Darah Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam kondisi sehat dan bukan keluar karena melahirkan. Warnanya hitam, terasa panas membakar saat keluar. Haidh secara bahasa berarti mengalir, karena itulah ketika keluar ia terasa merembes, bukan memancar.

Darah Nifas adalah darah yang keluar berbarengan dengan melahirkan. Di sini yang dimaksud semua metode melahirkan, termasuk sesar juga menyebabkan keluarnya darah ini dari kemaluan wanita. Melahirkan ini dalam usia berapa saja, termasuk keguguran.

Darah Istihadhah, yaitu darah penyakit yang keluar bukan pada hari-hari haidh maupun nifas, termasuk yang keluar sebelum usia anak perempuan baligh, misalnya baru 6 tahun.
Waktu masing-masing darah keluar adalah:

Untuk darah haidh, bagi wanita, ia akan mengalaminya paling cepat dalam usia 9 tahun. Sedangkan paling sedikit durasi keluarnya darah ini adalah sehari semalam, paling lamanya 15 hari, dan umumnya 6 atau 7 hari bagi setiap wanita.

Karena itulah masa paling sedikit perempuan dalam kondisi suci, di mana boleh digauli oleh suaminya adalah 15 hari. Sedangkan masa maksimal suci tak terbatas, karena ada perempuan yang haidhnya Cuma sekali dalam setahun, atau bahkan tidak mengalami haidh sepanjang hidupnya.

Darah nifas paling sedikit keluar adalah lahdhatan atau sekejap, maksudnya satu kali mengalir atau menetes sehingga darahnya hanya sedikit. Paling banyaknya perempuan keluar nifas adalah 60 hari, sedangkan biasanya adalah 40 hari. (At-Tadzhib, h. 33)


Hal ini didasarkan metode ISTIQRA’I atau penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi’I terhadap perempuan pada masanya, terutama saat di Mesir. Saat itu para perempuan ditanyakan perihal haidh masing-masing, maka disimpulkanlah hal yang demikian.

Karena itulah kemudian ulama menegaskan bahwa pedoman dasarnya sesungguhnya adalah kebiasaan masing-masing wanita untuk berapa lamanya. Karena masing-masing orang kadang berbeda kebiasaan. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 100).

 Ada yang haidnya 10 hari atau bahkan sebentar 3 hari, ada yang lama sampai 15 hari. Tetapi kalau lebih dari itu, maka dianggap bukan haidh, tetapi darah istihadhah.

Bedanya antara darah haidh, nifas, dan istihadhah adalah jika nifas dan haidh menghalangi melaksanakan beberapa kewajiban seperti shalat dan puasa, tetapi jika darah istihadhah, maka kewajiban tetap lestari sebagaimana biasanya.

Masa Kehamilan
Bicara nifas, Abu Syuja’ menyinggung perihal lamanya kehamilan. Dikatakan bahwa paling sedikitnya waktu hamil adalah 6 bulan, sedangkan paling lamanya adalah 4 tahun (sebagaimana yang dialami Imam Syafi’I yang berada di kandungan selama 4 tahun). Sedangkan umumnya atau biasa masa kehamilan adalah 9 bulan.(At-Tadzhib, h. 33-34).

8 Perkara yang Haram Dilakukan Wanita Haidh atau Nifas
Pertama, puasa. Dasarnya jelas yaitu hadist riwayat Bukhari-Muslim, bahwa Rasulullah menegaskan, “Bukankah ketika perempuan haidh, ia tidak boleh shalat dan puasa.”

Kedua, Membaca Al-Qur’an. Tetapi jika diniatkan untuk dzikir dan mengajar, sebagian ulama membolehkan. Sebaliknya, jika murni dengan niat membaca Al-Qur’an, maka ini dilarang. Ulama menjelaskan, “Dan tidak diharamkan jika bukan dimaksudkan (murni) membaca AL-Qur’an, misalnya membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkan Al-Qur’an, mencari barokah, dan berdoa. (Bughyatul Mustarsyidin, h. 52)

Ketiga, menyentuh dan membawa mushaf. Hal ini didasarkan kepada Al-Waqi’ah ayat 79.
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ artinya : tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
 Di dalam hal ini tidak ada perselisihan di antara ulama. Tetapi larangan ini dikecualikan jika yang dibaca bukan mushaf Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an dan terjemahan, di mana terjemahnya lebih dominan. Atau AL-Qur’an di laptop, di hp atau alat elektronik lain, yang sifat tulisannya adalah cahaya, bukan tulisan sesungguhnya. Karena yang demikian tidak dianggap sebagai mushaf.

Keempat, tidak boleh shalat. Ini sebenarnya diletakkan pada nomer 1, cuma terlewat dalam pembahasan di atas. Shalat yang dimaksud di sini, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, termasuk sujud tilawah atau sujud syukur. Jika puasa wajib diqadha, maka shalat yang tidak dikerjakan tidak ada perintah untuk diqadha

Kelima, masuk masjid. Dalam hal ini yang dimaksud adalah berdiam diri atau mondar-mandir di masjid. Hal ini didasarkan pada surat An-Nisa ayat 43 dan hadist dari Aisyah bahwa Rasulullah menyatakan, "Tidak dihalalkan masjid bagi perempuan yang haidh dan yang junub."

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا. Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Keenam, thawaf. Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi dari Ibnu Abbas, yang menegaskan bahwa thawaf menempati tempatnya shalat,..." Karena itu, shalat dilarang, maka thawaf juga dilarang untuk dilakukan.

Ketujuh, wathi' atau berhubungan suami istri. Asy-Syarbini (Al-Iqna, juz 1, h. 250) menjelaskan bahwa larangan ini berlaku meski haidh sudah berhenti tapi belum mandi. Artinya kebolehan wathi' adalah tatkala perempuan yang haidh sudah mandi.


Hal ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama  yang menegaskan bahwa bagi perempuan yang selesai haidhnya belum dibolehkan untuk dijima' oleh suaminya sebelum ia mandi. Artinya, istri yang selesai haidh, jangan langsung diajak berhubungan sebelum ia mandi. Meskipun ada pendapat lain, di antaranya madzhab Hanafi yang membolehkannya jika masa haidhnya sudah melampaui masa haidh yang biasa yaitu 10 hari. Demikian pula Imam Al-Auzai dan Imam Hazm membolehkan asalkan farji istri sudah dibersihkan dengan air, maka dibolehkan untuk mengajak berhubungan badan meskipu belum mandi (Bidayatul Mujtahid, h. 130).

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan tafsir terhadap ayat ke 222 surat Al-Baqarah:
 فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ : (222

"Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

Kata tathahharna (mereka telah suci), apakah yang dimaksudkan adalah sudah selesai haidhnya sehingga dikatakan suci dalam kondisi suci, ataukah sudah disucikan? Kalau toh yang dimaksudkan disucikan, apakah maksudnya disucikan dengan mandi atau cukup farjinya yang disucikan dengan air?

Inilah yang disebut dengan isim musytarak, yaitu kata yang memiliki beberapa makna, sehingga ulama tidak satu suara di dalam maknanya. Oleh karenanya, maka perbedaan tafsir terhadap ayat ini menjadi dasar bagi beberapa pendapat yang telah kami uraikan yang dialamatkan kepada jumuhur ulama, madzhab Hanafi, Imam Al-Auzai dan Ibnu Hazm (Bidayatul Mujtahid, h. 130)

Kedelapan, dilarang bersenang-senang secara langsung dengan bagian antara lutut dan pusar dari wanita haidh. Hal ini didasarkan kepada hadist riwayat Abu Daud, ketika Rasulullah ditanya apakah yang dibolehkan bagi suami yang istrinya sedang haidh. Nabi mengatakan, "Dihalalkan apa saja yang ada di atas kain." Di atas kain di sini dipahami adalah batas antara lutut dan pusar. Ada juga hadist lain riwayat Muslim yang menegaskan bahwa Nabi mengatakan, "Lakukanlah apa saja selain berhubungan badan." (Al-Iqna, juz 1, h. 251)

Oleh karena itu, ketika istri haidh masih dibolehkan bersenang-senang dengannya asal di luar wilayah antara pusar dan lutut. Selain area ini dibolehkan tanpa ada batasan, baik memandang, menyentuh dll sebagainya. (Al-Iqna, juz 1, h. 251)

Demikian semoga bemanfaat .
Wallahu A'lam Bish Shawaab....

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...