![]() |
| USTADZUNA FATHURY AHZA MUMTHAZA |
Assalamu ‘alaikum wr wb….Alhamdulillahirabbil’alamin wash shalaatu was salaamu ‘ala asyrafil ambiyai walmursalin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in amma ba’du.
Kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan jama’ah semua, mohon izin untuk membuka kembali pengajian online pagi ini. Masih membahas fasal-fasal akhir bab Thaharah,dan Insyaa Allah pertanyaan-pertanyaan yang belum dijawab akan disertakan.
Untuk itu mohon perkenannya untuk membacakan Surat Al-Faatihah, mudah-mudahan yang kita pelajari ditancapkan di hati kita masing-masing dan menjadi tambahan pemahaman guna meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT…. Al-Faatihah.

Bismillahirrahmanirrahim
Fasal Najis dari Hewan
Semua hewan saat masih hidup suci hukumnya, kecuali anjing dan babi dan hewan-hewan yang lahir dari keduanya atau salah satunya (melalui proses kawin silang atau yang lainnya.) (At-Tadzhib, h. 30) Artinya tatkala tersentuh tidak menajiskan.
Semua hewan saat masih hidup suci hukumnya, kecuali anjing dan babi dan hewan-hewan yang lahir dari keduanya atau salah satunya (melalui proses kawin silang atau yang lainnya.) (At-Tadzhib, h. 30) Artinya tatkala tersentuh tidak menajiskan.

Di sini sedikit tambahan, bahwa Imam Malik (madzhab Maliki) memiliki pendapat sedikit berbeda terkait kenajisan anjing. Menurutnya anjing itu suci, termasuk air liurnya. Hal ini beliau sandarkan pendapatnya pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 4, “Maka makanlah apa yang ditangkankan untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu…” ((Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 153, Al-Wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119)

Al-Jawarih yang diartikan binatang buas pemburu itu, termasuk di dalamnya anjing, macan, dll. Di sini sesungguhnya jumhur ulama sepakat bahwa binatang yang mati karena gigitan hewan pemburu itu halal dikonsumsi. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait seandainya binatang pemburu itu ikut memakan binatang buruannya, misalnya kijang. Syafi’I menegaskan haram secara mutlak, sedangkan ulama lain menghalalkannya, meskipun yang dimakan dalam jumlah yang banyak (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, h. 32)
Sementara itu Abu Hanifah menegaskan bahwa anjing bukanlah najis ‘ainiyah, yang sama sekali tidak bisa dimanfaatkan. Sebaliknya, ia bisa digunakan untuk berburu atau penjaga, karena itu yang najis hanyalah area mulutnya, terutama air liurnya ((Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 1, h. 153, Al-Wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119).
Karena itulah jika kita menemukan di Afrika Utara, banyak orang Islam memelihara anjing, maka jangan heran, karena di sana mayoritas madzhabnya Maliki, karena itu dalam kitab-kitab Maliki, misalnya Bidayatul Mujtahid, tidak disinggung secara khusus mengenai anjing, karena ia disamakan dengan hewan yang lain.
Sementara bagi madzhab Syafi’i dan Hambali tegas mengatakan bahwa anjing sama dengan babi didasarkan kepada hadist “Tatakala wadah salah satu dari kalian dijilat anjing, maka basuhlah 7 kali dan salah satunya dengan tanah.” (Hadist shahih riwayat Bukhari, Muslim, Ad-Daruquthni, Kifayatul Akhyar, h. 56).

Syafi’i dan Hambali mengiyaskan najisnya mulut untuk seluruh anggota badan anjing yang lain. Sebab mulut dipahami sebagai bagian dari anjing yang paling bersih, sedangkan bagian lain mudah sekali terkena kotoran dsb. Karena itu, kenajisan anggota badan lain sudah seharusnya lebih najis lagi dibanding bagian mulutnya. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 1, h. 153-154)
Karena itulah ketika barang-barang kita terjilat anjing dan babi, maka ia harus disucikan dengan dibasuh air 7 kali, dan salah satunya dengan tanah. Imam Syafi’i dan Ahmad, termasuk Imam Adz-Dzahabi membolehkan tanah diganti dengan sabun atau yang sejenisnya (Al_wasith fi Fiqh Al-‘Ibadaati, h. 119)
Sedangkan untuk najis-najis yang tidak sampai ke tingkat anjing dan babi, yang dikenal dengan najis mughalladzah, maka cukup dibasuh satu kali, dan lebih utama lagi dibasuh sampai tiga kali. Hal ini didasarkan pada keterangan hadist Ibnu Umar, shalat pada mulanya diwajibkan 50 kali, demikian pula mensucikan diri dari junub harus tujuh kali mandi, membersihkan diri dari kencing tujuh kali, karena itulah kemudian Rasulullah tak henti-hentinya meminta keringanan, sehingga shalat dijadikan 5 kali, mandi junub cukup sekali, dan membersihkan kencing cukup sekali (HR Abu Daud, At-Tadzhib, h. 31).
Bangkai yang Halal
Tak bisa dibayangkan sesungguhnya, jika permintaan keringanan dari Rasulullah untuk shalat, mandi junub, dan membersihkan najis ditolak oleh Allah, maka sangat memberatkan jika setiap hari shalat 50 kali, junub harus mandi tujuh kali, dan membersihkan najis harus 7 basuhan.
Tak bisa dibayangkan sesungguhnya, jika permintaan keringanan dari Rasulullah untuk shalat, mandi junub, dan membersihkan najis ditolak oleh Allah, maka sangat memberatkan jika setiap hari shalat 50 kali, junub harus mandi tujuh kali, dan membersihkan najis harus 7 basuhan.
Di sisi lain, benda najis lain yang masuk kategori najis mutawasithah adalah bangkai, kecuali bangkai ikan dan belalang, serta mayat manusia. Hal ini didasarkan kepada hadist bahwa Rasulullah menegaskan, “Dihalalakan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.” (At-Tadzhib h. 31 & 241)
Sedikit tambahan bahwa Madzhab Hanafi berpendapat semua bangkai adalah najis, termasuk ikan. Jadi tidak ada pengecualian. Hal ini didasarkan kepada keterangan dalam surat Al-Maidah ayat 3, di mana di sana jelas disebutkan bahwa diharamkan bangkai, darah, dan daging babi. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa pertimbangan Hanafi dalam hal ini adalah karena ketentuan hukum dalam Al-Qur’an bersifat pasti, atau dalam Ushul Fiqh-nya disebut Qath’iyud dalalah, sedangkan hadist bersifat dugaan, Dhanniyyud dalalah. (Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 165)
Meski demikian pendapat Imam Abu Hanifah ini ditepis ulama lain dengan dalil hadist di atas, termasuk hadist lain riwayat Abdillah bin Abi Aufa bahwa ia mengikuti enam atau tujuh perang bersama Rasulullah, dan saat itu mereka makan belalang.
Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam Bish showaab…….




Bismillahirahmanirrahim… Melanjutkan fasal minggu lalu terkait memperlakukan najis.
Baik itu sesuatu yang biasa atau rutin keluar, seperti air kencing atau kotoran. Atau yang tidak rutin, seperti madzi atau wadi. Hal ini berlaku bagi manusia dan semua binatang, baik yang halal dimakan maupun yang tidak.

















Di sini, memandikan mayat dikecualikan bagi mayit orang yang mati syahid (Fathul Qarib hal. 7), sebab ada hadist riwayat Bukhari menegaskan, “Kuburkanlah mereka (syuhada) bersama darah mereka.”
Namun, ada kondisi kebalikan dalam hal ini. Yaitu jika karena satu dan lain hal, misalnya bencana, dan banyak orang meninggal. Sementara yang tinggal di situ ada muslim dan non muslim, sedangkan tidak mungkin mengidentifikasi dan mengenali mana jenazah muslim dan mana jenazah yang non-muslim, sedangkan mayit harus segera dimandikan. Maka dalam hal ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mantsur fil Qawaid Fiqh Syafii (juz 1, h. 203), berlaku kaidah idza ijtama’al waajib wal mahdhur, yuqaddimul waajib, ketika kewajiban dan larangan berkumpul, maka dahulukan kewajiban. Kewajiban di sini adalah memandikan mayit muslim, sedangkan larangannya adalah memandikan mayit non-muslim. Maka demi kemaslahatan berupa kewajiban memandikan mayit muslim, maka mafasadah bercampur dengan mayit non-muslim dikesampingkan, sehingga dimandikan semua, tanpa kecuali.
bahwa ternyata ada dua mayit yang tidak dimandikan dan dishalati yaitu orang yang mati syahid dalam perang dan bayi keguguran yang tidak bergerak (maksudnya tidak diketahui akan kehidupannya). Karena itu yang menjadi patokan adalah ada atau tidaknya kehidupan sebelum bayi itu meninggal. Tandanya adalah bayi itu bersuara atau bergerak, matanya melek, atau meminum sus, maka ia diperlakukan sebagaimana orang dewasa, yaitu dari dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan