Rabu, 13 April 2011

Sandal Jepit Istriku

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang
memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan
lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin
tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau
tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak
bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah.
Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.

"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul.
Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih
dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan
kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya
merebak.

*******

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku.
Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah.
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.
Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus
menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi...
isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa
masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku
yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis,"
batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah
ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa.
Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus,
ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi
isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang
hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap
merebak.

Hamil muda?!?! Subhanallah . Alhamdulillah.

********

Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi...
Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,"
ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

*******

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan.
Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah
kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah
sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak
sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu
yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah
dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang
indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit
sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di
sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini
sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit
kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa
terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa
aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia
pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu
bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.

"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas
menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil
menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna
baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu,
kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan
Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi
isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh
berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*) ku!"
pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang
lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna
gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi
perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan
sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik
di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami
agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel
dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh
itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian
terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat
isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan. kenapa
tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

******

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,
jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.

Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh
isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula
kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena
perhatianku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GHOSHOB

  Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...