Oleh : Uztadz Fathury Ahza Mumthaza
Dalam kajian Rabu Online.
Intinya disebutkan bahwa adzan ini dimaksudkan untuk mengusir atau menghilangkan keburukan-keburukan kondisi tersebut, termasuk kondisi-kondisi lain yang belum disebutkan yaitu pindahan rumah. Sehingga meskipun ada angin besar atau kebakaran tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian. Karena dengan adzan dikumandangkan dipastikan syetan lari terbirit-birit sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah.
Dijelaskan bahwa adzan dianjurkan saat terjadi kebakaran, peperangan, dan mengiringi musafir. Termasuk juga menghadapi orang yang sedang ayan (epilepsi), saat tersesat, saat ada gangguan jin, marah, atau orang yang perangainya buruk dst.
Kedua, apakah takbir bisa memadamkan api? Keterangan soal ini saya belum menemukan. Tetapi jika adzan yang dikumandangkan, iya. Tetapi tidak semata-mata memadamkan, tetapi penghilangkan dampak buruk dari api itu.
Ketiga panjang harokat adzan selain untuk shalat? Terkait soal panjang pendek sebetulnya tinggal mengikuti aturan tajwidnya. Ada cara membaca tartil, di mana membacanya dengan pelan dan panjang. Ada yang disebut dengan at-tadwir dimana bacaannya sedang-sedang saja atau terakhir al-hadr baca cepat.
Nah, adzan dengan al-hadr bisa saja di luar. Artinya adzannya tidak mengalun panjang seperti adzan-adzan biasanya. Yang jelas aturannya di sini adalah kumandang adzannya harus lebih lambat dari iqamahnya. Itu aturan antara adzan dan iqamah. Jadi iqamahnya lebih cepat dibanding adzannya. Nah panjang adzannya berapa? Lihat kembali aturan tajwidnya .
Keempat, bagaimana hukum adzan tengah malam?
Hadist terkait hal ini sangat jelas sebetulnya yaitu إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُو
Arti hadist ini adalah Sesungguhnya Bilal bin Rabbah adzan saat malam. Maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan (subuh). Hadist ini riwayat Ibnu Umar (HR Bukhari dan Muslim, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 552)
Karena itulah sesungguhnya ulama menegaskan bahwa adzan sebelum subuh itu disunahkan sebagaimana yang dikumandangkan oleh Bilal pada zaman Nabi. Hanya madzhab Hanbali saja yang mengatakan bahwa adzan sebelum subuh makruh saat Romadlon karena dikhawatirkan membingungkan umat Islam.
Jumhur ulama mengatakan disunnahkan untuk shalat jamaah ada dua muadzin yang adzan masing-masing sebagaimana yang dipraktekkan Nabi dengan adanya Bilal bin Rabbah dan Ibnu Ummi Maktum. Lebih jauh lagi jika dibutuhkan ada 4 muadzin yang adzan dalam waktu berbeda sebagaimana yang terjadi pada zaman Khaliah Ustman.
OLeh karena itu, sebetulnya hukumnya sunnah jika ada dua muadzin dalam satu masjid, misalnya, adzan di waktu yang berbeda. Karena dengan demikian semakin menguatkan panggilan shalat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 549).
Wallahu a'lam Bish showaab, Semoga bermanfaat.
Dalam kajian Rabu Online.
Adapun sunnah-sunnah yang kerjakan sebelum shalat itu ada dua, yaitu adzan dan iqamah.(At-Tadzhib, h. 53). Pensyariatan adzan dan iqamah ini didasarkan kepada Al-Qur’an, hadist, dan Ijma’. Adapun untuk dalil Al-Qur’annya bisa dilihat pada Al-Maidah ayat 58 dan AL-Jumu’ah ayat 9 (Kifayatul Akhyar, h. 91).
Sedangkan sumber hadist terkait keduanya adalah hadits riwayat al Bukhari (602) dan Muslim (674). dari Malik Ibnu al Huwairits ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Apabila waktu shalat sudah datang, maka hendaklah salah seorang dari kamu mengumandangkan adzan, dan hendaklah ada yang menjadi imam shalat yang tertua di antara kamu”.
Menurut riwayat Abu Dawud (499) dari Abdullah bin Zaid ra. “Apabila kamu iqomah untuk sholat ucapkanlah: "الله أكبر الله أكبر …"
Adapun kalimat adzan sebagai berikut:
"الله أكبر الله أكبر, الله أكبر الله أكبر,
أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله
,أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله
,حي على الصلاة حي على الصلاح
حي على الفلاح حي على الفلاح
الله أكبر الله أكبر, لا إله إلا الله"
Dan digabungkan di dalam adzan shubuh kalimat:
"الصلاة خير من النوم , الصلاة خير من النوم" sesudah: "
حي على الفلاة, " yang kedua.
Kalimat iqomah:
"الله أكبر الله أكبر
, أشهد أن لا إله إلا الله
, أشهد أن محمدا رسول الله,
حي على الصلاة,
حي على الفلاة,
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة,
الله أكبر الله أكبر,
لا إله إلا الله" .
Kalimat adzan dan iqomah sudah baku berdasarkan banyak hadits baik yang diriwayatkan oleh al Bukhary, Muslim dan lain-lain. Bagi orang yang mendengar adzan disunnatkan untuk mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh muadzin.
Anjuran Berdoa Usai Adzan dan Iqamah
Apabila adzan sudah selesai disunnatkan membaca sholawat Nabi saw. dan berdo’a, dengan kalimat yang dijelaskan oleh hadits.
Hadits riwayat Muslim (384) dan lainnya, dari Abdullah bin Amer ra. bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin, lalu bersholawatlah untukku, sesungguhnya barang siapa yang mengucapkan sholawat kepada sekali, maka Allah akan memberikan shoawat kepadanya sepuluh kali, lalu mintakanlah kepada Allah wasilah untukku, sesungguhnya wasilah itu adalah suatu tempat di dalam surga, tidak ada yang pantas menempatinya, kecuali seorang hamba dari hamba Allah, dan aku berharap, bahwa akulah yang dimaksud, barang siapa yang memintakan kepada Allah wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafa’at”.
Hadits riwayat al Bukhari (589), dan lainnya, dari Jabir ra. bahwasanya Rasulullah saw.bersabdaL “Barang siapa yang ketika selesai mendengar adzan mengucapkan:
"اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة, آت محمدا الوسيلة والفضيلة, وابعثه مقاما محمودا الذى وعدته"
(Yaa Allah Tuhan pemilik seruan yang sempurna, dan sholat yang berdiri tegak, datangkanlah kepada Muhammad al wasilah dan fadlilah, dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji, sebagaimana yang telah Engkau janjikan kepada beliau).
Arti rangkaian kata-kata:
Da’watit tammah: seruan untuk bertauhid yang tidak pernah berobah dan tergantikan
_ Alfadlilah_: suatu martabat/kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan semua makhluk.
Maqooman mahmuuda: Terpuji orang yang menempati di dalamnya,
Alladzi wa’adtah: berdasarkan firman Allah: “Pasti Tuhanmu akan membangkitkan engkau di tempat terpuji” (AL-Isra ayat 79).
Dan disunnatkan pula bagi muadzin membaca sholawat kepada Nabi saw. dan berdo’a, dengan suara rendah dan ada tenggang waktu dengan adzan, agar orang tidak ragu atau menduga bahwa itu termasuk kalimat adzan.
Dikecualikan dari mengucapkan kalimat yang sama dengan muadzin, ketika mendengar: "حي على الصلاة" dan "حي على الفلاح" hendaknya pendengar mengucapkan: "لا حول ولا قوة إلا بالله" demikian diriwayatkan oleh al Bukhary (588) dan Muslim (385) dan lainnya. Dan apabila mendengar ucapan: "الصلاة خير من النوم" pendengar mengucapkan: "صدقت وبررت" (Engkau Maha benar dan Maha Pencipta).
Dan disunnatkan pula ketika mendengar iqomah, dan akhirannya, ketika mendengar ucapan: "قد قامت الصلاة" hendaknya pendengar mengucapkan: "أقامها الله وأدامها" (Semoga Allah menegakkannya dan mengekalkannya).
Sedangkan sumber hadist terkait keduanya adalah hadits riwayat al Bukhari (602) dan Muslim (674). dari Malik Ibnu al Huwairits ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Apabila waktu shalat sudah datang, maka hendaklah salah seorang dari kamu mengumandangkan adzan, dan hendaklah ada yang menjadi imam shalat yang tertua di antara kamu”.
Menurut riwayat Abu Dawud (499) dari Abdullah bin Zaid ra. “Apabila kamu iqomah untuk sholat ucapkanlah: "الله أكبر الله أكبر …"
Adapun kalimat adzan sebagai berikut:
"الله أكبر الله أكبر, الله أكبر الله أكبر,
أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن لا إله إلا الله
,أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله
,حي على الصلاة حي على الصلاح
حي على الفلاح حي على الفلاح
الله أكبر الله أكبر, لا إله إلا الله"
Dan digabungkan di dalam adzan shubuh kalimat:
"الصلاة خير من النوم , الصلاة خير من النوم" sesudah: "
حي على الفلاة, " yang kedua.
Kalimat iqomah:
"الله أكبر الله أكبر
, أشهد أن لا إله إلا الله
, أشهد أن محمدا رسول الله,
حي على الصلاة,
حي على الفلاة,
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة,
الله أكبر الله أكبر,
لا إله إلا الله" .
Kalimat adzan dan iqomah sudah baku berdasarkan banyak hadits baik yang diriwayatkan oleh al Bukhary, Muslim dan lain-lain. Bagi orang yang mendengar adzan disunnatkan untuk mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh muadzin.
Anjuran Berdoa Usai Adzan dan Iqamah
Apabila adzan sudah selesai disunnatkan membaca sholawat Nabi saw. dan berdo’a, dengan kalimat yang dijelaskan oleh hadits.
Hadits riwayat Muslim (384) dan lainnya, dari Abdullah bin Amer ra. bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin, lalu bersholawatlah untukku, sesungguhnya barang siapa yang mengucapkan sholawat kepada sekali, maka Allah akan memberikan shoawat kepadanya sepuluh kali, lalu mintakanlah kepada Allah wasilah untukku, sesungguhnya wasilah itu adalah suatu tempat di dalam surga, tidak ada yang pantas menempatinya, kecuali seorang hamba dari hamba Allah, dan aku berharap, bahwa akulah yang dimaksud, barang siapa yang memintakan kepada Allah wasilah untukku, maka dia berhak mendapatkan syafa’at”.
Hadits riwayat al Bukhari (589), dan lainnya, dari Jabir ra. bahwasanya Rasulullah saw.bersabdaL “Barang siapa yang ketika selesai mendengar adzan mengucapkan:
"اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة, آت محمدا الوسيلة والفضيلة, وابعثه مقاما محمودا الذى وعدته"
(Yaa Allah Tuhan pemilik seruan yang sempurna, dan sholat yang berdiri tegak, datangkanlah kepada Muhammad al wasilah dan fadlilah, dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji, sebagaimana yang telah Engkau janjikan kepada beliau).
Arti rangkaian kata-kata:
Da’watit tammah: seruan untuk bertauhid yang tidak pernah berobah dan tergantikan
_ Alfadlilah_: suatu martabat/kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan semua makhluk.
Maqooman mahmuuda: Terpuji orang yang menempati di dalamnya,
Alladzi wa’adtah: berdasarkan firman Allah: “Pasti Tuhanmu akan membangkitkan engkau di tempat terpuji” (AL-Isra ayat 79).
Dan disunnatkan pula bagi muadzin membaca sholawat kepada Nabi saw. dan berdo’a, dengan suara rendah dan ada tenggang waktu dengan adzan, agar orang tidak ragu atau menduga bahwa itu termasuk kalimat adzan.
Dikecualikan dari mengucapkan kalimat yang sama dengan muadzin, ketika mendengar: "حي على الصلاة" dan "حي على الفلاح" hendaknya pendengar mengucapkan: "لا حول ولا قوة إلا بالله" demikian diriwayatkan oleh al Bukhary (588) dan Muslim (385) dan lainnya. Dan apabila mendengar ucapan: "الصلاة خير من النوم" pendengar mengucapkan: "صدقت وبررت" (Engkau Maha benar dan Maha Pencipta).
Dan disunnatkan pula ketika mendengar iqomah, dan akhirannya, ketika mendengar ucapan: "قد قامت الصلاة" hendaknya pendengar mengucapkan: "أقامها الله وأدامها" (Semoga Allah menegakkannya dan mengekalkannya).
ATURAN ADZAN DAN IQAMAH
Adzan dikumandangkan dengan suara yang lantang dengan bacaan yang pelan-pelan. Berbeda dengan iqamah yang dianjurkan agar dibaca cepat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 219). Disebutkan bahwa tartil di dalam adzan juga disunnahkan. At-Taghanni atau melagukan dengan nada dan suara yang indah juga dibolehkan, asalkan tidak sampai merubah makna. Dan jika ini terjadi, maka diharamkan (Fiqh Sunnah, juz 1, h. 85).
Oleh karena itu aturan tentang adzan yang harus dipahami adalah. Pertama, antara kalimat pertama dan berikutnya ada jeda yang memungkinkan cukup waktu bagi yang mendengar adzan untuk menjawabnya.
Kedua, semua kalimat pada bagian akhir adalah termasuk bacaan mad 'aridh lissukun, kecuali bacaan takbir (Allaahu akbar), di mana panjangnya jika mengikuti aturan tajwid panjangnya adalah 6 harakat atau 3 alif. Namun, khusus untuk adzan ini ulama membolehkan lebih dari 3 alif, ada ulama yang membolehkan hingga 5 alif (10 harakat), atau ulama lain menyebut 7 alif (14 harakat). Jadi boleh mengumandangkan "hayya 'alash shalaah" pada kata "laah" lebih dari 2 kali lipat dibanding saat membaca mad 'aridh lissukun pada saat membaca Al-Qur'an.
Khusus untuk takbir sendiri boleh dibaca panjang saat membaca Allaahu, hingga 7 alif, yaitu saat takbir intiqal atau takbir selain takbiratil ihram pada saat shalat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 220)
Ketiga, untuk "laa" pada kalimat "laa ilaha illaLlah", maka ia harus dibaca panjang antara 2-3 alif (4-6 harakat), karena ia termasuk bacaan Mad Jaiz Munfashil. Meskipun dalam membaca Mad Zaiz Munfashil ulama membolehkan 1 alif, 2 alif, dan 3 alif, tetapi oleh ulama, terutama yang mengikuti riwayat Imam Hafs, khusus untuk laa pada laa ilaha illallah, wajib hukumnya membaca panjang lebih dari satu alif. Karena itu ketika mengumandangkan laa, harus panjang.
Keempat, untuk lafadz ilaaha, maka pada huruf laa-nya hanya boleh satu alif tidak boleh lebih.
Kelima, meskipun boleh dibaca washal antara dua takbir, tetapi yang lebih utama adalah dibaca waqaf dalam setiap kalimat takbirnya, sehingga huruf ra'-nya dibaca tebal atau tafkhim, dengan getaran yang disamarkan atau halus, bukan kasar.
Keenam, mahkraj huruf juga harus sesuai dengan aturannya sehingga tidak merubah satu atau dua huruf yang mengakibatkan berubahnya makna adzan yang dikumandangkan.
Adzan dikumandangkan dengan suara yang lantang dengan bacaan yang pelan-pelan. Berbeda dengan iqamah yang dianjurkan agar dibaca cepat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 219). Disebutkan bahwa tartil di dalam adzan juga disunnahkan. At-Taghanni atau melagukan dengan nada dan suara yang indah juga dibolehkan, asalkan tidak sampai merubah makna. Dan jika ini terjadi, maka diharamkan (Fiqh Sunnah, juz 1, h. 85).
Oleh karena itu aturan tentang adzan yang harus dipahami adalah. Pertama, antara kalimat pertama dan berikutnya ada jeda yang memungkinkan cukup waktu bagi yang mendengar adzan untuk menjawabnya.
Kedua, semua kalimat pada bagian akhir adalah termasuk bacaan mad 'aridh lissukun, kecuali bacaan takbir (Allaahu akbar), di mana panjangnya jika mengikuti aturan tajwid panjangnya adalah 6 harakat atau 3 alif. Namun, khusus untuk adzan ini ulama membolehkan lebih dari 3 alif, ada ulama yang membolehkan hingga 5 alif (10 harakat), atau ulama lain menyebut 7 alif (14 harakat). Jadi boleh mengumandangkan "hayya 'alash shalaah" pada kata "laah" lebih dari 2 kali lipat dibanding saat membaca mad 'aridh lissukun pada saat membaca Al-Qur'an.
Khusus untuk takbir sendiri boleh dibaca panjang saat membaca Allaahu, hingga 7 alif, yaitu saat takbir intiqal atau takbir selain takbiratil ihram pada saat shalat (Syarah Muqaddimah Al-Jazariyah, h. 220)
Ketiga, untuk "laa" pada kalimat "laa ilaha illaLlah", maka ia harus dibaca panjang antara 2-3 alif (4-6 harakat), karena ia termasuk bacaan Mad Jaiz Munfashil. Meskipun dalam membaca Mad Zaiz Munfashil ulama membolehkan 1 alif, 2 alif, dan 3 alif, tetapi oleh ulama, terutama yang mengikuti riwayat Imam Hafs, khusus untuk laa pada laa ilaha illallah, wajib hukumnya membaca panjang lebih dari satu alif. Karena itu ketika mengumandangkan laa, harus panjang.
Keempat, untuk lafadz ilaaha, maka pada huruf laa-nya hanya boleh satu alif tidak boleh lebih.
Kelima, meskipun boleh dibaca washal antara dua takbir, tetapi yang lebih utama adalah dibaca waqaf dalam setiap kalimat takbirnya, sehingga huruf ra'-nya dibaca tebal atau tafkhim, dengan getaran yang disamarkan atau halus, bukan kasar.
Keenam, mahkraj huruf juga harus sesuai dengan aturannya sehingga tidak merubah satu atau dua huruf yang mengakibatkan berubahnya makna adzan yang dikumandangkan.
ADZAN DAN IQAMAH UNTUK SELAIN SHALAT FARDLU
Adzan makna secara lughawinya adalah al-i’lam atau pemberitahuan. Tetapi makna ini mengandung makna lebih luas lagi, yaitu adzan juga adalah An-nida’ atau panggilan, ad-du’a (doa, minta sesuatu kepada Allah), dan thalabul iqbal (mohon perkenan atau izin). Makna ini selaras dengan kalimat-kalimat di dalam adzan yang terdiri dari takbir, syahadat, hai’alatani (hayya ‘alash-shalah dan hayya ‘alal falah), dan tatswib (ash-shalaatu khairun minan naum, khusus shubuh). Dari kalimat-kalimat ini hanya hai’alataini yang bermakna ajakan, sedangkan yang lain adalah pujian kepada Allah, pernyataan keimanan, dan nasehat untuk mendahulukan shalat. Karena itulah dari lafadznya, adzan memiliki makna yang luas, sebagaimana disebutkan di awal.(Al-Mausu'ah Al-Fiwhiyyah, juz 2, h. 357)
Adzan dan iqamah pada dasarnya memang diperuntukkan untuk panggilan dan pemberitahuan pada shalat-shalat fardlu. Sedangkan untuk shalat seperti 'Id, gerhana, Istisqa, dan Tarawih panggilannya adalah dengan Ash-shalaatu jaami'ah (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 2, h. 371).
Meski demikian, Madzhab Syafi'i dan sebagian madzhab Maliki memperluas penggunaan adzan untuk hal-hal lain karena tabarrukan (mengambil barakah), meminta pertolongan Allah (isti'naas) dan dengan diqiyaskan berdasarkan beberapa dalil.
Pertama hadist Shahih riwayat Abu Rafi, "Aku melihat Nabi mengadzani telinga Hasan saat dilahirkan oleh Fathimah." (HR Tirmidzi). Kedua Hadist "Siapa saja yang baginya lahir seorang anak, maka adzankanlah di telinga sebelah kanan, dan iqamahlah disebelah kiri, maka Ummush Shibyan (sebutan orang Arab untuk makhluk sebangsa kuntilanak) tidak akan membahayakannya." (HR Abu Ya'la dan Tirmidzi). Hadist Shahih riwayat Abu Hurairah, "Nabi bersabda, "Ketika terdengar panggilan shalat (adzan), maka Syaitan lari terbirit..." (HR Mutafaq Alaihi atau Bukhari Muslim)
Dari dalil-dalil ini tampak jelas bahwa Nabi menyebutkan fungsi adzan yang di luar panggilan shalat, di mana syaitan akan lari tunggang langgang dan gangguan lain juga terhindari. Karena itulah adzan disebut sebagai bagian dari amal utama yang mendekatkan diri kepada Allah, di mana ia memiliki keutamaan dan diberi pahala yang besar bagi yang melafalkannya. Hadist perihal ini cukup banyak, dan insyaallah dibahas khusus nanti pada fasal Adzan, termasuk posisi muadzin yang sangat mulia di sisi Allah, menjadi salah satu dari sedikit manusia yang diistimewakan Allah saat di akhirat nanti.
Karena itulah kemudian para ulama menganjurkan membaca adzan dalam kondisi-kondisi tertentu. Di antaranya saat anak lahir, kebakaran, hujan lebat dan angin kencang, tersesat, jin atau binatang yang sedang ngamuk, saat marah, dan saat menguburkan mayit.
Khusus perihal adzan dan iqamah bagi mayit yang sedang dikuburkan memang di antara ulama terjadi ikhtilaf. Artinya ada yang menganjurkan ada yang tidak. Tetapi mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar bahwa mengadzani mayit itu dianjurkan karena akan meringankan mayit dalam menjawab pertanyaan malaikat di alam barzakh nanti (Hasyiyah AlBaijuri, juz 1, h. 209).
Adzan makna secara lughawinya adalah al-i’lam atau pemberitahuan. Tetapi makna ini mengandung makna lebih luas lagi, yaitu adzan juga adalah An-nida’ atau panggilan, ad-du’a (doa, minta sesuatu kepada Allah), dan thalabul iqbal (mohon perkenan atau izin). Makna ini selaras dengan kalimat-kalimat di dalam adzan yang terdiri dari takbir, syahadat, hai’alatani (hayya ‘alash-shalah dan hayya ‘alal falah), dan tatswib (ash-shalaatu khairun minan naum, khusus shubuh). Dari kalimat-kalimat ini hanya hai’alataini yang bermakna ajakan, sedangkan yang lain adalah pujian kepada Allah, pernyataan keimanan, dan nasehat untuk mendahulukan shalat. Karena itulah dari lafadznya, adzan memiliki makna yang luas, sebagaimana disebutkan di awal.(Al-Mausu'ah Al-Fiwhiyyah, juz 2, h. 357)
Adzan dan iqamah pada dasarnya memang diperuntukkan untuk panggilan dan pemberitahuan pada shalat-shalat fardlu. Sedangkan untuk shalat seperti 'Id, gerhana, Istisqa, dan Tarawih panggilannya adalah dengan Ash-shalaatu jaami'ah (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 2, h. 371).
Meski demikian, Madzhab Syafi'i dan sebagian madzhab Maliki memperluas penggunaan adzan untuk hal-hal lain karena tabarrukan (mengambil barakah), meminta pertolongan Allah (isti'naas) dan dengan diqiyaskan berdasarkan beberapa dalil.
Pertama hadist Shahih riwayat Abu Rafi, "Aku melihat Nabi mengadzani telinga Hasan saat dilahirkan oleh Fathimah." (HR Tirmidzi). Kedua Hadist "Siapa saja yang baginya lahir seorang anak, maka adzankanlah di telinga sebelah kanan, dan iqamahlah disebelah kiri, maka Ummush Shibyan (sebutan orang Arab untuk makhluk sebangsa kuntilanak) tidak akan membahayakannya." (HR Abu Ya'la dan Tirmidzi). Hadist Shahih riwayat Abu Hurairah, "Nabi bersabda, "Ketika terdengar panggilan shalat (adzan), maka Syaitan lari terbirit..." (HR Mutafaq Alaihi atau Bukhari Muslim)
Dari dalil-dalil ini tampak jelas bahwa Nabi menyebutkan fungsi adzan yang di luar panggilan shalat, di mana syaitan akan lari tunggang langgang dan gangguan lain juga terhindari. Karena itulah adzan disebut sebagai bagian dari amal utama yang mendekatkan diri kepada Allah, di mana ia memiliki keutamaan dan diberi pahala yang besar bagi yang melafalkannya. Hadist perihal ini cukup banyak, dan insyaallah dibahas khusus nanti pada fasal Adzan, termasuk posisi muadzin yang sangat mulia di sisi Allah, menjadi salah satu dari sedikit manusia yang diistimewakan Allah saat di akhirat nanti.
Karena itulah kemudian para ulama menganjurkan membaca adzan dalam kondisi-kondisi tertentu. Di antaranya saat anak lahir, kebakaran, hujan lebat dan angin kencang, tersesat, jin atau binatang yang sedang ngamuk, saat marah, dan saat menguburkan mayit.
Khusus perihal adzan dan iqamah bagi mayit yang sedang dikuburkan memang di antara ulama terjadi ikhtilaf. Artinya ada yang menganjurkan ada yang tidak. Tetapi mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar bahwa mengadzani mayit itu dianjurkan karena akan meringankan mayit dalam menjawab pertanyaan malaikat di alam barzakh nanti (Hasyiyah AlBaijuri, juz 1, h. 209).
beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana shalat qabliyah, lalu iqamah dikumandangkan?
2. Takbir bisa memadamkan api?
3. Adzan jika ada angin besar?
4. Adzan sebelum shalat subuh?
5. Bolehkah adzan melepas pengantin pindahan rumah dll?
6. Panjang harokat adzan saat mengadzankan mayit?
7. Terkait shalat sunnah wudlu beserta hadistnya?
1. Bagaimana shalat qabliyah, lalu iqamah dikumandangkan?
2. Takbir bisa memadamkan api?
3. Adzan jika ada angin besar?
4. Adzan sebelum shalat subuh?
5. Bolehkah adzan melepas pengantin pindahan rumah dll?
6. Panjang harokat adzan saat mengadzankan mayit?
7. Terkait shalat sunnah wudlu beserta hadistnya?
Pertama karena ada kesamaan pertanyaan yaitu adzan apakah dianjurkan saat ada angin besar, melepas pengantin pindahan rumah, dan seterusnya. Keterangan yang cukup runtut bisa dibaca dalam Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 562.
Intinya disebutkan bahwa adzan ini dimaksudkan untuk mengusir atau menghilangkan keburukan-keburukan kondisi tersebut, termasuk kondisi-kondisi lain yang belum disebutkan yaitu pindahan rumah. Sehingga meskipun ada angin besar atau kebakaran tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian. Karena dengan adzan dikumandangkan dipastikan syetan lari terbirit-birit sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah.
Kedua, apakah takbir bisa memadamkan api? Keterangan soal ini saya belum menemukan. Tetapi jika adzan yang dikumandangkan, iya. Tetapi tidak semata-mata memadamkan, tetapi penghilangkan dampak buruk dari api itu.
Ketiga panjang harokat adzan selain untuk shalat? Terkait soal panjang pendek sebetulnya tinggal mengikuti aturan tajwidnya. Ada cara membaca tartil, di mana membacanya dengan pelan dan panjang. Ada yang disebut dengan at-tadwir dimana bacaannya sedang-sedang saja atau terakhir al-hadr baca cepat.
Nah, adzan dengan al-hadr bisa saja di luar. Artinya adzannya tidak mengalun panjang seperti adzan-adzan biasanya. Yang jelas aturannya di sini adalah kumandang adzannya harus lebih lambat dari iqamahnya. Itu aturan antara adzan dan iqamah. Jadi iqamahnya lebih cepat dibanding adzannya. Nah panjang adzannya berapa? Lihat kembali aturan tajwidnya .
Keempat, bagaimana hukum adzan tengah malam?
Hadist terkait hal ini sangat jelas sebetulnya yaitu إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُو
Arti hadist ini adalah Sesungguhnya Bilal bin Rabbah adzan saat malam. Maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan (subuh). Hadist ini riwayat Ibnu Umar (HR Bukhari dan Muslim, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 552)
Karena itulah sesungguhnya ulama menegaskan bahwa adzan sebelum subuh itu disunahkan sebagaimana yang dikumandangkan oleh Bilal pada zaman Nabi. Hanya madzhab Hanbali saja yang mengatakan bahwa adzan sebelum subuh makruh saat Romadlon karena dikhawatirkan membingungkan umat Islam.
Jumhur ulama mengatakan disunnahkan untuk shalat jamaah ada dua muadzin yang adzan masing-masing sebagaimana yang dipraktekkan Nabi dengan adanya Bilal bin Rabbah dan Ibnu Ummi Maktum. Lebih jauh lagi jika dibutuhkan ada 4 muadzin yang adzan dalam waktu berbeda sebagaimana yang terjadi pada zaman Khaliah Ustman.
OLeh karena itu, sebetulnya hukumnya sunnah jika ada dua muadzin dalam satu masjid, misalnya, adzan di waktu yang berbeda. Karena dengan demikian semakin menguatkan panggilan shalat (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu juz 1 h. 549).
Wallahu a'lam Bish showaab, Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar