Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob sesuai definisi ulama fiqh. Oleh karena itu, perlu dipahami dulu maknanya.
Pengertian Ghoshob
Ghoshob secara bahasa adalah
أخذ الشيء ظلماً مجاهرة
Mengambil sesuatu secara dhalim dengan cara terang-terangan. (Fath Al-Qarib, hal. 36)
Sedangkan makna ghoshob secara syara’ adalah:
الاستيلاء على حق الغير عدواناً
Menguasai hak orang lain dengan cara dhalim.(Fath Al-Qarib, hal. 36)
Dilihat dari makna bahasa maupun syara’ hampir tidak ada perbedaan.
Dalam pandangan syariat, ghoshob adalah salah satu dosa besar. Ayat yang mengharamkan ghoshob cukup banyak. Di antaranya adalah Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (At-Tadzhib, hal. 139)
Batasan Menguasai
Ulama menegaskan bahwa standar seseorang dianggap menguasai barang milik orang lain disesuaikan dengan ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. (Fath Al-Qarib, hal. 37)
Artinya, jika seseorang mengambil tangga rumah sebelahnya, tanpa sepengetahuan pemilik, untuk membetulkan lampu di rumah. Dua jam kemudian dikembalikan, dan pemilik tidak mempermasalahkan, maka hal ini tidak masuk kategori menguasai, yang dilarang dalam ghoshob. Apalagi, dalam istilah lain disertai adanya 'ulima biridlahu, atau diketahui kerelaan dari si pemilik, maka tidak bisa dikategorikan sebagai ghoshob.
Justru, termasuk ghoshob di sini, sebagaimana kisah Presiden Soekarno, dalam buku Berangkat dari Pesantren, yang meminta pendapat Kiai Wahab Hasbullah Jombang Jawa Timur terkait penguasan Belanda terhadap Irian Barat. Bung Karno kemudian menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat.
Kiai Wahab pun menjawab, “Hukumnya sama dengan orang yang ghoshob”.
Apa artinya ghoshob itu pak kiai? Tanya Bung Karno. "Ghoshob itu istihqaqu malil ghair bighairi idznihi (menguasai hak milik orang lain tanpa izin)," jawab Kiai Wahab.
Lalu bagaimana solusinya untuk menghadapi orang yang ghoshob?
“Adakan perdamaian” jawab Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, menurut insting pak Kiai apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?
“Tidak,” jawab Kiai Wahab.
Lalu mengapa kita tidak potong kompas saja pak Kiai? Kata Bung Karno. “Tidak boleh potong kompas dari syariah,” jawab kiai Wahab.
Selanjutnya, sesuai anjuran Kiai Wahab untuk berunding dengan Belanda, Bung Karno mengutus Subandrio untuk mengadakan perundingan konflik Irian Barat dengan Belanda. Perundingan itu pun akhirnya gagal. Kegagalan ini kemudian disampaikan Bung Karno kepada Kiai Wahab.
Lalu Bung Karno bertanya lagi, pak kiai apa solusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Irian Barat? Kiai Wahab menjawab, “Akhadzahu qahran” (ambil/kuasai dengan paksa).
Bung Karno bertanya lagi, apa rujukan pak Kiai dalam memutuskan masalah ini? Kemudian Kiai Wahab menjawab, “Saya mengambil literatur kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Baijuri).
Setelah Bung Karno mantap dengan pendapat Kiai Wahab agar Irian Barat direbut dengan paksa, kemudian Bung Karno membentuk tiga komando rakyat (Trikora) untuk diberangkatkan merebut Irian Barat.
Inilah ghoshob dalam skala besar, di mana sebuah Negara menguasai wilayah Negara lain. Dalam skala yang kecil adalah ketika seseorang menguasai tanah orang lain dengan paksa. Atau menguasai benda milik orang lain dengan paksa. Ini juga ghoshob, yang diharamkan. Mencuri, menurut Al-Baijuri, termasuk dalam pengertian ini. ((Hasyiah Al-Baijuri, juz 2, hal. 11)
Benda Ghoshob
Termasuk hak orang lain adalah sesuatu yang sah untuk dighoshob yang berupa barang-barang selain harta seperti kulit bangkai.(Fath Al-Qarib, hal. 36) Termasuk di sini sandal, tangga, dan lain sebagainya, yang secara sah dimiliki seseorang.
Konsekuensi Ghoshob
Barang siapa mengghoshob harta seseorang, maka ia bisa dipaksa untuk mengembalikannya. Oleh karena itu, jika ada yang mengghoshob harta seseorang, maka wajib baginya untuk mengembalikan pada pemiliknya, walaupun dalam pengembalian tersebut ia harus menanggung berlipat-lipat dari harga barang tersebut. Dan ia juga wajib mengganti rugi kekurangan barang tersebut jika memang terjadi kekurangan seperti orang yang mengghoshob pakaian kemudian ia pakai, atau menjadi kurang tanpa ada pemakaian. Dan juga wajib membayar ongkos standar dari penyewaan harta yang ia ghoshob.
Sedangkan seandainya nilai barang yang dighoshob menjadi kurang sebab turunnya harga di pasaran, maka orang yang mengghoshob tidak wajib menggantinya menurut pendapat yang shahih.
Barang yang Di-ghoshob Rusak
Jika barang yang dighoshob rusak, maka orang yang mengghoshob harus mengganti dengan barang yang sesuai jika memang barang yang dighoshob tersebut memiliki padanannya.
Atau orang yang mengghoshob harus mengganti sesuai harga barang yang dighoshob jika memang barang tersebut tidak memiliki padanannya, dengan artian barang itu adalah barang yang memiliki harga dan berbeda-beda harganya, dengan ganti rugi harga yang tertinggi sejak hari pertama mengghoshob hingga hari di mana barang tersebut rusak.
Wallahu alam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar