Tindakan Bakorpakem yang ingin membubarkan Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore agaknya tepat namun terlembat. Mengapa terlambat?, saya katakan demikian karena fatwa dari berbagai negara-negara yang mayoritas Islam sudah sejak zaman dahulu kala mencap bahwa Ahamdiyah merupakan aliran di luar Islam. Dari berbagai buku-buku, website, maupaun selebaran yang diterbitkan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (Qadiyan) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Lahore) pada dasarnya memang sudah sangat melenceng dari kaidah Islam yang sebenarnya. Kita mungkin tak perlu repot-repot menguji keabsahan ajaran Ahmadiyah, jika memang Ahmadiyah bersedia mendirikan agama baru di luar Islam, karena jika sudah berbeda agama, bagaimana mungkin umat Islam akan mencampuri urusan agama lain? Kecuali agama Islam di campuri dan disakiti duluan.
Hari ini saya membaca sebuah surat kabar nasional. Ketika saya membaca perihal Ahmadiyah, saya terkejut membaca pembelaan Ahmadiyah mengenai kesesatan dirinya. Dengan mengancam akan melaporkannya ke PBB.
Ahmadiyah sembari mengadakan pembelaan terhadap statemen 12 butir tersebut. Salah satu pentolan Ahmadiyah di dalam harian tersebut mengatakan seperti yang di sarikan harian tersebut:
"Juru bicara JAI, Ahmad Mubarik, menyatakan keyakinannya dilecehkan dan diputarbalikkan secara sengaja. “Kami sedih dan malu dengan sikap pemerintah yang seperti ini”
“Ia membantah tuduhan JAI tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir. “Itu bohong. Dusta. Tidak pernah dalam keyakinan kami sejak 100 tahun lalu menyatakan Mirza Ghulam Ahmad pengganti Nabi Muhammad SAW.”
“Menurut dia, JAI meyakinkan Muhammad sebagai Nabi terakhir dalam membawa syariat, tidak ada syariat baru lagi karena sudah sempurna.”
Hebat, fantastis, menajubkan! Sebuah permainan kata-kata yang terlihat namun isinya keropos. Salah satu pentolan Ahmadiyah ini sengaja bermain kata-kata karet agar tampak seolah-olah Ahmadiyah mengakui bahwa nabi terakhir adalah Muhammad. Padahal dalam berbagai tempat sudah jelas sekali bahwa Ahmadiyah mengakui bahwa akan datang nabi yang tidak membawa syariat, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, kita dapat lihat statemen Saleh A. Nahdi, pentolan Ahmadiyah kedua setelah Syafi R Batuah, berikut ini:
"Imam Mahdi dan Almasih jang dijanjikan jang sudah bangkit itu orangnja adalah Hazrat Mirza Gulam Ahmad a.s. pendiri Ahmadiyah. Beliau tidak datang sebagai Nabi baru dalam arti, bahwa beliau mengganti, merobah, menambah atau mengurangi adjaran Islam." (Soal-Djawab Ahmadiyah oleh: Saleh A. Nahdi hal.100).
Berarti Mirza Ghulam Ahmad datang sebagai Nabi baru dalam arti dia tidak mengganti, tidak merobah, tidak menambah atau mengurangi ajaran Islam. Ungkapan yang tepat untuk statemen Ahmadiyah ini bahwasanya Muhammad SAW nabi terakhir pembawa syariat dan Mirza Ghulam Ahmad nabi setelah Muhammad yang non syariat.
Selain itu, Ahmadiyah juga mengklaim bahwasannya nama Ahmad pada surat Ash Shaff ayat 6 ditujukan kepada 2 orang, yaitu nabi Muhammad SAW dan Mirza Ghulam Ahmad. Jadi versi Ahmadiyah, nabi Muhammad di dalam surat tersebut juga bisa mengenai dirinya, sekarang dari titik tolak Ahmadiyah ini berimplikasi pada 2 poin: Syahadat Ahmadiyah dan Klaim Ahmad=Muhammad=Mirza Ghulam Ahmad.
Ada baiknya kita lihat dahulu surat Ash Shaff ayat 6 tersebut:
"Dan ketika Isa putera Maryam berkata: "Hai keturunan Isarel, Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kalian, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad. Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (Q.S. Ash Shaff: 6)
Oleh Ahmadiyah, ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:
Nama Muhammad mencerminkan sifat jalali (kebesaran dan keagungan)…akan tetapi, nama Ahmad mempunyai sifat jamali (keindahan).Tetapi sebagai mana diramalkan di akhir zaman, akan ada lagi penjelmaan dari nama Ahmad. (Gerakan Ahmadiyah hal. 25). Versi Ahmadiyah Lahore.
“Bahwa nama Hazrat Masih Maud a.s. sebenarnya adalah Ahmad, sekali pun nama lengkap beliau adalah Mirza Ghulam Ahmad, ternyata dari suatu peristiwa sejarah. Ayahanda dari Masih Maud ialah Mirza Ghulam Murtadha. Ia mempunyai dua orang putera dan beliau memberikan nama Mirza Ghulam Qadir kepada yang besar dan nama Mirza Ghulam Ahmad kepada yang kecil. Mirza Ghulam Murtadha mendirikan dua daerah pedesaan yang dinamainya dengan nama kedua orang puteranya. Daerah yang satu dinamainya Qadirabad dan yang lain dinamainya Ahmadabad. Dari peristiwa ini nyatalah bahwa bagi Mirza Ghulam Murtadha nama asli dari kedua puteranya masing-masing ialah Qadir dan Ahmad.”(Syafi R. Batuah, Tanggapan Atas Buku Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah).
“Orang-orang ini bertanya berulang-ulang di mana dalam Al-Quran nama itu disebutkan. Tampaknya mereka tidak mengetahui bahwa Allah memanggilku dengan nama Ahmad. Janji baiat diambil dengan nama Ahmad. Bukankah nama ini terdapat dalam Al-Quran?". (Al-Hakam, 17 Oktober 1905, h. 10). (Syafi R. Batuah, Tanggapan Atas Buku Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah).
Penjelasan yang mantap dan tegas mengenai hal ini diberikan oleh Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a.: Dari kutipan-kutipan ini kita dapat melihat bahwa Masih Maud mengenakan nubuwatan ini pada diri beliau sendiri. Kini tinggallah persoalan kenapa beliau juga mengenakan itu pada diri Nabi Muhammad? Jawabannya ialah apa jua pun nubuwatan-nubuwatan yang terdapat mengenai kebangkitan dan kemajuan ummat beliau, pada tingkat pertama itu terutama sekali berlaku terhadap beliau. Kalau beliau bukan Ahmad yang disebutkan di sini mana mungkin Masih Maud dapat menjadi Ahmad tertentu itu? Pada hal apa pun yang sudah diterima Masih Maud semuanya datang kepada beliau dari Nabi Muhammad s.a.w. dan dengan perantaraan beliau. (Syafi R. Batuah, Tanggapan Atas Buku Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah).
Dari keterangan-keterangan di atas dapatlah diambil kesim pulan bahwa menurut paham Ahmadiyah nama Ahmad yang terdapat Surah As-Shaf dapat dikenakan pada Nabi Muhammad s.a.w. dan pada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Masih Maud dan Imam Mahdi pada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nama sifati dan pada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai nama dzati. (Syafi R. Batuah, Tanggapan Atas Buku Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah).
Implikasi dari penafsiran diatas membawa dampak bahwasanya Muhammad dan Ahmad adalah sama-sama di nubuatkan dalam Ash Shaff ayat 6, dengan standar ganda ini, dapat kita lihat bahwasanya Ahmadiyah masih mengklaim bahwa utusan yang akan datang itu Mirza Ghulam Ahmad pula. Sekarang dimanakah poin kebenaran Ahmadiyah yang dimuat di dalam 12 butir pernyataan itu setelah fakta-fakta berbicara?
Ahmadiyah juga mengklaim bahwasannya Tadzkirah hanyalah mimpi-mimpi Mirza Ghulam Ahmad yang di bukukan. Apakah sekedar mimpi? Ternyata tidak demikian, di dalam Tadzkirah sendiri dapat kita lihat bahwasanya Tadzkirah merupakan wahyu suci kepada Mirza Ghulam Ahmad. Kita dapat simak pada kutipan Tadzkirah berikut ini:
Dari kutipan Tadzkirah di atas dapat kita baca bahwasanya “Tadzkirah ya’ni Wahyi Muqoddas wa Ru’ya wa Kasyaf Hadhiroh Masih Maw’ud alaihi sholawat was salam”. Masihkah Ahmadiyah bermimipi bahwasanya Tadzkirah kumpulan mimpi biasa? Bukan wahyu suci?, akal pikiran yang sehat dan hati nurani yang bersih pasti mengetahui yang sebenarnya. Sebaiknya jika Ahmadiyah jujur dan mengakui kekhilafan ini dan bertaubat kepada Allah maka niscaya Allah akan memaafkan dan jika Ahmadiyah tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan ingin berkelit dengan permainan kata-kata, sebaiknya Ahmadiyah menghapus seluruh data-data, membredel buku-buku Ahmadiyah, serta menarik seluruh tulisan yang di buat oleh tokoh-tokoh Ahmadiyah yang dapat memberatkan dan menelanjangi aqidah Ahmadiyah sendiri, ibarat senjata makan tuan. Wallahu ‘alam bi showab
Link paralel terhadap artikel ini: http://swaramuslim.com/more.php?id=5931_0_15_0_M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar