HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI 2
Pada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jama’ah sekalian mohon izin memulai pengajian online Rabu pagi… Mudah-mudahan membantu kita semua untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya… Amiin. Untuk itu, mohon perkenannya untuk membacakan Ummul Qur’an, Al-Fatihah……
Bismillahirrahmanirrahim.. Masih menjelaskan seputar hal-hal yang mewajibkan mandi. Sebagaimana minggu lalu telah dijelaskan bahwa ada tiga sebab yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu bertemunya dua alat kelamin, keluar mani dan meninggal. Ketiga hal ini menyebabkan orang mandi, dua pertama mandi sendiri, sedangkan yang ketiga dimandikan oleh orang lain
Khusus di dalam menghadapi orang yang mati, ada beberapa hal dianjurkan. Di antaranya, kita dianjurkan untuk memejamkan kedua matanya, jika tampak saat meninggal masih terbuka. Disunahkan pula untuk memastikan sebenar-benarnya bahwa kematian telah menjemput si mayit, terutama bagi orang tenggelam atau sakit. Jangan sampai sesungguhnya mayit belum meninggal tapi sudah dianggap mati, karena itu dibutuhkan keterangan ahli, misalnya dokter.(Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 503)
Di sini, memandikan mayat dikecualikan bagi mayit orang yang mati syahid (Fathul Qarib hal. 7), sebab ada hadist riwayat Bukhari menegaskan, “Kuburkanlah mereka (syuhada) bersama darah mereka.” Karena itu, jika ditemukan ada orang yang mati syahid namun dalam kondisi junub. Artinya sebelum perang ternyata dia telah junub lebih dulu dan belum sempat mandi. Maka inilah yang disebut dalam kaidah fiqhiyyah sebagai bertemunya antara tuntutan dan larang sekaligus, yaitu perintah mandi bagi orang junub, sekaligus larangan bagi mati syahid. Dalam kondisi ini maka berlaku kaidah Idza Ta’aradhal Maani’ wal muqtadha, quddima l maani’ “Ketika larangan dan tuntutan saling berlawanan, maka yang didahulukan adalah larangan. Karena itu orang yang mati syahid, tapi junub, maka tetap tidak boleh dimandikan (Al-Ashbah Wan Nadhair, h. 223).Namun, ada kondisi kebalikan dalam hal ini. Yaitu jika karena satu dan lain hal, misalnya bencana, dan banyak orang meninggal. Sementara yang tinggal di situ ada muslim dan non muslim, sedangkan tidak mungkin mengidentifikasi dan mengenali mana jenazah muslim dan mana jenazah yang non-muslim, sedangkan mayit harus segera dimandikan. Maka dalam hal ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mantsur fil Qawaid Fiqh Syafii (juz 1, h. 203), berlaku kaidah idza ijtama’al waajib wal mahdhur, yuqaddimul waajib, ketika kewajiban dan larangan berkumpul, maka dahulukan kewajiban. Kewajiban di sini adalah memandikan mayit muslim, sedangkan larangannya adalah memandikan mayit non-muslim. Maka demi kemaslahatan berupa kewajiban memandikan mayit muslim, maka mafasadah bercampur dengan mayit non-muslim dikesampingkan, sehingga dimandikan semua, tanpa kecuali.
Bagaimana dengan mayat yang dimutilasi, bagaimana memandikannya?
Bicara bagaimana mandinya, sebetulnya nanti akan dibahas dalam perihal kewajiban terhadap mayit, ada di bagian akhir bab shalat. Karena itu, di sini singkat saja untuk menjawabnya… Pertama, perihal mayat yang dimutilasi, maka jika memungkinkan mayat disatukan bagian-bagian yang termutilasi sehingga menjadi kesatuan. Disambung bisa dengan dijahit atau upaya yang lain, bahasanya lufiqa ba’dhuha ila ba’dhin. Dan jika tidak ada halangan untuk memandikan, yaitu terlepas atau terkelupasnya bagian dari tubuh mayit, maka tetap dimandikan setiap bagian itu, meskipun bagian itu kecil ukurannya, misalnya giginya. Namun, jika dimandikan menjadikan tubuh mayit itu rusak atau lepas, maka bisa diganti dengan tayammum, di antaranya mayit yang terbakar atau sudah hancur karena zat-zat tertentu, atau memang lama baru ditemukan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 2, h. 463)
Pilihan tayammum termasuk bagi mayit korban kecelakaan, yang mengalami kerusakan berat, dan jika dimandikan akan merusak bagian tubuhnya, maka ditayammumi. Jika sudah, dan bila sulit disatukan dengan dijahit atau upaya yang lain, maka dikumpulkan dalam satu kafan, itu sudah mencukupi.
Pilihan tayammum termasuk bagi mayit korban kecelakaan, yang mengalami kerusakan berat, dan jika dimandikan akan merusak bagian tubuhnya, maka ditayammumi. Jika sudah, dan bila sulit disatukan dengan dijahit atau upaya yang lain, maka dikumpulkan dalam satu kafan, itu sudah mencukupi.
Pertanyaannya menarik, bagaimana dengan hasil amputasi? Artinya ada orang yang karena pertimbangan medis bagian tubuhnya dipotong.
Dalam hal ini, yang harus diingat adalah hal yang mewajibkan mandi adalah al-maut atau kematian. Inilah yang menyebabkan seseorang berhadast besar, sehingga wajib mandi atau tepatnya dimandikan. Karena itu, jika yang ditemukan adalah bagian tubuh manusia yang masih hidup, tentu perlakuannya berbeda. Seperti halnya gigi. Kalau berasal dari gigi orang mati, maka perlakuannya seperti pada orang mati, yaitu dimandikan, dishalati, dikafani, dan dimandikan. Ini didasarkan pada praktek para sahabat, di antaranya Umar bin Khattab yang bahkan menshalati tulang-tulang muslim yang ditemuinya. Atau sahabat lain menshalati beberapa kepala korban perang. Atau beberapa sahabat yang menshalati bagian tangan Abdurrahman bin ‘Uttab, korban perang Jamal, yang dijatuhkan oleh burung. inilah pendapat Syafii dan Hambali. Meskipun Maliki misalnya mensyaratkan bagian tubuh itu minimal sepertiga jasad. Sedangkan jika gigi itu tanggal dari mulut kita (seperti pengalaman waktu kecil), maka tidak ada kewajiban sebagaimana bagian tubuh orang meninggal. Biasanya kita cukup membersihkan dan menguburkannya. Nah, bagian yang teramputasi, sama perlakukannya dengan gigi kita yang tanggal itu (Al-Mausu’ah AL-Fiqhiyyah, juz 38, h. 423)
Bagaimana dengan bayi yang keguguran baru 4 bulan? Ada keterangan dalam Kifayatul Akhyar, h. 196 bahwa ternyata ada dua mayit yang tidak dimandikan dan dishalati yaitu orang yang mati syahid dalam perang dan bayi keguguran yang tidak bergerak (maksudnya tidak diketahui akan kehidupannya). Karena itu yang menjadi patokan adalah ada atau tidaknya kehidupan sebelum bayi itu meninggal. Tandanya adalah bayi itu bersuara atau bergerak, matanya melek, atau meminum sus, maka ia diperlakukan sebagaimana orang dewasa, yaitu dari dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan
Lebih jauh jika dikaitkan dengan usia kandungan, maka jika di bawah umur 4 bulan atau pun pas umur 4 bulan, dan memang usia itu belum ada kehidupan dan faktanya tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka jika meninggal cukup dikafani dan dikuburkan. Tetapi jika usia janin adalah 6 bulan ke atas, maka menurut Imam Ramli, wajib diperlakukan komplit, dr dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan (Al-Mausu’ah Alfiqhiyyah, juz 16, h. 123)
Lebih jauh jika dikaitkan dengan usia kandungan, maka jika di bawah umur 4 bulan atau pun pas umur 4 bulan, dan memang usia itu belum ada kehidupan dan faktanya tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka jika meninggal cukup dikafani dan dikuburkan. Tetapi jika usia janin adalah 6 bulan ke atas, maka menurut Imam Ramli, wajib diperlakukan komplit, dr dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan (Al-Mausu’ah Alfiqhiyyah, juz 16, h. 123)
Pertanyaan, bagaimana hukumnya minum susu istri, apakah menyebabkan seseorang menjadi mahram radha’ bagi istrinya?
Memang di sini perlu hati-hati, sebab minum susu dari seorang perempuan dengan syarat-syarat tertentu dapat menjadikan seseorang bermahram dengannya, sehingga haram untuk menikah. Di antara syaratnya adalah jika menyusu kepada perempuan itu minimal telah dilakukan selama 5 kali, maka menyebabkannya menjadi mahram. Namun, yang terpenting, sesuai pertanyaan di atas, ada syarat kedua, yaitu orang yang menyusu itu usianya di bawah 2 tahun, artinya masih bayi. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat Ad-Daraquthni, “Tidak ada (mahram) radha’ kecuali bagi yang berumur dua tahun.” Karena itu, jika ada seseorang, karena memang ada kesempatan meminum susu istrinya, bahkan hingga lebih 5 kali, maka tidak menyebabkannya menjadi mahram radha’ bagi istrinya, karena ia sudah masuk kategori di atas dua tahun. Kecuali jika lelaki itu dinikahkan saat berumur di bawah 2 tahun dengan perempuan yang sedang menyusui. Maka jika ia meminum susu dari perempuan itu lebih dari 5 kali, maka batallah pernikahannya. (kifayatul Akhyar), h. 518.
Memang di sini perlu hati-hati, sebab minum susu dari seorang perempuan dengan syarat-syarat tertentu dapat menjadikan seseorang bermahram dengannya, sehingga haram untuk menikah. Di antara syaratnya adalah jika menyusu kepada perempuan itu minimal telah dilakukan selama 5 kali, maka menyebabkannya menjadi mahram. Namun, yang terpenting, sesuai pertanyaan di atas, ada syarat kedua, yaitu orang yang menyusu itu usianya di bawah 2 tahun, artinya masih bayi. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat Ad-Daraquthni, “Tidak ada (mahram) radha’ kecuali bagi yang berumur dua tahun.” Karena itu, jika ada seseorang, karena memang ada kesempatan meminum susu istrinya, bahkan hingga lebih 5 kali, maka tidak menyebabkannya menjadi mahram radha’ bagi istrinya, karena ia sudah masuk kategori di atas dua tahun. Kecuali jika lelaki itu dinikahkan saat berumur di bawah 2 tahun dengan perempuan yang sedang menyusui. Maka jika ia meminum susu dari perempuan itu lebih dari 5 kali, maka batallah pernikahannya. (kifayatul Akhyar), h. 518.
Wallahu A'lam Bis Showaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar