Nara Sumber : Ustdzuna Fathury Ahza Mumthaza.
Adapun hukum udhiyyah atau qurban itu sunnah muakkadah, atau sunnah yang sangat dianjurkan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar ayat 2, "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." Demikian pula dalam satu hadist Bukhari Muslim diriwayatkan dari Anas, "“Bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.”
Selain dari Al-Qur'an ini, qurban juga ditetapkan hukumnya oleh Ijma' shahabat dan ulama akan pensyariatannya, meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melaksanakannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, 597). Adapun waktu pertama kali disyariatkan adalah pada tahun kedua hijriyah, sama dengan disyariatkannya shalat 2 'Id, zakat mal, dan zakat fitrah.(Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
Keterangan lain disebutkan dari madzhab Hanafi, bahwa hukum qurban adalah sunnah 'ain muakkadah, yang artinya orang yang meninggalkannya atau tidak melakukannya tidak disiksa di neraka, tetapi tidak akan mendapat syafa'at dari Nabi Muhammad SAW, karena itulah Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa qurban wajib hukumnya. Sedangkan Madzhab Syafi'i mendetailkan bahwa hukum qurban itu sunnah 'ain bagi setiap muslim, artinya sunnah bagi setiap individu. Namun, bagi keluarga, maka hukumnya sunnah kifayah, artinya jika ada salah satu sudah melakukannya, maka yang lain gugur dari kesunnahan tersebut pada waktu itu. Tetapi pada waktu berikutnya kesunnahan tetap ada bagi setiap anggota keluarga lainnya. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
Assalamu'alaikum Wr Wb... Alhamdulillahirabil'alamiin wash-shalaatu
was-salaamu 'ala asyrafil ambiyai wal mursalin wa 'ala alihi wa shahbihi
ajma'iin...
Alhamdulillah bertepatan dengan 17 Agustus, hari ini, kita akan
melanjutkan pengajian online dengan tema khusus, yaitu tentang
qurban.... Mohon izin kepada Yai Aziz, Para Ustadz, dan Jamaah sekalian
untuk memulai
Oleh karena itu, mohon kiranya untuk bersama-sama membaca Surat Al-Faatihah, agar yang kita pelajari hari ini dibukakan pikiran dan hati kita agar dapat memahaminya dengan baik dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari... Al-faatihah...
Bismillahirrahmanirrahim... Pembahasan mengenai qurban bisa dilihat di
halaman 241 kitab At-Tadzhib. Fasal Tentang Udhhiyyah atau sembelihan.
Udhhiyyah diartikan sebagai hewan yang disembelih, baik itu berupa unta,
sapi, domba, maupun kambing di hari Idul Adha (dan hari Tasyriq),
dengan tujuan mendekat kepada Allah SWT. Udhiyyah sendiri terambil dari
kata adh-dhahwah, yang berarti waktu dhuha.Oleh karena itu, mohon kiranya untuk bersama-sama membaca Surat Al-Faatihah, agar yang kita pelajari hari ini dibukakan pikiran dan hati kita agar dapat memahaminya dengan baik dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari... Al-faatihah...
Adapun hukum udhiyyah atau qurban itu sunnah muakkadah, atau sunnah yang sangat dianjurkan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar ayat 2, "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." Demikian pula dalam satu hadist Bukhari Muslim diriwayatkan dari Anas, "“Bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.”
Selain dari Al-Qur'an ini, qurban juga ditetapkan hukumnya oleh Ijma' shahabat dan ulama akan pensyariatannya, meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melaksanakannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, 597). Adapun waktu pertama kali disyariatkan adalah pada tahun kedua hijriyah, sama dengan disyariatkannya shalat 2 'Id, zakat mal, dan zakat fitrah.(Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
Keterangan lain disebutkan dari madzhab Hanafi, bahwa hukum qurban adalah sunnah 'ain muakkadah, yang artinya orang yang meninggalkannya atau tidak melakukannya tidak disiksa di neraka, tetapi tidak akan mendapat syafa'at dari Nabi Muhammad SAW, karena itulah Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa qurban wajib hukumnya. Sedangkan Madzhab Syafi'i mendetailkan bahwa hukum qurban itu sunnah 'ain bagi setiap muslim, artinya sunnah bagi setiap individu. Namun, bagi keluarga, maka hukumnya sunnah kifayah, artinya jika ada salah satu sudah melakukannya, maka yang lain gugur dari kesunnahan tersebut pada waktu itu. Tetapi pada waktu berikutnya kesunnahan tetap ada bagi setiap anggota keluarga lainnya. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643).
Pertama, terkait kriteria orang yang qurban dan jumlah mudhahhi atau orang yang qurban.
Syarat pertama bagi orang yang berqurban, ulama sepakat yaitu
al-qudrah atau mampu. Di sini dalam penjelasannya ulama sedikit berbeda
penekanannya. Pertama, bagi ulama Hanafi bahwa yang dimaksud mampu
adalah orang yang saat itu memiliki kemampuan 200 dirham atau uang
perak. Ini sebenarnya senilai dengan nishab zakat mal. Kedua, Syafi'i
lebih ringan yaitu, jika mudhahhi memiliki harta untuk memnuhi kebutuhan
hari Idul Adha bagi dirinya dan keluarga, dan memiliki kelebihan untuk
membeli seharga hewan qurban. Sedangkan Maliki dan Hambali lebih ringan
lagi, yaitu siapa yang mampu membeli seharga hewan qurban itu, meski
dengan berhutang. Yang penting diperkirakan ia mampu tanpa kesulitan
untuk membayarnya nanti (AL-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 600,
Al-Fiqh 'Ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 644, Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyyah, juz 5, h. 80).
Disini jelas bahwa meski dengan berhutang pun dibolehkan untuk
berqurban, asalkan diperkirakan tanpa adanya kesulitan bahwa mudhahhi
mampu untuk membayarya. Yang jelas, prinsip yang lain, yaitu yang
disebut dengan 'adamul isytiraki fi tsamanil udhhiyyah, maksudnya hewan
qurban tidak dimiliki atau dibeli secara berjama'ah atau banyak orang
kecuali untuk sapi dan unta, di mana maksimal hasil dari patungan 7
orang atau kurang daripada itu (6 orang, 5 orang atau sebawahnya).
Sederhananya, sebagaimana selama ini dipraktekkan, yaitu bahwa untuk
kambing adalah milik satu orang, sedangkan sapi atau unta adalah milik 7
orang atau kurang. (AL-Fiqh AL-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, h. 602).
Karena itu, dikatakan bahwa jika orang yang qurban untuk kambing lebih
dari satu orang, atau untuk sapi dan unta lebih dari tujuh orang, maka
tidak sah hukumnya. (Al-Fiqh 'Ala madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 648).
Karena itu, patungan RT untuk qurban, itu tidak sah hukumnya
Tetapi, jangan buru-buru membatalkan tradisi yang baik di RT. Ada solusi
agar tetap bisa dilaksanakan arisan qurban ini. Bagaimana caranya?
Yaitu dengan cara ditentukan di awal siapa yang menjadi pemilik dari
kambing (1 orang) atau sapi & unta (7 orang). Setelah ditentukan,
maka yang lain niat mengikhlaskan untuk memberikan hewan qurban itu bagi
nama yang dimaksud. Nah, baru ketika hewan qurban disembelih, mudhahhi
atau orang yang qurban meniatkan bahwa qurban yang disembelih pahalanya
dibagi kepada warga RT. Sebab isytirak atau bersekutu dalam pahala
dibolehkan oleh ulama.
Karena itu, untuk lebih detailnya, berikut detail syarat qurban. 1.
Syarat bagi hewan qurban. Paling tidak ada tiga syarat. Pertama, hewan
qurban itu adalah binatang ternak, baik itu domba, kambing, sapi, maupun
unta. Selain daripada hewan-hewan ini, maka tidak dibolehkan, meskipun
misalnya makanan yang umum dikonsumsi di wilayah itu adalah burung, maka
ini tidak dibolehkan. Di dalam syarat ini juga termasuk aturan mengenai
bahwa kambing/domba adalah untuk satu orang, sedangkan unta/sapi untuk
maksimal 7 orang. Hal ini didasarkan pada hadist, "Kami pernah berkurban
(melakukan nahr atau penyembelihan) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada tahun Hudaibiyah, yaitu kami berkurban untuk unta dengan
patungan tujuh orang. Sedangkan sapi untuk patungan tujuh orang.” Hadist
ini diriwayatkan oleh Ali bin ABi Thalib, Ibnu Umar, Aisyah, Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas. Dari Tabi'in dan ulama juga menegaskan hal yang
sama, yaitu 'Atha', Salim, Thawus, Hasan Al-Basri, Al-Auzai, Ats-Tsauri,
Abu Tsur, dan masih banyak ahli ilmi, termasuk ini adalah pendapat
madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali. Sedangkan ada riwayat lain dari
Ibnu Amr, yaitu "Tidak mencukupi satu nafs (satu qurban) untuk tujuh
orang (Al-Mughni Ibni Qudamah)." Dalil ini yang dipegang oleh madzhab
Maliki yang mengatakana bahwa baik kambing, sapi, maupun unta hanya bisa
dikeluarkan oleh satu orang pemilik. Artinya, yang qurban harus satu
orang. Tetapi nanti pahalanya dibolehkan oleh mudhahhi diniatkan pula
untuk orang tuanya, anaknya, atau orang lain. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah,
juz 5, h. 82).
Dasar inilah, yang sebelumnya kami sampaikan berkaitan dengan qurban RT.
Artinya, agar dibolehkan model qurban seperti ini, maka yang iuran
diwajibkan meniatkan iurannya diberikan kepada orang-orang yang dpilih
sebelumnya. Baru nanti saat penyembelihan, orang2 yang dipilih meniatkan
pahalanya bagi orang RT. Mengapa, demikian? Penjelasan hal ini akan
disampaikan pada syarat-syarat mudhahhi nanti.
Syarat kedua hewan qurban adalah, masing-masing telah mencapai umur untu qurban. Yaitu,
- Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
- Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
- Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.
- Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
- Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
- Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.
Ketiga, hewan qurban tidak catat fisiknya, baik itu juling
matanya, sakit, kurus parah, atau pincang (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz
5, h. 81-89).
Selanjutnya syarat bagi orang yang berqurban. Pertama, adalah
niat. Niat yang yang harus ditetapkan oleh mudhahhi adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, makanya penyembelihan ini biasa
disebut qurban, karena niatnya memang demikian. Karena itu, jika niat
untuk dagingnya, atau hal-hal lain, maka itu tidak dibolehkan, dan
qurbannya tidak sah. Kedua, niat itu diniatkan ketika membeli
atau ketika (kalau di Indonesia) menyerahkan hewan qurban pada panitia.
Tidak harus saat penyembelihan. Ketiga, Tidak boleh berbeda-beda
dalam niat, bagi yang qurban sapi/unta. Maksudnya, misalnya ada 7 orang
qurban 1 sapi, yang satu niat untuk Allah, sementara yang lain niat
untuk memperoleh dagingnya dst. Demikian juga tidak boleh isytirak dalam
kepemilikan hewan qurban, yaitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
satu kambing ternyata dimiliki beberapa orang, atau dibeli atas patungan
beberapa orang. Ini juga tidak dibolehkan (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah,
juz 5, h. 90).
Pertanyaan kedua, bagaimana kalau belum aqiqah, apakah boleh qurban?
Pertama, yang perlu dipahami terlebih dahulu soal aqiqah, baik hukumnya,
dan bagaimana detail dalam pelaksanaannya. Pertama, hukum aqiqah, kalau
menilik berbagai pendapat ulama, ia tidak sampai ada yang mengatakan
wajib, sebagaimana qurban. Madzhab Hanafi hanya menghukumi boleh saja,
tidak sampai sunnah. Maliki menyebut mandub atau sunah, sedangkan
Syafi'i dan Hambali menegaskan hukum Aqiqah adalah sunnah muakkadah.
Adapun dasar bahwa hukum aqiqah sunnah muakkadah adalah hadist riwayat
Tirmidzi yang berpredikat hasan shahih, yang berbunyi, "Setiap anak
tergadai dengan aqiqahnya, hingga disembelih aqiqah itu pada hari yang
ke tujuh. (Lihat Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 636 dan Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 276-277). Di sini ternyata ulama menyebut siapa
yang dikenai hukum ini dan batas waktunya. Yaitu bahwa kesunnahan
melaksanakan aqiqah ini adalah berlaku bagi Sang Ayah, di mana ia adalah
orang yang memberi nafkah bagi anak yang dilahirkan. Di sini ulama
sepakat, ayahlah yang dikenai anjuran aqiqah ini.
Lalu bagaimana soal waktu disunnahkan aqiqah dan sampai kapan?
Soal waktu ini, menarik kiranya dibahas makna aqiqah dari sisi bahasa,
sebab ternyata bahasan soal aqiqah di Ensiklopedi Fiqh jatuh setelah
pembahasan aqiq, alias batu akik, seperti yang kita kenal. Hanya
ditambah dengan ta' marbuthah saja, menjadi aqiqah. Makna aqiqah secara
bahasa, pertama adalah MANIK-MANIK berwarna merah dari jenis batu mulia
(akik). Kadang juga disematkan untuk batu yang berwarna kuning atau
putih. Kedua, makna aqiqah adalah sebutan untuk RAMBUT BAYI manusia atau
binatang, yang tumbuh di dalam kandungan. Ketiga, sebutan untuk HEWAN
YANG DISEMBELIH untuk anak saat dicukur rambutnya. (Al-Mausu'ah, juz 30,
h. 276) .
Dari makna bahasa yang terakhir inilah kita memulai bahasan berkaitan
waktu pelaksanaan aqiqah. Yaitu bahwa ulama sepakat bahwa waktu terbaik
pelaksanaan aqiqah adalah hari ketujuh dari kelahiran sang bayi. Namun,
lebih detail Syafi'i dan Hambali menjelaskan bahwa kesunnahan aqiqah
dimulai sejak bayi keluar dari rahim ibunya. Sebaliknya jika
dilaksanakan, sebelum anak lahir, maka itu belum dibolehkan.
Menurut Maliki, kesunahan aqiqah ini hanya berlaku hingga hari ketujuh usia anak. Namun, menurut Syafi'i dan Hambali
masih disunnahkan, bahkan hingga anak baligh dan dewasa, ia masih
dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah hanya saja beban tanggung jawabnya
pindah dari ayah pada dirinya sendiri, sebab tidak ada batas waktu akhir
dalam pelaksanaan aqiqah. (Al-Fiqh wa Adillatuhu, juz 3, h. 268).
Karena itu, sesuai pertanyaan, bagaimana kalau belum aqiqah, lalu
qurban? Dua-duanya sunnah bagi setiap individu muslim. Tetapi jika kita
sudah dewasa dan mandiri, kesunnahan qurban lebih utama dibanding
aqiqah. Karena itu, jika disuruh memilih mana yang lebih didahulukan,
maka jika belum qurban, maka berqurbanlah terlebih dahulu, baru kita
melaksanakan aqiqah. Namun, ada solusi yang bisa dipilih, diberikan Imam
Ramli, yaitu bahwa seseorang diperbolehkan, sembari berqurban,
dibarengkan niatnya dengan aqiqah (Lihat Qutul Habibil Gharib Syarah
Fathul Qariib, h. 275). Artinya, dibolehkan niatnya dobel, dengan hewan
yang sama.
Apakah boleh qurban dengan kerbau?
Keterangan soal sapi
bisa dilihat dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyyah, juz 8, h. 158, yaitu
baqarun atau sapi digunakan untuk menyebut hewan jenis ini, baik yang
jinak maupun liar, baik yang jantan maupun betina, dengan bentuk jamak
baqaraatun. Dan di sini ulama fiqh menyamakan antara baqarun dengan
jaamus atau kerbau dari sisi hukumnya. Artinya, kerbau dianggap sejenis
sapi oleh ulama, karena itu hukum qurban dengan kerbau dibolehkan, di
mana nilainya sama dengan sapi. Hal ini sama dengan ghanam (domba), yang
umum di kalangan Arab, dan dianggap sejenis ma'az (kambing bandot).
Bagaimana aqiqah untuk yang sudah almarhum?
Di sini ada dua pembagian, sang almarhum meninggal saat bayi atau sudah baligh atau dewasa. Menurut Syafi'i,
jika anak meninggal sebelum usia tujuh hari, maka ia tetap disunnahkan
untuk di-aqiqahi oleh orang tuanya. Meskipun ada pendapat lain,
dikemukakan oleh Hasan Al-Basri dan Malik bin Anas, hal itu tidak
disunnahkan (AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, juz 30, h. 277. Sedangkan jika
almarhum meninggal saat dewasa, misalnya bagi anak, yang ingin
meng-aqiqahi orang tuanya, maka dibolehkan, disamakan dengan qurban bagi
orang tua yang telah meninggal. Sebagaimana yang dilakukan sahabat Ali
yang berqurban untuk drinya juga Rasulallah (Syamsuddin As-Sarbini,
Mughnil Muhtaj, juz 4, h. 390).
Namun demikian, lebih tepatnya adalah niat saja shadaqah untuk mayit,
terutama orang tua, di mana di sini tidak ada batasan jumlah dan
waktunya, dan sangat dianjurkan berdasarkan hadist shahih, Bahwasanya
ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya
ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat),
dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka
apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku
pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah
untuknya)". Hadist ini sangat Masyhur, karena diriwayatkan Bukhari,
Muslim, Ahmad, Abu Daud dst, sehingga sangat kuat untuk diamalkan.
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar