Sabtu, 28 Februari 2015
Fiqih
Pengertian Fiqih
A. Fiqih
1. Bahasa
Kata fiqih (فقه) secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-fahmu al-mujarrad (الفهم المجرّد), yang artinya kurang lebih adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja.[1]
Makna yang kedua adalah al-fahmu ad-daqiq (الفهم الدقيق), yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.
Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib alaihissalam yang tidak mengerti ucapannya.
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ
“Mereka berkata: "Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu (QS. Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah SWT berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang tidak memahami pembicaraan.
فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An Nisa: 78)
Sedangkan makna fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa temukan di dalam Al-Quran Al-Karim pada ayat berikut ini :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
Dalam prakteknya, istilah fiqih ini lebih banyak digunakan untuk ilmu agama secara umum, dimana seorang yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama sering disebut sebagai faqih, sedangkan seorang yang ahli di bidang ilmu yang lain, kedokteran atau arsitektur misalnya, tidak disebut sebagai faqih atau ahli fiqih.[2]
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri.
Al-Imam Abu Hanifah punya definisi tentang fiqih yang unik, yaitu :
مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَالَهَا وَمَا عَلَيْهَا
Mengenal jiwa manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya.[3]
Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah akidah dan keimanan dan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al-Fiqih Al-Akbar.
Ada pun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para ulama adalah : [4]
الْعِلْمُ بِالأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”
Penjelasan definisi:
a. Ilmu :
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu.
Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual. Fiqih juga bukan seni yang lebih bermain dengan rasa dan keindahan.
Fiqih adalah sebuah cabang ilmu yang bisa dipelajari, didirikan di atas kaidah-kaidah yang bisa dipresentasikan dan diuji secara ilmiyah.
Selama ini fiqih bukan saja menjadi nama sebuah mata kuliah, tetapi bahkan sudah menjadi fakultas tersendiri yang diajarkan di berbagai universitas. Fiqih adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bersifat akademis dan diakui secara ilmiyah di dunia pendidikan secara internasional.
b. Hukum-hukum
Ilmu Fiqih adalah salah satu cabang ilmu, yang secara khusus termasuk ke dalam cabang ilmu hukum. Jadi pada hakikatnya ilmu fiqih adalah ilmu hukum.
Kita mengenal ada banyak cabang dan jenis ilmu hukum, misalnya hukum adat yang secara tradisi berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Selain hukum adat, kita juga mengenal hukum barat yang umumnya hasil dari penjajahan Belanda.
c. Syariat
Hukum yang menjadi wilayah kajian ilmu Fiqih adalah hukum syariat, yaitu hukum yang bersumber dari Allah SWT serta telah menjadi ketetapan-Nya, dimana kita sebagai manusia, telah diberi beban mempelajarinya, lalu menjalankan hukum-hukum itu, serta berkewajiban juga untuk mengajarkan hukum-hukum itu kepada umat manusia.
Dengan kata lain, ilmu fiqih bukan ilmu hukum yang dibuat oleh manusia. Fiqih adalah hukum syariat, dimana hukum itu 100% dipastikan berasal dari Allah SWT
Keterlibatan manusia dalam ilmu Fiqih hanyalah dalam menganalisa, merinci, memilah serta menyimpulkan apa yang telah Allah SWT firmankan lewat Al-Quran Al-Kariem dan juga lewat apa yang telah Rasulullah SAW sampaikan berupa sunnah nabawiyah atau hadits nabawi.
d. Al-’Amaliyah
Yang dimaksud dengan al-’amaliah adalah bahwa hukum fiqih itu terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik jasadiyah dan badaniyah, bukan yang bersifat ruh, perasaan, atau wilayah kejiwaan lainnya.
Sebagaimana kita tahu hukum syariah itu cukup banyak wilayahnya, ada wilayah akidah yang lebih menekankan pada wilayah keyakinan dan pondasi keimanan. Ada hukum yang terkait dengan akhlak dan etika.
Dalam hal ini ilmu hukum fiqih hanya membahas hukum-hukum yang bersifat fisik berupa perbuatan-perbuatan manusia secara fisik lahiriyah. Tegasnya, fiqih itu hanya menilai dari segi yang kelihatan saja, sedangkan yang ada di dalam hati, atau di dalam benak, tidak termasuk wilayah amaliyah.
e. Yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci
Banyak orang beranggapan bahwa ilmu fiqih itu sekedar karangan atau logika para ulama, yang menurut mereka bahwa ulama itu manusia juga. Sedangkan yang berasal dari Allah hanyalah Al-Quran, dan yang berasal dari Rasulullah SAW adalah Al-Hadits.
Cara pemahaman seperti ini mungkin maksudnya benar tetapi agak kurang tepat dalam memahaminya. Sesungguhnya ilmu fiqih itu 100% diambil dari Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah, sebagai sumber rujukan utama. Rasanya tidak ada yang menyalahi hal prinsip ini.
Namun kita tahu bahwa tidak mudah memahami Al-Quran atau Al-Hadits begitu saja, khususnya buat orang-orang yang awam dan tidak mengerti ilmu-ilmu dalam memahami keduanya.
Kalau yang melakukannya orang awam atau orang ajam, apalagi jarak antara kita hidup dengan masa turunnya Al-Quran sudah terpaut 14 abad lamanya. Ditambah lagi kita punya perbedaan budaya dengan Rasulullah SAW.
Maka harus ada ilmu dan metode yang baku dan bisa dipertanggung-jawabkan untuk bisa mengeluarkan kesimpulan hukum dari Al-Quran dan Sunnah.
Kalau boleh dibuat perumpamaan, ilmu fiqih itu ibarat ilmu tentang prakiraan cuaca. Ilmu ini tentu bukan ilmu ramal meramal dengan menggunakan kekuatan ghaib. Ilmu ini mengandalkan data dan fakta dari gejala-gejala di alam, yang sebenarnya semua orang bisa melihat atau merasakannya. Misalnya arah hembusan angin dan kecepatannya, kelembaban udara, tekanan, suhu, dan lainnya.
Bagi orang awam, walaupun mereka bisa melihat atau merasakan semua gejala alam itu, namun mereka tidak akan bisa mengetahui bagaimana mengolah data-data gejala alam itu secara akurat. Yang bisa mengolah data-data itu hanya mereka yang belajar ilmu itu secara serius.
Kalau kita buka kitab suci Al-Quran atau membolak-balik kitab Shahih Al-Bukhari, sebenarnya yang kita lakukan barulah membaca data mentah.
Kalau kita tidak mengerti bahasa Arab dengan seluk beluk sastranya, maka kita tidak akan mengerti makna dan maksud serta kandungan hukum yang terdapat pada setiap ayat dan hadits secara tepat dan mendasar.
Kalau kita tidak tahu latar belakang kenapa ayat itu turun, dan juga tidak punya informasi kenapa Nabi SAW bersabda, tentu saja kita tidak punya pegangan dasar tentang tujuan masing-masing dalil itu.
Satu hal lagi yang amat fatal, yaitu seringkali secara sekilas kita melihat atau menyangka telah terjadi ketidak-singkronan antara satu ayat dengan ayat lainnya, juga antara hadits yang satu dengan hadits lainnya. Bahkan antara ayat dan hadits pun terkadang terjadi hal yang sama. Maka buat orang awam, seringkali terjadi kekeliruan yang amat fatal.
Padahal yang sesungguhnya terjadi bukan tidak singkron, tetapi karena kita tidak tahu konteks dari masing-masing dalil. Atau boleh jadi Nabi SAW berbicara dalam waktu dan situasi yang berbeda.
Nabi SAW pernah ditanya shahabat, amal apa yang paling utama di sisi Allah. Jawaban beliau adalah jihad di jalan Allah. Tetapi pada kesempatan yang lain, ketika diajukan pertanyaan yang sama, jawaban beliau adalah berbakti kepada orang tua. Bahkan pernah juga beliau hanya berpesan untuk tidak pernah berdusta selama-lamanya.
Tentu saja orang awam akan bingung kalau membaca hadits-hadits yang sekilas kelihatan berbeda itu. Tetapi dengan ilmu fiqih, kita jadi tahu bahwa jawaban yang berbeda-beda itu ternyata disebabkan orang yang bertanya berbeda-beda.
Ternyata beliau SAW menjawab setiap pertanyaan itu berdasarkan kondisi subjektif masing-masing penanya. Mereka yang kurang berbakti kepada orang tua, maka nasihat beliau adalah disuruh berbakti. Buat mereka yang rada pengecut dan kurang punya nyali, beliau anjurkan untuk berjihad di jalan Allah. Sedangkan buat pedagang yang sering kalau berdagang banyak bohongnya, nasehat beliau adalah jangan berdusta.
Kesimpulan :
Secara sederhana kita bisa simpulkan bahwa fiqih adalah kesimpulan hukum yang bersifat baku dan merupakan hasil ijtihad ulama, dimana sumbernya adalah Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, Qiyas dan dalil-dalil lainnya.
B. Syariah
Selain istilah fiqih, kita juga sering mendengar istilah yang mirip dan dekat sekali, yaitu ’syariah’. Seringkali orang menyamakan antara fiqih dan syariah. Dan hal itu wajar karena keduanya memang punya arti yang dekat sekali.
Bila masing-masing disebutkan terpisah, maknanya bisa saja sama. Tetapi ketika keduanya dipertemukan dan disandingkan, ternyata keduanya punya perbedaan yang nyata.
Kira-kira mirip dengan penyebutan antara faqir dan miskin. Keduanya nyaris serupa, tapi ternyata tetap berbeda. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa fakir itu orang yang sama sekali tidak punya pemasukan, sedangkan miskin adalah orang yang kekurangan tetapi masih punya pekerjaan atau penghasilan.
Untuk mengetahui apa saja persamaan dan perbedaan antara keduanya, yaitu antara istilah fiqih dan syariah, maka kita bahas pengertian istilah syariah secara lebih mendalam, sebagaimana kita sudah bicara tentang makna istilah fiqih sebelumnya.
1. Bahasa
Makna syariah dalam bahasa Arab sebagaimana orang-orang Arab di masa lalu memaknai kata syariah ini, yaitu metode atau jalan yang lurus (الطريقة المستقية). [5]
Di dalam Lisanul Arab, kata syariah bermakna :
مَوْرِدُ الماَءِ الَّذِي يُقْصَدُ لِلشُّرْبِ
Sumber mata air yang dijadikan tempat untuk minum.[6]
2. Istilah
Secara istilah dalam ilmu fiqih, Syariah didefinisikan oleh para ulama sebagai :[7]
مَاشَرَعَهُ اللهُ لِعِبَادِهِ مِنَ الأَحْكَامِ الَّتِي جَاءَ بِهَا نَبِيٌّ مِنَ الأنْبِيَاءِ سَوَاءٌ مَا يَتَعَلَّقُ باِلاِعْتِقَادِ وَالعِبَادَاتَ وَالمُعَامَلاَتِ وَالأَخْلاَقِ وَنِظاَمِ الحَيَاةِ
Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh Nabi dari para nabi, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah muamalah, akhlaq dan aturan dalam kehidupan.
C. Perbedaan Fiqih dan Syariah
Dari definisi tentang syariah di atas, secara sekilas kita bisa lihat perbedaan mendasar antara fiqih dan syariah, yaitu dari segi ruang lingkup, sifat dan hakikat masing-masing istilah itu.
1. Ruang Lingkup Syariah
Dari segi ruang lingkup, ternyata syariah lebih luas dari ruang lingkup fiqih. Karena syariah mencakup masalah akidah, akhlaq, ibadah, muamalah, dan segala hal yang terkait dengan ketentuan Allah SWT kepada hambanya.
Sedangkan ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat amaliyah atau praktis saja, seperti hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’, mandi janabah, tayammum, istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-beli, sewa, gadai, kehalalan makanan dan seterusnya.
Objek pembahasan fiqih berhenti ketika kita bicara tentang ha-hal yang menyangkut aqidah, seperti kajian tentang sifat-sifat Allah, sifat para nabi, malaikat, atau hari qiyamat, surga dan neraka.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari wilayah hati serta perasaan seorang manusia, seperti rasa rindu, cinta dan takut kepada Allah. Termasuk juga rasa untuk berbaik sangka, tawakkal dan menghamba kepada-Nya dan seterusnya.
Objek pembahasan fiqih juga keluar dari pembahasan tentang akhlaq mulia atau sebaliknya. Fiqih tidak membicarakan hal-hal yang terkait dengan menjaga diri dari sifat sombong, riya’, ingin dipuji, membanggakan diri, hasad, dengki, iri hati, atau ujub.
Sedangkan syariah, termasuk di dalamnya semua objek pembahasan dalam ilmu fiqih itu, plus dengan semua hal di atas, yaitu masalah aqidah, akhlaq dan juga hukum-hukum fiqih.
2. Syariah Bersifat Universal
Syariah adalah ketentuan Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya berlaku buat suatu tempat dan masa yang terbatas, tetapi menembus ruang dan waktu.
Kita menyebut ketentuan dan peraturan dari Allah SWT kepada Bani Israil di masa nabi-nabi terdahulu sebagai syariah, dan tidak kita sebut dengan istilah fiqih.
Misalnya ketika mereka melanggar aturan yang tidak membolehkan mereka mencari ikan di hari Sabtu. Aturan itu di dalam Al-Quran disebut dengan istilah syurra’a (شُرَّع) yang akar katanya sama dengan syariah.
واَسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu. (QS. Al-A’raf : 163)
Di dalam ayat yang lain juga disebutkan istilah syariah dengan pengertian bahwa Allah SWT menetapkan suatu aturan dan ketentuan kepada para Nabi di masa lalu.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. (QS. As-Syura : 13)
Karena itulah maka salah satu istilah dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan dalil syar’u man qablana, bukan fiqhu man qablana. Apa yang Allah SWT berlakukan buat umat terdahulu disebut sebagai syariah, tetapi tidak disebut dengan istilah fiqih. Semua ini menunjukkan bahwa syariah lebih universal dibandingkan dengan fiqih.
3. Fiqih Adalah Apa Yang Dipahami
Perbedaan yang juga sangat prinsipil antara fiqih dan syariah, adalah bahwa fiqih itu merupakan apa yang dipahami oleh mujtahid atas dalil-dalil samawi dan bagaimana hukumnya ketika diterapkan pada realitas kehidupan, pada suatu zaman dan tempat.
Jadi pada hakikatnya, fiqih itu adalah hasil dari sebuah ijtihad, tentunya yang telah lulus dari penyimpangan kaidah-kaidah dalam berijtihad, atas suatu urusan dan perkara.
Sehingga sangat dimungkin hasil ijithad itu berbeda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Sedangkan syariah lebih sering dipahami sebagai hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam kehidupan ini. Pembicaraan tentang syariah belum menyentuh wilayah perbedaan pendapat dan pemahaman dari para ahli fiqih.
1. Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqih punya hubungan erat dengan ilmu fiqih, yaitu sebagai landasan atau pondasi dari tegaknya bangunan ilmu fiqih.
Kalau diibaratkan ilmu fiqih sebagai kendaraan yang berseliweran di jalan, maka ilmu ushul fiqih tidak lain adalah pabrik yang memproduksi kendaraan itu. Dengan demikian, ilmu fiqih tidak mungkin ada kecuali lewat proses dari ilmu ushul fiqih.
2. Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir adalah bagian dari kajian dalam Ulumul Quran, yang membahas tentang penafsiran dari ayat-ayat Al-Quran, baik tafsir ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadits.
Ruang lingkup Ilmu Tafsir sangat luas dan punya banyak cabang. Namun tidak keluar dari pembahasan seputar ayat=ayat Al-Quran Al-Karim yang berjumlah 6.000-an ayat lebih.
Di antara sekian banyak cabang ilmu tafsir ada yang disebut dengan Tafsir Ayat Ahkam. Tafsir ini hanya membahas ayat-ayat tertentu yang di dalamnya terkandung berbagai masalah hukum syariah. Pada wilayah tafsir ayat ahkam inilah ada kaitan antara ilmu tafsir dengan ilmu fiqih.
Namun biar bagaimana pun ilmu fiqih tetap jauh lebih lengkap dan lebih detail ketika bicara masalah hukum ketimbang tafsir ayat ahkam.
3. Ilmu Hadits
Ilmu hadits terdiri dari banyak cabangnya, yang paling terkait dengan ilmu fiqih adalah cabang Hadits Ahkam. Di dalam ilmu tentang hadits ahkam dibahas hadits-hadits yang mengandung nilai hukum.
Kitab hadits yang disusun sesuai dengan bab fiqih antara lain Bulughul Maram, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang kemudian dibuat syarahnya oleh para ulama lain, salah satunya adalah kitab Subulus-Salam, karya Ash-Sha'ani.
Selain itu juga ada kitab Nailul Authar yang disusun oleh Al-Imam Asy-Syaukani. Kitab ini sebenarnya merupakan syarah atau penjelasan dari kitab hadits yang berjudul Muntaqa Al-Akhbar.
E. Fiqih di Zaman Nabi
Sebuah pertanyaan menarik untuk dibahas, apakah di masa Rasulullah SAW sudah ada ilmu fiqih? Sebab kalau tidak ada, maka ilmu fiqih bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang diadakan kemudian. Tetapi kalau memang sudah ada, maka ceritanya akan menjadi lain.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa memilahnya menjadi dua. Pertama, fiqih dalam arti istilah. Kedua, fiqih dalam arti esensi. Namun intinya tetap sama, yaitu di masa Rasulullah SAW sudah ada fiqih.
1. Penggunaan Istilah Fiqih di Masa Nab i
Di masa Rasulullah SAW sudah ada fiqih dalam arti istilah, meski maknanya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dengan ilmu fiqih di masa sekarang.
Istilah fiqih yang kita kenal dalam ilmu fiqih memang berbeda penggunaan dengan di masa Nabi SAW. Jika kita temui istilah fiqih (فِفْه) di masa Rasulullah SAW dan masa generasi pertama Islam, maka yang dimaksud adalah ilmu agama secara keseluruhan.
Seorang faqih (فَقِيه) adalah orang memiliki ilmu yang mendalam dalam agamanya dari teks-teks agama yang ada dan ia mampu menyimpulkan menjadi hukum-hukum, pelajaran-pelajaran, faidah yang terkandung dalam teks agama tersebut.
Disebutkan dalam salah satu hadits shahih bahwa ciri luar seorang ahli fiqih adalah :
إِنَّ طُولَ صَلاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرِ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ
Panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khutbahnya adalah bagian dari fiqihnya (HR. Muslim)
Jadi makna fiqih di masa pertama Islam mencakup seluruh masalah dalam agama Islam, baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalat dan lain-lain. Karenanya, Abu Hanifah menamai tulisannya tentang akidah dengan ’Al Fiqihul Akbar’.
2. Fiqih Sudah Ada Sejak Zaman Nabi
Seperti yang diuraikan di atas, bahwa fiqih adalah bagaimana kita memahami teks syariah, baik Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga dapat ditarik kesimpulan hukum. Dengan pengertian seperti ini, jelas bahwa di masa Rasulullah SAW sudah ada fenomena fiqih dan ilmunya.
Buktinya, tidak semua shahabat Nabi SAW adalah orang yang punya tingkat pemahaman yang mendalam. Sebagian dari mereka adalah orang-orang awam, yang tidak bisa begitu saja mengamalkan isi Al-Quran, kalau tidak bertanya dulu kepada mereka yang ahli fiqih, baik Rasulullah SAW atau shahabat yang punya ilmunya.
Hanya sebagian saja dari shahabat Nabi SAW yang termasuk ke dalam kategori ahli fiqih. Sebagainnya lagi meski tetap berstatus shahabat, namun tidak dikategorikan sebagai ahli di bidang ilmu fiqih.
Yang paling utama tentu adalah keempat shahabat yang menjadi khalifah rasyidah, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Al-Affan dan Ali bin Abi Thalib ridhwanullahi 'alaihim. Dan justru karena kefaqihannya itulah mereka dijadikan khalifatu-rasulillah.
Selain itu juga ada Abdullah bin Al-Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud serta Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Meski mereka tidak menjadi khalifah, namun ilmu fiqih mereka diakui oleh banyak shahabat dan para tabi'in sesudah mereka.
a. Ijtihad Nabi SAW
Kita mencatat bahwa Rasulullah SAW pun berijtihad dalam beberapa wilayah dimana tidak ada wahyu yang turun, atau setidaknya ketika wahyu terlambat turun.
Misalnya tentang hukum tawanan dalam Perang Badar, juga tentang posisi umat Islam dalam perang itu. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan apa yang menjadi intisari dari fiqih, yaitu berijtihad.
Dan dalam kesehariannya, ijtihad banyak diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat. Misalnya, ketika ada yang bertanya tentang hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan. Beliau SAW tidak langsung menjawab hukumnya dengan kata iya atau tidak.
Beliau SAW malah balik bertanya tentang hukum berkumur ketika sedang berpuasa, apakah membatalkan atau tidak. Ketika shahabat itu menjawab tidak, maka Beliau SAW membuatkan benang merah, bahwa kalau berkumur saja tidak membatalkan, maka begitu juga dengan mencium istri, hukumnya tidak membatalkan.
Ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ahli ilmu ke Yaman, beliau SAW menguji terlebih dahulu shahabatnya itu dengan pertanyaan :
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فيِ سُنَّةِ رَسُولِ الله r وَلاَ فيِ كتِابِ الله ؟
”Dengan apa kamu putuskan perkara di antara mereka bila tidak ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah?”.
Maka Muadz pun menjawab bahwa dirinya akan melakukan ijtihad.
Dengan demikian, maka pada hakikatnya fiqih sudah ada di masa Rasulullah SAW dan beliau sendiri mengajrkannya dan juga langsung melakukannya. Dan demikian juga dengan para shahabat.
b. Ijtihad Shahabat
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ridhwanullahi ’alaihim ajma’in tidaklah diangkat menjadi khalifah pengganti Rasulullah SAW, kecuali karena mereka adalah ahli fiqih. Dari mereka itulah kita menemukan begitu banyak hasil ijtihad, yang belum kita temukan di masa Rasulullah SAW.
Adanya penulisan mushaf dalam satu bundel, tidak lain adalah hasil ijtihad Umar bin Al-Khattab di masa khilafah Abu Bakar radhiyallahuanhuma. Sebelumnya mushaf Al-Quran hanya berupa tulisan yang berserakan di kulit, pelepah kurma, batu, kayu dan lainnya. Nabi SAW sendiri tidak pernah memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu bundel.
Dihidupkannya kembali shalat tarawih berjamaah di masjid adalah hasil ijtihad Umar, setelah sebelumnya shalat itu tidak pernah diadakan sejak bertahun-tahun. Ilmu Nahwu dan gramatika Bahasa Arab bisa lahir dan berkembang karena hasil ijtihad Umar bin Al-Khattab juga, sehingga kita yang bukan orang Arab bisa membaca tulisan Arab.
Di masa Utsman dan Ali pun kita menemukan banyak sekali ijtihad yang mereka lakukan. Semua membuktikan bahwa baik di masa Rasulullah SAW maupun di masa para shahabat, fiqih sudah dipakai dan dijalankan. Ini menegaskan bahwa fiqih bukan sesuatu yang baru datang kemudian.
c. Ijtihad di Masa Berikutnya
Kemudian di masa berikutnya, apa yang menjadi ijtihad selama ini kemudian disusun sedemikian rupa, dibuatkan kaidah-kaidahnya, dan dibuatkan pula contoh-contoh hasilnya dalam kitab yang tersusun rapi.
Maka kemudian orang mengenal hal tersebut sebagai sebuah cabang ilmu, yang kita kenal dengan ilmu fiqih. Masa ini adalah masa dimana keempat imam mazhab itu hidup, mereka mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk menyusun banguan ilmu fiqih secara modern.
Kemudian selama 14 abad berikutnya hingga sekarang ini, ilmu fiqih menjadi referensi hukum yang sangat lengkap dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Ini karena Fiqih memiliki sifat universal dan konprehensip, sebab syariat Islam merupakan agama terakhir di bumi. Sebab Allah SWT tidak akan lagi mengutus seorang nabi pun ke atas bumi ini dan juga tidak akan menurunkan satu pun ayat-ayat suci-Nya.
Sebab apa yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW itu adalah sesuatu yang teramat cukup bagi kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
GHOSHOB
Jika di pesantren, istilah ini sudah sangat familiar. Hanya saja pengertian dan prakteknya sesungguhnya ada perbedaan dari makna ghoshob s...
-
"Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar. Wahuwal lathiiful khabiir." Faedahnya: 1. Apabila diwirid/dibaca sebanyak 8x se...
-
kodepos.nomor.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar